Kamis pagi, hari diawali dengan satu mata kuliah yang dimulai sejak pukul tujuh tepat. Ekstrem benar jadwal semester tiga itu. Bukannya fokus pada seorang dosen yang menyampaikan poin materi, dua lelaki di deret bangku kelima malah asik di dunianya sendiri. Oh, tepatnya hanya salah satu dari mereka.
Mengambil jurusan yang sama dengan Sena nampaknya adalah sebuah kesalahan bagi Juna. Belum lagi beberapa mata kuliah yang sekelas, parahnya satu meja dengan dia. Juna ingin menghilang saja rasanya. Bagaimana tidak, sedari tadi lelaki itu berulang kali melempar kalimat meresahkan pada Juna. Topiknya hanya satu: chat kemarin. "Lo beneran suka dia?""Gue nggak bilang suka," Juna membalas pertanyaan keseribu dari mulut Sena Mahatma. Kepalanya memang tertuju pada eksistensi pak dosen, tapi bagaimanapun telinganya tetap di hadapan Sena yang terus menoleh padanya. Bisa jadi satu kali pun manusia itu belum menatap orang yang memberinya ilmu pagi ini.
"Tapi lo pengen ketemu lagi," sahut Sena kemudian. Beruntung ia tidak terlalu keras berbicara, teman sekitar mungkin juga tidak dengar.
"Cuma pengen lihat," Juna kini memainkan pulpen tertutup di tangan. Bahkan kertasnya masih bersih tanpa coretan. Ia benar-benar tak fokus dengan kuliah kali ini. Tiba-tiba dia menyesal sudah mengatakan keinginannya pada Sena.
"Berarti lo suka dia."
Seketika Juna memutar kepala hingga maniknya jatuh ke presensi sang sobat yang bicara. Sedetik kemudian Sena juga mengalihkan pandang. Kali ini dengan bibir gemetar menahan tawa, ia menatap segala benda di ruangan. Berusaha menghindar dari nyalangnya pupil Juna.
Mengalah, si adam menahan emosinya. Meski tangan sudah gatal ingin menampar. Tapi Juna tahu di mana mereka sekarang. Rasanya akhir-akhir ini ia jadi serba salah. Oh, sejak kemarin saja. Sejak bertemu gadis lilac? Tidak taulah. Bingung juga dengan Juna itu.
"Lo pastiin dulu suka atau nggak. Kalau beneran suka ya gue bantu, kalau cuma main-main ya enyah aja lo dari dunia," kata Sena panjang lebar. Kata-kata terakhir sedikit tidak begitu mengenakkan, tapi bisa juga untuk Juna berkaca.
"Lo suka sama dia?" Tanpa aba Juna bertanya demikian.
"Kenapa gue?"
"Siapa tahu..."
Sena mengembuskan napas panjang sembari kembali menatap bukunya, menorehkan tinta acak di sana. "Cuma teman, ok?" ucapnya kemudian. Dua detik berlalu dan Sena baru diingatkan tentang sesuatu. Ia bahkan membuat gerak terkejut yang juga menyentak Juna. "Tapi, mending lo nyerah deh," begitu tukasnya.
-: ✤ :-Tengah hari, sudah lebih sebenarnya. Tiga mata kuliah telah dilalui. Masing-masing seratus menit dengan jeda sepuluh menit dan sepuluh menit. Kini waktunya pulang, harusnya. Tapi Juna malah mengekori Sena yang memesan makan siang di kantin fakultas. Bukan tanpa alasan Juna tidak meninggalkan lelaki itu dan menyiapkan diri untuk part time—sebab belum ada kejelasan tentang dialog tadi pagi di kelas.Memang, jam kuliah bukan waktu yang tepat untuk bertukar percakapan. Apalagi jika kena tegur, bukan dari dosen tapi teman-teman yang ambis mencari nilai. Jadi Sena memilih menggantung Juna—ralat, menggantung pembicaraannya dengan pemuda jangkung itu.
"Kenapa? Kenapa gue harus nyerah?"
Pertanyaan keseribu satu dari Juna. Ia terus merapal kalimat itu seraya berjalan di belakang Sena. Berulang kali nampan berisi nasi dan lauk pauknya itu mengenai pinggang pemuda di depan Juna. Sena masih bungkam, maniknya sibuk mencari bangku kosong. Jam makan siang sudah pasti membuat kantin ramai. Harus jeli menemukan kursi tanpa penghuni.
Alhasil dia pun mendapatkannya. Di ujung ruangan. Meja persegi dengan tiga kursi saja, mungkin yang satu diambil orang untuk duduk bersama kawan-kawannya di tempat lain. Tidak masalah. Sena pun meletakkan bakinya, lalu melepas tas dan menaruhnya di salah satu kursi. Ia mendudukan diri sembari menatap Juna yang sudah bergelagat bak angin ribut mengguncang dunia.
Sena tahu, sahabatnya itu bukan tipikal bad boy bertajuk playboy yang hobi mempermainkan asmara. Hanya memperingatkan? Ya, Sena hanya ingin memberi peringatan, tepatnya mengingatkan bahwa gadis yang mungkin ditaksir Juna itu tidak pantas dipermainkan.
Ah, semua perempuan harusnya.
Kini lelaki bersurai gelap itu juga duduk. Berseberangan dengan Sena, dua bola mata seolah tak mau lepas dari objek di depannya.
"Bilang ke gue sekarang. Kalau nggak, gue kemusuhan sama lo."
Hei, sejak kapan jiwa-jiwa merajuk Sena menular pada Juna? Oh God, semoga tidak lama-lama. Sementara itu, entah masih mau mengulur waktu atau lapar sungguhan, Sena mulai memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.
"Woi!" Merasa dianggap sebagai udara tak kasat mata, Juna sedikit menaikkan suara untuk menginterupsi aktivitas Sena.
Yang dipanggil pun lalu mengangkat kepala dan memandang si adam. "Dia suka cowok kalem. Macam gue gitu," ucap Sena dengan entengnya.
'Gue... salah dengar ya?' batin Juna. "Tahu darimana lo?" Ini dari lisannya.
Tunggu, ada beberapa topik yang bisa diperdebatkan dari dua kalimat Sena. Tetapi Juna memilih satu saja yang bisa menjadikan percakapan itu berfaedah. Dan tentunya berhubungan dengan gadis yang ingin ia tahu. Ya, Juna akui saja jika dia ingin kenal lebih dalam tentang manusia yang menarik perhatiannya kamarin. Pengakuan dalam hati sih.
"Gue harap, hehe..." Sena menggigit ujung sendoknya setelah menaruh beberapa butir nasi di mulut. Deret gigi rapinya terpampang nyata, juga kelopak mata yang menyipit sebab terkekeh pelan.
"Please, kita lagi bahas serius. Menyangkut hati gue ini."
"Njir, sejak kapan lo bucin?" tanya Sena.
"Sejak kemarin, puas lo?"
Sudah, penyesalan ada di akhir. Sekarang belum nampak. Juna baru menuang bensin. Masalah apinya tersulut besar atau tidak, itu urusan nanti.
"Intinya lo berbenah penampilan dulu lah," kata Sena kemudian.
Dikatakan bahwa mereka makan siang. Tapi dari tadi hanya Sena yang mengisi perut. Sedangkan Juna sangat sibuk mencari cara untuk membuat lelaki di depannya mau menjelaskan segala hal yang menurutnya baru.
Lantas sekarang si Sena malah memberinya saran yang membingungkan. Ribet sekali hidup Sena itu—oh, atau hidup Juna? Entahlah, seperti itu adanya.
"Apa yang salah sama penampilan gue?" Pertanyaan retoris dari sosok Juna. Harusnya sekali memeriksa outfit sendiri ia sadar. Tapi nampaknya tidak. Memang, mayoritas orang sering begitu. Tidak salah.
"Ya kali preman mau deketin cewek jelmaan malaikat macam Arin?" Sepertinya Sena jadi kesal. Padahal dia sendiri yang tak kunjung mengatakan hal-hal secara gamblang dan pasti pada Juna yang tidak tahu kenapa semakin hari semakin loading lama.
"Heh! Jangan keras-keras anjir," sahut Juna dengan cepat. Ia juga melirik ke sekitar, takut-takut ada yang mendengar.
Jadi sudah berapa dekade pembicaraan macam benang ruwet yang tak segera berujung ini? Lama-lama Sena geram. Berbeda dengan Juna yang sudah sejak pagi gemasnya. Lalu Sena meletakkan alat makan untuk memfokuskan diri pada sang kawan.
"Dengerin gue..." Dua kata terucap, tapi ia malah menenggak air di botol. Tenggorokan Sena lebih darurat. Harus segera didinginkan. "Mulai besok copot anting lo. Jahit celana lo yang robek-robek. Pakai baju yang bener, jangan dobleh-dobleh," lanjut lelaki itu dengan telunjuk mengarah bergantian pada benda-benda yang disebutnya.
Juna yang setia mendengarkan masih diam beberapa saat. Mencerna ucapan Sena dalam pikiran. Mencoba menafsirkannya dengan terang.
"Jadi dia nilai orang dari luarnya aja?"
"Ck! Nggak gitu. Percaya gue, dia baik. Orang macam gue aja dia mau temenan." Sena segera meluruskan asumsi Juna.
'Orang kayak lo? You're perfect, not like me.' Juna melirih dalam benaknya.
"Tapi lo tahu 'kan penampilan luar selalu jadi yang pertama masuk ke mata orang? Nggak usah nyangkal," lanjut Sena.
Ada yang salah dengan ucapan lelaki berlesung pipi itu?
»»----- ⋆ ᵐⁱʳᵃᶜˡᵉ ⋆ -----««'Jadi ... penampilan gue, huh?' Jam 09:18 malam. Berbalut apron cokelat susu, berdiri mematung di balik meja barrier, si adam menunduk. Posisi persis seperti anak kecil yang kena marah orang tuanya hanya karena keinginan sederhana macam menyicip jelly atau choco ball banyak-banyak. Lalu ribuan kalimat wejangan terus berputar di kepala. Lama-lama jadi hafal begitu saja. Merasa tengkuknya sakit, Juna mendongak. Ia menggerakkan kepala untuk melemaskan otot-otot leher. Maniknya lalu mengitari ruangan. Hari ini kafe tidak begitu ramai. Sampai bosan Juna dibuatnya. Saking frustasinya volume musik ia kecilkan. Berkebalikan ya? Tapi begitulah Juna. Toko bernuansa putih itu tidak begitu jauh dari gedung kampus Juna, kira-kira sepuluh menit untuk berjalan kaki. Tetapi tidak juga dekat dengan pusat kota. Tepat di depannya adalah bulevar beraspal, di seberang ada pagar universitas swasta. Lalu kiri dan kanannya ada beberapa pertokoan, sementara di belak
❬ GD LKING ❭ Sena :→ Forwarded| Kill me, please! → Forwarded| Gue pulang bareng dia! Banu :| Oh my... Tara :| Juna, kan? Kamal :| Juna??? Really?!?! Wow!!! Sena :| @Juna Klarifikasi sendiri lo sini! "Iya gue, puas lo semua?!" Baik, mari kita tilik apa yang terjadi satu jam lalu : "A—" Mulut Juna terbuka dengan satu abjad yang ia suarakan. Selebihnya tidak ada lagi, meski dua bilah bibirnya belum terkatub. Ia mengurungkan niat untuk menawarkan diri sebagai teman pulang dari si gadis yang baru saja membeli kopi di tempatnya kerja. Juna sadar bahwa hal itu kemungkinan besar terdengar aneh. Apalagi jika di jalan nanti tidak ada topik pembicaraan. Pasti... awkward, yakin! Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna. Si adam t
❬ GD LKING ❭ Juna :IYA GUE, PUAS LO SEMUA?! | Tara :| Ahahaha.. gapapa, gue dukung Banu :| Snatai woii| Bts hue juga dukunh| BTW Kamal :| Cerita ayo ceritaa!!!!!! Banu :| Njir typo mulu fue| Gue Sena :| Nyimak Tara :| 2 Kamal :| 333 Banu :| @Juna Gecee, atau gue nih yabg cerits Sena :| @Banu Lo mau cerita apa anjir Kamal :| @Juna Gue doain dapet!!! gut lakkk Sena| @Juna Gue udah ngasih wejangan ya, inget Lalu ponsel dibawa tangan sang empunya jatuh ke tempat tidur. Hanya melepas tas dan sepatu, Juna pun sudah telentang di kasur. Tadinya ia mengirim pesan ke Sena saja, semacam laporan. Tapi sialnya si Sena malah meneruskan pesan itu ke grup gengnya. Heboh sudah ketiga kawan Juna. Bena
Lima hari kuliah dan lima hari pula bekerja. Sabtu dan Minggu adalah hari kebebasan. Sayangnya momen itu masih besok dan lusa. Jumat malam ini harus Juna selesaikan dulu kewajibannya. Toh, kira-kira lima menit lagi jam kerjanya habis.Di balik meja panjang sebagai batas pemesan dan karyawan, lelaki itu menyusun beberapa botol bahan minuman yang baru. Begitu memegang wadah susu, tangannya berhenti secara otomatis. Matanya memang terpaku pada benda-benda tersebut, tapi tidak dengan pikiran yang malah memutar reka ulang tentang presensi si penikmat caffe latte buatannya tempo hari.Rasanya sekarang minuman itu sangat identik dengan Arin—khusus bagi Juna, no debate. Lantas entah nyanyian binatang malam mana yang berhasil menarik dua sudut bibir si taruna, Juna tersenyum sembari meletakkan botol-botol memanjang itu. Orang aneh. Seaneh perasaannya, seaneh getaran dalam hatinya, seaneh kupu-kupu yang akhir-akhir ini sering terbang tak beraturan di
Saturday, freeday. Keuntungan tinggal sendiri adalah kebebasan di hari libur. Hendak bangun siang, hendak sekian jam rebahan, tidak akan ada yang mencerca. Meski jendela kaca dengan gamblang sudah mempersilakan cahaya masuk ke dalam. Memberi terang pada segala benda yang bergumpal di berbagai bidang. Berbalut kaus putih polos dan celana panjang dominan hitam, Juna masih tenggelam di atas kasur. Selimut kelabunya sudah tak tentu tempat, sebagian menyapu lantai di bawah ranjang. Sementara sang empu tengah berada di semestanya sendiri. Kedua tangan Juna memegang ponsel di udara, tepat di atas dadanya. Tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh jemarinya setelah tadi berkirim pesan dengan orang tua. Saat ini Juna benar-benar hanya diam sembari menatap layar hidup itu. Sebelum... dia tersenyum sendirian. Mau tau apa yang dilihatnya? Jika ditebak itu video anak-anak kucing atau cerita bergambar macam komik, maka itu
D-day, theme park.Alunan musik yang mengisi ruang udara tiap penjuru taman hiburan benar-benar memanjakan telinga. Baru memasuki gapura, wahana pencakar langit sudah menampakkan rupanya. Membuat orang-orang tertantang untuk menaklukkan mereka. Terlebih ketika cuaca yang begitu mendukung seperti hari ini.Tidak ada badai, tidak ada hujan. Gumpalan kapas samar terlihat di langit lazuardi. Sinar dari sang rawi hangat menyapa tubuh-tubuh yang kegirangan melangkah usai menyerahkan tiket pada para petugas. Mereka yang menjadi bagian dari pengunjung itu berjalan bersama, dua belas orang jumlahnya. Banyak juga ternyata. "Gunting, batu, kertas!" Dengan sangat tiba-tiba salah seseorang berteriak. Manggala Banu, kini tangannya sudah mengacungkan dua jari berlambang V di depan tubuhnya. Begitu juga dengan sebelas orang lainnya—secara otomatis. Meski mereka tidak tahu untuk apa melakukan itu. Sementara Banu kembali meneriakkan tiga kat
"Aaa!!!"Sepertinya pengelola theme park harus menambahkan satu manusia sungguhan yang berperan dalam rumah hantunya. Untuk lowongan itu Sena sudah memenuhi kriteria sebagai aktor utama. Bagimana tidak? Sejak memasuki wahana Adu Nyali dua menit lalu, suara teriakkannya mengalahkan pekikan audio yang diputar dalam ruang sempit nan panjang itu. Berjalan di tengah, teman-teman yang ada di depan dan belakangnya seringkali menggerutu karena terkejut dengan ulah Sena. Sementara Lila yang sedari tadi dicengkeram lengannya hanya sesekali mengumbar tawa. "Gue lebih takut teriakan lo daripada suara hantu di sini, anjir," gerutu Yasa yang memimpin perjalanan bersama Yusi. Ia melirik singkat pada Sena sebelum kembali fokus untuk jalan. "Dandanin dikit aja lo bisa lah kerja di sini. Gue yakin bakal lebih nyeremin daripada zomb—TUH! TUH! TUH KAN MUNCUL LAGI!" Niat Banu mau ikut mencerca Sena, tapi ia sendiri juga terkejut sebab ada makhluk pe
Orang kata, Senin adalah hari yang berat. Actually, yes. Sebenarnya apa yang membuat awal pekan itu menjadi suram dan tak nyaman? Meninggalkan dua hari bebas, lantas kembali pada rutinitas? Rasanya seperti memulai sesuatu yang lama-lama membosankan, ya?Bagi Juna, Senin pada pekan ini berbeda. Bukannya positif, malah negatif saja yang bertambah. Semua rumit, sejak dia kenal cinta. Terlebih, penolakan kemarin. Ah! Juna ingin mendelesi diri dengan mantra. Ketika segala hal berputar tak beraturan di kepala, mood pun ikut terseret jadinya. Ketika psikis terasa lelah, fisik juga terkena imbasnya. Dengan langkah gontai, Arjuna menapaki lorong fakultas untuk sampai di kelas pagi ini. Jujur saja dari hatinya yang paling dalam, ia malas melakukan apapun hari ini. Tetapi juga enggan jika presensinya tidak lengkap untuk tiga mata kuliah, lalu berakhir tidak bisa ikut ujian semester nantinya. Tak kalah mengenaskan daripada ditolak oleh orang yang disukainya.&n