"Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya.
Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah dia hidangkan. "Ehm, enak. Enak banget." Jean tersenyum lebar ke arah pembantu barunya, setelah mencicipi masakan perempuan itu. "Yang bener Pak?" Nilam tersenyum penuh percaya diri. "Iya. Enak banget rasanya. Asin, gurihnya juga pas banget," puji suami Elisha itu secara bertubi-tubi. "Kamu jago banget masaknya? Pernah kerja di restoran atau emang punya hobby masak kamu?" "Saya kebetulan emang seneng masak Pak. Belum lagi, saat di asrama kan saya juga dilatih lagi. Mungkin karena itu masakan saya jadi lebih enak," balas Nilam sambil tersenyum malu-malu. "Oh. Bener juga sih." "Ya udah Pak, silahkan dinikmati. Saya, pamit mau beres-beres dapur dulu." "Lho-lho! Kok gitu sih?" Pertanyaan Jean itu membuat langkah Nilam terhenti. "Kan tadi aki ngajak kamu buat makan bareng? Kok sekarang kamu malah mau kabur?" Perempuan berambut panjang yang sengaja di kuncir di belakang tengkuk itu, hanya bisa menggaruk pelipisnya. "Tapi Pak, saya nggak enak kalau harus satu meja ama Bapak." "Kenapa gitu? Kamu malu dekat denganku?" "Bukan— tapi saya ngerasa nggak pantes. Soalnya saya kan cuma pembantu." "Pembantu juga manusia kan? Jadi nggak usah merendah gitu! Ayo duduk! Kita makan sams-sama!" Nilam sebenernya sangat sungkan karena harus duduk di tempat yang sama dengan majikannya. Tapi dia juga tidak berani membantah pria itu karena Jean adalah tuannya. Suasana di meja makan terasa amat canggung. Hanya suara denting peralatan makan yang terdengar meramaikan suasana. Keduanya tidak terlalu banyak bicara, sampai— "Nilam!" Jean memanggil pembantu yang duduk di seberang mejanya, saat tidak sengaja melihat ada biji nasi yang menempel di dagu sang pembantu. "Iya Pak?" Nilam balik menatap majikannya dengan sorot mata yang tampak polos. "Ada apa?" "Itu, ada nasi di dagu kamu," balas Jean. Pipi Nilam langsung memerah. Dia langsung meraba dagunya untuk mencari nasi yang dimaksud oleh Jean. Tapi entah memang di sengaja atau tidak, Nilam terlihat kesulitan membersihkan nasi itu dari dagunya. Hingga tanpa sadar, pria berahang tegas itu malah mengulurkan tangannya untuk mengambil nasi tersebut dari wajah sang gadis. "Udah bersih," gumam Jean. Melihat tatapan kaget Nilam, membuat pria itu sadar dengan apa yang baru saja dia lakukan. "Ma— makasih Pak." Nilam malu sekali. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya karena perlakuan Jean tersebut. Mencoba mengatasi situasi canggung yang terjadi, Jean pun berkata, "Aku udah selesai makannya." Nilam memandangi pria yang berdiri di seberangnya ini. "I-iya Pak." "Aku mau ke atas dulu. Mau siap-siap jemput Qila. Aku minta tolong beresin ini ya!" Pembantu seksi itu hanya mengganggukkan kepalanya. Mempersilahkan Tuannya itu untuk meninggalkan tempat. Sementara dia sendiri hanya dapat mengusap dagunya yang tadi di sentuh oleh Jean. Sungguh dia merasa tersipu hanya karena sentuhan kecil itu. Jujur dia tidak pernah mengalami hal tersebut. Bahkan saat dengan pacarnya dulu. *** Elisha pulang ke rumah di atas jam 10 malam seperti biasanya. Namun bedanya, kali ini ada Nilam yang membukkan pintu untuknya. "Selamat malam Bu." Nilam membukakan pintu sembari membantu Elisha untuk membawakan ras kerjanya. Dia menyambut majikan wanitanya tersebut dengan senyum ramahnya yang khas. "Malam." Wanita berambut gelap itu membalas sapaan Nilam dengan senyum tipisnya. "Sepi banget? Mas Jean udah tidur?" "Saya kurang tau Bu. Tadi setelah makan malam sama Mbak Qila, langsung naik ke lantai dua." Elisha hanya menganggukkan kepalanya. "Ya sudah." "Ibu mau makan malam? Kalau iya, nanti saya an—" "Nggak usah. Aku udah makan tadi di kantor. Kamu simpen aja makanannya di kulkas." Itulah pesan Elisha sebelum naik ke lantai dua. Sementara Nilam hanya mengangguk dan mengikuti semua arahan sang majikan tanpa banyak membantah. * "Mas!" Elisha masuk ke dalam kamar pribadinya setelah mengecek keadaan di kamar putri semata wayangnya. Ia melihat sang suami sedang bermain laptop di atas ranjang. "Oh? Elisha? Kamu baru pulang?" Mendapatkan pertanyaan itu membuat Elisha terkejut. Tidak biasanya sang suami menyambut kepulangannya dengan gembira. Biasanya dia akan selalu ketus saat ia pulang terlambat. "Tumben Mas nada bicara kamu ceria gitu? Kamu lagi seneng ya?" tanya Elisha sambil menghampiri suaminya. Jean tersentak kecil. "Masa sih? Perasaan biasa aja deh." "Enggak Mas. Agak beda. Kamu keliatan happy gitu kok?" Elisha tersenyum. "Ayo cerita ada apa?" pintanya sambil duduk di samping suaminya. Jean menelan ludah. Dia tidak tau jika Elisha segitu pekanya dengan perubahan moodnya. "Aku hanya merasa gembira karena salah satu karyaku lolos buat dijadikan FTV." "Serius Mas?" Elisha terlonjak gembira. "Selamat ya Mas." Jean kaget saat istrinya ini memeluknya erat. "Aku tau kamu pasti berhasil." Ia memandangi sang suami dan memberikan kecupan singkat di pipi dan bibirnya. "Yah, itu juga berkat doa dari kamu Lis. Makasih ya udah dukung aku." Jean balas tersenyum. "Emang mau tayang di mana Mas?" "Ini masih rencana sih, tapi sepertinya di platform digital. Kan kamu tau sendiri, aplikasi semacam itu lagi laku keras sekarang," terang Jean. Elisha hanya menganggukkan kepalanya. Meskipun tidak begitu paham, tapi dia begitu bangga dengan apa yang suaminya lakukan. Setidaknya, setelah beberapa bulan pengangguran dan hanya menggantungkan gajinya, kini pria itu sedikit berguna sebagai kepala rumah tangga. "Aku mandi dulu ya Mas. Nanti kita ngobrol lagi," ucap Elisha sambil mengecup pipi suaminya. Melihat istrinya sudah berdiri, Jean langsung mencegah langkah wanita itu dan berkata, "Elisha, setelah ini aku boleh minta sesuatu nggak?" Wanita yang masih mengenakan blouse itu mengerutkan keningnya. "Minta sesuatu? Apa itu Mas?" Jean memandangi istrinya, "Sebenarnya aku..."Dion menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya sendiri.“Boleh aku jujur malam ini?”Elisha diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.“Aku serius sama kamu, El.” Suara Dion terdengar tenang, tapi sorot matanya jelas. “Aku suka kamu. Udah lama. Sejak kita ketemu lagi di rumah sakit… perasaan itu makin jelas.”Elisha tertegun. Ia tidak langsung menjawab.Dion melanjutkan, nadanya pelan namun penuh keyakinan. “Aku gak minta jawaban sekarang. Tapi aku gak mau pura-pura lagi.”Elisha menggigit bibirnya. Lama. Tangannya mengepal di atas meja, napasnya terdengar berat.“Dion… aku…” suaranya nyaris berbisik. “Aku gak yakin.”“Gak yakin soal aku?” tanya Dion lembut.Elisha menggeleng cepat. “Bukan soal kamu. Kamu terlalu baik.”Dion mengernyit.“Aku yang merasa gak pantas.” Suara Elisha bergetar. “Aku ini mantan napi, seorang janda, punya anak. Masa laluku terlalu kelam. Gimana sama pendapat orang-orang? Jujur, aku merasa takut."“Kalau cuma karena masa lalu, kamu g
Begitu sampai di sebuah kafe kecil dekat rumah sakit, Dion membukakan pintu untuk Elisha dengan sopan. Mereka memilih duduk di pojokan, sedikit terpisah dari pengunjung lain. Suasana cukup tenang, ditemani alunan musik jazz ringan yang membuat udara pagi terasa lebih santai.Elisha masih terlihat kaku. Sesekali ia mengusap telapak tangan ke celana jeans-nya sendiri, mencoba menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya tidak perlu.Tak lama, setelah mereka memesan minuman, Dion langsung masuk ke topik tanpa basa-basi.“Aku ajak kamu ketemuan bukan buat ngobrolin masa lalu,” katanya sambil menatap Elisha langsung. “Bukan juga buat… urusan pribadi.”Elisha mengangguk cepat. “Iya. Aku paham kok.”Dion tersenyum tipis. “Tapi ada satu hal yang aku ingat soal kamu, El.”Elisha mengerutkan kening. “Apa?”“Kamu kan jago masak.”Elisha tertegun. “…hah?”“Aku masih inget tiap ada acara kecil di lapas, kamu yang paling sibuk di dapur. Kadang suka ngasih aku nasi goreng atau cemilan waktu aku keliling
Malam itu, suasana ruang makan di rumah Bu Mala terasa lebih hangat dari biasanya. Makanan terhidang rapi di atas meja bundar. Jean duduk di sisi kanan Nilam, sementara Elisha duduk berseberangan. Di sampingnya, Qila sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuk sendiri.“Makan yang banyak ya, Qila,” ucap Bu Mala sambil menyendokkan ayam bakar ke piring cucunya. “Biar besok sekolahnya semangat lagi.”“Iya, Oma,” jawab Qila ceria.Beberapa saat makan berlangsung dalam obrolan ringan. Namun mendadak, Qila berhenti mengunyah dan menoleh pada Jean.“Pa… tadi Qila ketemu Om dokter loh.”Jean yang tengah memotong daging, langsung mengerutkan kening. “Dokter? Maksudnya siapa?”Nilam refleks melirik Elisha sekilas, sementara Elisha langsung berhenti makan, nyaris tersedak saking paniknya.“Om Dion!” jawab Qila polos. “Dokter Dion!”Jean menatap kosong. “Siapa?”“Dokter di rumah sakit tadi. Yang bantu Mama Nilam sama Mama Elisha. Omnya baik banget! Kasih Qila roti. Terus dia temennya Mama Elisha.”Nil
"Om tadi kayaknya suka sama Mama deh."Elisha nyaris tersedak ludah sendiri saat mendengar kalimat polos namun menohok dari mulut Qila.“A-apa?!” Elisha membelalak, hampir tersedak. “Kamu ngomong apa barusan?”Qila hanya nyengir santai. “Aku bilang… Om dokter tadi kayaknya suka sama Mama.”Elisha langsung menggeleng kuat-kuat, pipinya memerah. “Qila! Jangan ngomong aneh-aneh. Dari mana kamu bisa mikir begitu? Kamu kan masih kecil.”“Ya dari cara dia liat Mama tadi. Kan keliatan banget. Beda. Kayak… hmm, Papa kalau liat Mama Nilam,” jelas Qila polos.Elisha terdiam sejenak, mencoba mengatur napas. “Qila… Om Dion itu cuma teman Mama. Teman lama. Udah gitu aja. Lagian dia dokter.”“Dokter kan keren Ma!"Elisha memutar bola matanya. “Ya Tuhan, anak ini... Udah ya jangan aneh-aneh!"Qila tertawa puas. Ia tahu komentarnya berhasil membuat Mamanya salah tingkah.Namun belum sempat Elisha membalas, langkah kaki terdengar mendekat.“Elisha! Emm... Qila..."Suara lembut yang familiar membuat El
Nilam sudah menunggu di lobby saat ia melihat Elisha keluar dari kursi kemudi sambil tersenyum lebar, dan dari pintu sebelah, muncul sosok remaja perempuan dengan ransel di punggungnya.“Qila?” gumam Nilam, terkejut.Begitu gerbang dibuka, Qila langsung berlari kecil masuk dan memeluk Nilam erat. “Mama Nilam! Surprise!”Nilam tertawa kecil, meski harus menahan nyeri di perutnya. “Ya ampun, kamu beneran bolos? Kirain tadi cuma bercanda?”“Cuma hari ini kok aja kok, Ma,” jawab Qila santai. “Aku udah bilang ke sekolah, katanya bisa diganti tugas. Aku pokoknya mau ikut nemenin Mama hari ini. Titik.”Elisha yang menyusul dari belakang cuma geleng-geleng sambil tersenyum pasrah. “Jangan salahin aku ya, dia yang maksa ikut. Katanya kamu butuh di semangatin.”Nilam mengangguk, matanya menghangat. “Makasih, kalian berdua.”Tak lama kemudian, Elisha membantu Nilam masuk ke dalam mobil. Walaupun sudah bisa jalan, Nilam masih belum boleh banyak bergerak. Makanya dia masih harus memakai kursi roda
Setelah mengantar Bu Sinta pulang bersama petugas rumah tahanan, Jean menyetir sendirian di bawah langit yang masih kelabu. Hujan belum turun, tapi awan menggantung seperti menunggu waktu. Perjalanan ke rumah mertuanya ia tempuh dalam diam. Pikiran masih berat, tapi setidaknya, satu babak kelam dalam hidupnya dan Nilam sudah benar-benar selesai hari ini.Mobil berhenti di depan rumah bergaya modern milik Bu Mala. Jean segera turun dan mengetuk pelan pintu depan. Tak lama, pintu dibuka.“Jean...” Bu Mala langsung menyambutnya. Raut wajahnya cemas. “Gimana, Nak? Gimana di sana?”Di belakangnya, Nilam sudah duduk di sofa ruang tamu, menatap ke arah suaminya dengan sorot mata tak sabar.Jean masuk, melepas jaket dan duduk di samping Nilam. Tangannya menggenggam jemari istrinya, lalu mengangguk pelan ke arah ibu mertuanya.“Benar, Ma. Dikta... bunuh diri. Gantung diri di selnya tadi pagi.”Suasana di dalam rumah langsung hening. Bu Mala menutup mulutnya dengan tangan, terkejut, sementara N