“Kenapa Mama kayak takut aku tahu lebih banyak?” tanyanya, suaranya pelan namun penuh tuntutan. Bu Mala menarik napas panjang, lalu melepaskan genggaman tangannya. “Bukan soal takut, sayang. Mama cuma gak mau kamu terjebak di masa lalu. Kamu berhak dapat hidup yang lebih baik."Nilam terdiam. Ia tahu Mamanya sedang menyembunyikan sesuatu, tapi ia juga tahu percuma jika ia terus mendesak saat ini."Coba ambil hikmahnya, Nilam. Tuhan jelas punya alasan kenapa ngasih kamu amnesia. Jelas Dia mau kamu melupakan semua kenangan itu."Nilam merasa kecewa mendengar balasan sang Mama. Hatinya berkata jika ada sesuatu yang janggal."Tapi Ma...""Cukup ya Nilam sayang! Mama gak mau bahas itu lagi." Bu Mala menatap putrinya dengan sorot memohon. "Dan jangan ungkit soal masa lalu kamu sebelum amnesia ya! Mama mohon..."Nilam ingin membantah. Ia ingin tau semuanya. Tapi melihat tatapan memohon ibunya, menjadikannya lemah. “Iya Ma,” jawabnya akhirnya, meskipun dengan sangat terpaksa.Bu Mala tersen
Suasana ruang rapat terasa tegang kali ini. Tim marketing duduk berjejer di meja panjang, beberapa dari mereka ada yang mengamati laptop masing-masing. Sedangkan Jean, dia duduk di ujung meja, matanya menatap tajam layar proyektor yang menampilkan slide presentasi yang sedang dipaparkan oleh salah satu anggota tim marketing bernama Bobby."Berdasarkan data yang kami peroleh, tren penjualan pada kuartal ini menunjukkan peningkatan sebesar 12% dibanding kuartal sebelumnya,” jelas Bobby dengan nada percaya diri, sembari menunjuk grafik pada layar. Namun, alih-alih puas, Jean mengerutkan keningnya. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, gestur yang sangat dikenali timnya sebagai tanda bahwa ia tidak puas.“12%?” Jean memotong penjelasan Bobby, suaranya tegas dan terdengar agak dingin. “Kenapa hanya 12%? Padahal strategi yang kalian usulkan bulan lalu menjanjikan peningkatan minimal 20%. Apa ada yang salah di implementasinya?” “Pak, dengan segala hormat,” Bobby memulai, mencoba terdeng
Nilam duduk di kantin bersama Rina dan Talita saat jam makan siang tiba. Di depannya ada semangkok mie yamin yang sama sekali belum disentuh. Ia hanya mengaduk-aduknya dengan garpu, pikirannya melayang entah ke mana. "Eh, Mba Nilam," panggil Talita sambil meminum jus jeruknya. "Kamu kenapa sih? Dari tadi diem aja?Pasti mikirin Pak Jean, ya?" tanyanya iseng, dengan nada menggoda. Nilam langsung mendongak, wajahnya berubah merah. "Hah? Nggak, kok!" bantahnya cepat. "Ngapain juga aku mikirin dia?" "Serius? Gak mikirin dia?" "Gaklah. Aku malah lagi sebel sama dia," balas Nilam dengan pipi menggembung. Teringat bagaimana Jean memarahinya perkara dia kurang hati-hati di depan karyawan lainnya beberapa waktu yang lalu. "Sebel? Kenapa?" tanya Talita bingung. "Barusan Nilam kena omel karena gak fokus di tempat kerja," sahut Rina— yang langsung menjawab rasa ingin tau Talita. "Hah? Tumben?" Talita sedikit syok, "gak biasanya banget Pak Jean kayak gitu." Nilam mendengkus, tak berniat me
"Si tengil?" Nilam mengerutkan dahinya. "Siapa yang bapak maksud?""Menurut kamu?"Nilam terdiam, mencoba mencerna ucapan Jean. "Maksud bapak, si Dewa?" tanya perempuan itu dengan polosnya.Wajah Jean semakin kusut. Namun masih bisa dia sembunyikan dengan baik dengan ekspresi datarnya. "Aku tau kamu sedang kasmaran dan ingin menceritakan semua yang kalian lakukan malam minggu kemarin, tapi kamu juga harus kerja yang bener!"Nilam melotot tidak percaya mendengar perintah Jean. "Setengah jam? Pak, ini kan rangkuman hasil rapat. Gimana bisa selesai secepat itu?" protesnya dengan nada sedikit panik.Jean hanya menyilangkan tangan di dada, menatap Nilam dengan tatapan dingin. "Kalau kamu gak banyak ngobrol di kantin, waktumu gak akan terbuang sia-sia. Sekarang buktikan kalau kamu bisa profesional. Aku kasih waktu 30 menit. Kalau gak selesai, konsekuensinya kamu harus lembur." "Lembur?!" Nilam menatap Bosnya dengan pandangan tak percaya. "Pak, itu gak adil. Lagian kan tadi juga masih jam
“Eh?!” seru Nilam. "Kenapa ini?!" Nilam panik karena tiba-tiba lampu mati. Dan parahnya lagi, kejadian ini datang di saat yang tidak tepat.Begitu lampu lift padam sepenuhnya, suasana langsung berubah mencekam. Gelap yang pekat menyelimuti ruang sempit itu, hanya tersisa suara napas Nilam yang mulai tidak teratur. Ia buru-buru merogoh ponselnya dan menyalakan flashlight, cahaya putih redup sedikit membantu menerangi ruangan, tapi justru membuat bayangan-bayangan di dinding lift terasa lebih menakutkan. Sedangkan Jean segera meraba panel lift, menekan beberapa tombol, tetapi tidak ada respons. “Mungkin lstriknya mati,” gumamnya dengan nada datar, meskipun ekspresi wajahnya mulai sedikit serius. Nilam menggigit bibir bawahnya cemas. “Terus gimana dong Pak?" tanyanya dengan suara gemetar, ekspresi wajahnya terlihat seperti ingin menangis.Jean meliriknya sekilas, lalu menghela napas panjang. “Tenang, Nilam. Ada genset di gedung ini. Harusnya sih ini gak akan lama.” Ia lalu merogoh po
"Semenakutkan itu ya Pak?"Jean menoleh ke arah sekertarisnya, alisnya berkerut penuh rasa ingin tau."Kata bapak, moment itu bikin bapak trauma. Berarti itu sesuatu yang sangat menakutkan. Ya kan?""Hm. Rasanya duniaku serasa berhenti berputar. Semuanya kacau. Rasa takut, khawatir, sedih, marah, semuanya bercampur jadi satu hari itu."Nilam mendengarkan cerita Jean dengan seksama. Membiark pria itu mengeluarkan uneg-unegnya. Sampai...“Pak Jean...” suara Nilam nyaris berbisik. “siapa orang yang beruntung itu?"Jean menegang sesaat, lalu tersenyum samar. "Hm?""Apa itu istri bapak?"Jean menarik sudut bibirnya. Ia tersenyum penuh makna. "Menurut kamu?"Nilam berdecak. "Itu bisa aja istri bapak, atau cinta pertama bapak, atau anak Pak Jean?" Ia menggaruk bawah dagunya. "Aku gak tau."Jean tersenyum kecil melihat Nilam yang terus berspekulasi. Ia menatap gadis itu dengan lembut, matanya sedikit melembut di balik ekspresi tenangnya.Tiba-tiba, lift kembali bergetar, membuat Nilam terlonj
“Nilam!” Jean refleks menangkap tubuhnya yang lunglai, memeluknya erat sebelum jatuh menyentuh lantai. Napas Nilam terdengar lemah di dada Jean, kepalanya bersandar di bahu pria itu.Jean merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan karena panik, tapi karena rasa khawatir yang kini memenuhi pikirannya. “Tolong! Dia pingsan!” serunya ke arah tim penyelamat yang segera masuk ke dalam lift.Seorang petugas medis segera mendekat dengan tandu. “Pak, tenang. Kami akan menangani ini.”Jean mengangguk, meskipun ia enggan melepas genggamannya di tubuh Nilam. Dengan hati-hati, ia meletakkan gadis itu di tandu, matanya tak lepas dari wajah Nilam yang tampak pucat.Saat Nilam dibawa keluar dari lift, Jean mengekor di belakang, langkahnya sedikit tertahan karena rasa cemas yang masih membebani dadanya.Di luar lift, udara segar menyambut mereka. Jean menghela napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang masih terasa di dadanya. Ia berjalan di samping tandu, matanya tak lepas dari Nilam yang ma
Jean membantu Nilam untuk bangun. Sedangkan Nilam mencoba untuk duduk meskipun kepalanya masih sedikit pusing."Ayo aku antar pulang!"Nilam menatap bosnya dengan pandangan syok. "Enggak perlu, Pak," tolaknya cepat."Kenapa Nilam?"Perempuan itu menggigit ujung lidahnya. "Saya udah terlalu banyak ngerepotin bapak hari ini. Lagipula bapak kan harus segera pulang, pasti istri dan anak bapak juga khawatir kan?"Jean menatap Nilam dengan ragu. “Terus kamu mau pulang dengan kondisi lemes gini? Yang benar saja, Nilam."Nilam tersenyum tipis, meskipun wajahnya masih terlihat pucat. “Saya bisa pesen taksi kok. Ini saya mau chat Surya, supir taksi langganan saya."Jean menghela napas. Jelas ada keinginan dalam dirinya untuk tetap di sisi Nilam, memastikan gadis itu benar-benar sampai di rumah dengan selamat. Namun ia juga bisa sedikit lega jika memang Surya yang akan menjemput Nilam nantinya.“Kalau gitu, biar aku tunggu sampai Surya datang,” ujarnya akhirnya, setengah memaksa. Nilam tertawa
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya naik. Embun masih menggantung di daun-daun, dan udara masih terasa dingin.Jean terbangun karena silau cahaya matahari. Ia mengerjapkan mata, mengusap wajah perlahan, lalu menoleh ke samping. Kosong. Tidak ada Nilam di sana.Keningnya berkerut. “Sayang?” panggilnya pelan, tapi tak ada jawaban.Ia duduk, menyibakkan selimut, dan melihat ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Kamar mandi juga sepertinya kosong."Nilam sayang kamu di ma..." Ucapan Jean terputus ketika mendengar suara angin lembut mengayun gorden, dan sinar jingga tipis dari arah balkon terlihat menyelinap masuk ke dalam ruangan.Rasa penasaran membuatnya segera bangkit. Ia melangkah pelan, lalu berdiri di ambang pintu balkon. Di sana, berdiri sosok yang sangat ia kenal. Nilam.Tubuhnya dibalut piyama biru lembut yang sama seperti semalam, rambutnya diikat asal dan dibiarkan tergerai ke belakang, wajahnya tenang namun tatapannya kosong mengarah ke langit yang mulai cerah."Sayang..."
Namun ketika Dikta membuka pintu kontrakan dan melangkah keluar menuju teras, langkahnya terhenti seketika.“Dikta?”Suara itu membuat jantungnya mencelos. Ia menoleh cepat. Di sana, berdiri Bu Sinta—ibunya—dengan daster bunga-bumga dan wajah penuh curiga. Rambutnya yang sebagian memutih digulung seadanya, dan mata tuanya menatap ke arah ransel besar yang tersampir di punggung anak satu-satunya itu.“Lho… kamu bawa-bawa tas segede itu, mau ke mana?” tanyanya dengan nada cemas.Dikta menghela napas dalam dan mencoba tersenyum, meski wajahnya masih terlihat tegang. “Aku… mau pergi, Ma. Temen ngajakin kerja di luar kota. Katanya ada lowongan di pabrik, gajinya lumayan…”“Lho! Kok mendadak banget?” Bu Sinta maju beberapa langkah. “Kamu enggak cerita apa-apa sebelumnya.""Kan aku udah bilang kalah ini dadakan, Ma.""Tapi ini udah malem loh Dikta," Bu Sinta mendekati Dikta. Ekspresi cemas tergambar di wajahnya. "Kamu mau kerja di mana?""Ma aku juga belum tau di mana pastinya. Tapi yang jel
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cepat di belakang mereka, disusul dengan suara yang familiar, memanggil dengan nada cemas. “Nilam!” Nilam menoleh. Matanya membelalak ketika melihat sosok pria yang berlari kecil menembus kerumunan warga dan garis polisi yang sudah dipadati petugas. Jean. “Sayang...” gumam Nilam pelan sebelum akhirnya tubuhnya larut dalam pelukan suaminya. Seluruh kesedihannya meledak saat itu juga. Ia menangis keras-keras, menggenggam kemeja Jean erat-erat, seolah takut akan kehilangan pegangan hidupnya. Jean langsung memeluknya erat. Tangannya mengelus kepala istrinya yang menangis sesenggukan, dan wajahnya pun sudah basah oleh air mata yang tak sanggup lagi ditahan. “Tenangin diri kamu Nilam sayang!" bisiknya berulang-ulang, mencoba menenangkan sang istri. "Sayang, Mba Talita... Harusnya hari itu kita bisa nemuin dia, tapi—" tangis Nilam pecah, suaranya penuh sesal, penuh luka yang mendalam. "tapi kita malah pergi." Jean tidak menjawab. Ia hanya memeluk
"Gimana kalau—"Suara Rina menggantung di udara karena tiba-tiba Dani, salah satu staf kantor, datang tergopoh-gopoh menghampiri mereka di kantin. Nafasnya ngos-ngosan, wajahnya pucat, dan tangannya bergetar saat memegang ponselnya. Semua orang yang berada di meja makan langsung menoleh ke arah Dani, yang tampak begitu panik seperti baru saja melihat sesuatu yang sangat mengerikan.“Nilam… Mba Rina… kalian harus lihat ini!” katanya terbata, matanya membelalak. “Ada berita heboh! Dan ini tuh gila banget.... ini bener-bener gak masuk akal.”Nilam mengernyit, reflek berdiri dari kursinya. “Ada apa sih Dan? Ada berita apa emangnya?"Dani tidak langsung menjawab. Ia hanya menyodorkan ponselnya ke arah Nilam dengan tangan yang masih gemetar. Di layar terpampang foto-foto yang langsung membuat dunia seolah berhenti berputar untuk sesaat.Satu foto menunjukkan rumah kontrakan sederhana yang tidak asing di mata Nilam. Halaman luas dengan banyak daun berguguran. Debu di banyak area dan yang pa
"Hai Mbaaa...""Hai Nilam, akhirnya kamu masuk kerja juga.""Iya nih.""Kita kangen banget sama kamu, Nilam.""Sama Mba, aku juga kangen banget ama Mba Rina."Jean mengangkat sedikit alisnya. Ia agak canggung berada di antara Nilam dan beberapa karyawannya yang hebohnya bukan main. Saat tiba di kantor, Rina dan langsung menyambut Nilam dengan pelukan. Mereka juga saling bertanya kabar sampai lupa kalau ada Jean di belakang Nilam— yang sibuk membawa tiga totebag besar berisi oleh-oleh."Jujur kita kangen banget ama kamu, Nilam," ujar Rina setelah melepaskan pelukannya."Aku juga kangen pengen gibah ama kalian.""Gimana liburannya di Bali? Seru gak?""Wah— seru ba—""Ehem."Mereka langsung menoleh ke sumber suara barusan. Di mana ada Jean yang sudah memasang tampang lelah."Eh, Pak Jean." Rina langsung menatap sungkan ke arah Bos mereka. Nilam juga cuma bisa meringis karena sudah mengabaikan suaminya."Maaf ya Pak, kita gak ngeh kalo ada bapak karena terlalu girang," ucap Rina."Iya Pak
"Aduuuh, tuan putri baru bangun."Nilam baru saja tiba di dapur ketika sama apa penyebutnya dengan kalimat sindiran seperti itu. Moodnya seketika anjlok gara-gara kata-kata Bu Mala barusan."Apa sih Ma? Kan ini masih jam 7," balas Nilam sambil mengerucutkan bibirnya. Ia mendekati sang mama yang sedang sibuk menyiangi sayuran di temani bibi ART."Oh iya juga sih. Biasanya kan kamu bangun jam 8. Apalagi kalo libur, tengah bolong kamu baru bangun," sarkas Bu Mala.Nilam duduk di depan sang Mama dengan wajah cemberut. Ini masih pagi banget loh tapi Bu Mala sudah ngomel-ngomel."Aduh Ma. Sekarang kan hari minggu. Nyantai dikit gak sih Ma?" Nilam mencoba mencoba untuk membujuk sang Mama agar berhenti marah-marah. Tapi bukannya stop ngomel, Bu Mala justru melata kan sayuran yang tadi dia kupas di atas meja, lalu memandang putrinya dengan wajah sangar. "Inget Nilam, kamu ini udah jadi ibu rumah tangga loh. Kamu mau punya tanggung jawab sebagai ibu dan juga seorang istri."Nilam mengatupkan b
Setelah selesai menikmati makan malam yang lezat, Nilam dan Jean kembali ke hotel dengan perut kenyang dan senyum bahagia. Namun, begitu sampai di kamar hotel, Nilam, yang masih mengenakan gaun pendeknya, memilih untuk tidak langsung mengganti baju. Ia memilih untuk melanjutkan momen santai dan kenyamanan dengan berbaring di ranjang. Sorot matanya mencerminkan kepuasan setelah santap malam, dan suasana hangat di kamar mereka menambah kenyamanan."Kamu ga ganti baju dulu, sayang?" tanya Jean. Ia melihat istrinya yang memejamkan mata di kasur. Sementara kakinya dibiarkan menjuntai setengah di lantai."Bentar sayang, aku kekenyangan.""Ya ampun," Jean menggelengkan kepalanya. "Minimal cuci muka sayang. Nanti kalau jerawatan malah aku yang kena omel.""Tapi aku beneran mager. Mau langsung tidur aja," rengek Nilam.Jean mendesah pelan. Ia memilih untuk mengganti bajunya lebih dulu dan membiarkan Nilam bersantai. Jean langsung ke kamar mandi dan cuci muka dan baru keluar setelah gosok gigi
"Oma... Oma..."Bu Mala yang sedang mencuci piring di dapur, dikejutkan oleh suara panggilan Qila yang berlarian sambil membawa hapenya. Bocah 10 tahun itu buru-buru ingin menunjukkan jika Papa dan Mama barunya sedang menelpon dirinya. "Ada apa Qila sayang?" tanya Bu Mala sambil cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya."Ini Oma, Papa video call. Ada Mama juga di sana.""Oh ya?" Bu Mala jadi ikut antusias saat mendengar ucapan Qila. "Mana-mana?""Ini Oma?"Bu Mala tersenyum lebar saat melihat Jean dan Nilam. Ia bahkan langsung melambaikan tangannya ke arah mereka berdua dengan wajah girang."Rapi banget kalian, mau ke mana?" tanya Bu Mala yang sudah duduk di bangku dekat meja makan sambil memangku Qila.["Kita mau makan malam, Ma. Ini lagi nunggu Nilam dandan."]"Wah, mau makan malam di mana?"["Di area restoran yang ada di hotel kok, Ma. Kita udah pesen meja juga."]["Kalian udah makan belum?"]"Udah Pa, kita udah makan pake nasi kare buat Oma. Rasanya enak banget Pa," jawab Qila mewa
“Yuk, aku gendong.”“Serius?”“Serius. Pangeran tangguhmu kan selalu siap sedia.”Tanpa banyak basa-basi, Jean langsung jongkok dan menyuruh Nilam naik ke punggungnya. Nilam pun merangkul leher suaminya dan bersandar di bahunya, tubuhnya lemas tapi nyaman.Selama perjalanan menuju kamar, Jean berjalan pelan. Nilam yang awalnya cerita-cerita pelan, akhirnya terdiam. Nafasnya mulai pelan, lalu terdengar beraturan.Dia tertidur?Sesampainya di kamar, Jean membuka pintu pelan-pelan dengan satu tangan, lalu membawa Nilam ke tempat tidur. Ia membaringkan istrinya perlahan, lalu menyelimuti tubuh kecil itu dengan selimut.Jean duduk di sisi ranjang, menatap wajah Nilam yang tidur dengan damai.“Maaf ya, Sayang... hari ini kamu capek banget gara-gara aku juga. Tapi kamu tetap senyum sepanjang hari. Aku beruntung banget,” bisiknya sambil mengecup dahi istrinya.Ia pun ikut rebahan di sebelah Nilam, menarik tubuh istrinya ke pelukannya, dan malam itu mereka tertidur dalam keheningan hotel yang