Rencana Zidan berantakan karena Rayna tidak datang ke tempat itu.Tidak! Zidan sama sekali tidak menyalahkan Rayna, karena wanita itu memang tidak salah. Semua ini salah Alden, dialah penyebab tidak hadirnya Rayna.Entah apa maksud pria itu memberikan hukuman pada Rayna, bukankah itu sudah keterlaluan?Zidan menatap cincin yang ada digenggamannya dengan hampa, hari ini sudah sangat jauh dia rencanakan, sudah dia pikirkan secara matang-matang. Bahkan tempat sudah Zidan dekorasi secantik dan semenarik mungkin, tapi Zidan harus menelan kekecewaan, usahanya sia-sia.Zidan mengambil ponsel di saku celana, menghubungi nomor wanita itu."Sudah pulang?" tanya Zidan to the poin."Sudah, kenapa?""Tidak, hanya ingin memastikan saja. Ya sudah, istirahatlah," perintah pria itu."Ini juga lagi tiduran, omong-omong tadi kamu katanya mau ngomong sesuatu, aku jadi penasaran apa yang mau kamu omongin."Zidan tersenyum miris. "Nanti saja, tunggu ada waktu.""Kenapa nggak sekarang aja?" tanya Rayna. Sep
"Kenapa tuh si Alden, kok tingkahnya aneh banget?" tanya Rafa yang tiba-tiba duduk di sebelah Zidan.Zidan yang tadinya terus memandangi kepergian Alden, tersentak kaget karena mendengar suara Rafa, kini Zidan menoleh ke arah Rafa sambil mengedikkan bahunya acuh."Nggak tahu, mungkin lagi ada banyak masalah," gumam pria itu."Ini cuma perasaan aku aja kali ya, akhir-akhir ini Alden tuh jarang banget datang ke sini, ke kafe kamu. Biasanya dia tuh hari-hari datang ke sini, tapi kok sekarang udah nggak lagi ya, terus aku juga ngerasa kalau sikap dia itu juga berubah. Kamu ngerasa juga nggak sih?" celetuk Rafa."Dia itu juga punya kesibukan kali, Fa. Mungkin waktu dia sering datang ke sini, dia lagi ada waktu senggang, atau dia nggak punya aktivitas lain. Jangan berpikir yang nggak baik, itu nggak boleh."Rafa berdecak sebal. "Ini nih, kamu itu selalu aja berpikiran positif, memang nggak salah sih nerapin hal itu, tapi ada salahnya juga. Maksudnya kita itu jangan terlalu berpikir positif
Rayna tersenyum sumringah ketika mendengar bunyi bel dari rumahnya."Itu pasti Zidan, kok cepat banget ya nyampainya," gumam wanita itu.Meskipun begitu, dia tetap membukakan pintu rumahnya begitu semangat."Pasti kamu ngebut-ngebut di jalan ya, kok cepat banget sampai--" Ucapan Rayna terputus, matanya membulat ketika melihat seseorang yang saat ini ada di hadapannya.Dia bukan Zidan, tapi Alden."Kamu? Ngapain datang ke sini?" tanya Rayna heran.Alden mendesah berat. "Aku hanya memastikan kalau kamu baik-baik saja.""Aku baik-baik saja.""Terus kenapa tadi tidak berangkat kerja?" tanya pria itu."Karena aku capek, sudah, kan? Kalau begitu kamu udah boleh pergi."Lagi-lagi Alden mendesah. "Apa seperti itu cara memperlakukan tamu?""Alden, please. Aku nggak suka basa-basi. Sebentar lagi Zidan akan datang, aku tidak mau kalau dia nantinya salah paham. Sebaiknya kamu pergi," usir wanita itu.Alden mengabaikan ucapan Rayna, dia terbatuk-batuk kecil sambil memegangi tenggorokannya."Sepert
Rafa menatap Zidan dengan miris. Baru saja dia berbicara seperti itu kemarin, dan ternyata ucapannya malah benar-benar terjadi.Rafa benar-benar tidak menginginkan hal ini terjadi, dia hanya ingin Zidan selalu berhati-hati, tak tahunya memang ada sesuatu yang Alden sembunyikan."Dari awal aku juga udah bilang kalau kamu harus hati-hati sama Alden, tapi kamu itu selalu ngeyel, bilang Alden itu orangnya baik lah, inilah, itulah, lihat sendiri, kan, sekarang?"Awalnya Zidan tertawa, tapi lama-lama pria itu terisak pelan. Ini adalah kali pertama Rafa melihat Zidan menangis. Rafa tahu Zidan tidak lemah, dia hanya sakit hati karena telah dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus. Rayna, sebagai orang yang begitu spesial di hati Zidan, dan Alden, orang yang selalu dia percaya, bahkan sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri."Aku benar-benar tidak percaya kalau mereka seperti itu," lirih pria itu.Rafa menghela napas panjang. "Sebenarnya kalau kamu tidak selalu menitipkan Rayna ke dia, pas
"Hai, Sayang."Rayna terkejut dengan kedatangan Zidan yang menurutnya secara tiba-tiba. Jika biasanya pria itu akan mengabari jika akan datang ke sini, kali ini tidak. Yang lebih mencengangkan lagi pria itu datang ketika masih pagi-pagi buta."Ha-hai," jawab Rayna kikuk. "Tumben datang ke sini nggak ngabarin aku dulu.""Iya, sengaja. Mau kasih kamu kejutan. Dan kejutanku berhasil, kan? Buktinya kamu terkejut," sahut pria itu santai."Iya, ayo silakan masuk. Mau aku bikinin minum?" tawar wanita itu."Boleh deh.""Tunggu di sini, aku mau ke dapur dulu."Zidan menjawab dengan anggukan saja. Ketika Rayna berjalan ke arah dapur, tiba-tiba saja Zidan mengikutinya dari belakang dengan jalan mengendap-endap.Wanita itu tersentak kaget ketika Zidan memeluknya dari belakang."Kangen banget," kata pria itu lirih. Namun yang Rayna tangkap, suara pria itu begitu sendu, seperti tengah menutupi kesedihan.Lagi-lagi Rayna heran karena Zidan bertingkah tidak seperti biasa. Kali ini lebih agresif, dulu
"Ada apa kamu ke sini? Tumben," kata Zidan datar."Emangnya nggak boleh?" Alden balik bertanya."Bukannya nggak boleh, tumben aja gitu loh. Biasanya juga jarang. Gimana soal bisnis? Lancar?"Alden manggut-manggut. "Lancar-lancar aja, gimana punya kamu?""Kamu lihat sendiri," sahut Zidan sambil memperlihatkan sekitar.Alden tersenyum tipis, melihat kafe Zidan yang begitu ramai membuat dia bernapas lega. Alden tahu betul perjuangan Zidan ketika merintis usahanya dulu, dialah yang selalu mensupport pria itu, ketika Zidan mengeluh, dia juga yang menyemangati pria itu agar berusaha untuk sabar.Dan sekarang, berkat buah kesabaran Zidan, usahanya akhirnya sukses."Aku senang melihatnya, akhirnya apa yang kamu impikan tercapai juga," gumam pria itu.Zidan ikut tersenyum. Ini yang membuat dia tidak bisa marah pada Alden. Karena Alden lah yang membuatnya semangat membangun bisnis ini. Banyak sekali bantuan yang Alden berikan padanya, rasanya tidak etis jika tiba-tiba saja Zidan menghindarinya
Akhirnya Alden menyetujui permintaan Rayna bahwa dia tidak akan mengganggu wanita itu lagi, tetapi pria itu tetap tidak menyetujui kalau Rayna akan berhenti bekerja, dan beruntungnya Rayna menyanggupi permintaannya.Karena menurutnya dia bisa memperhatikan wanita itu ketika sedang bekerja meskipun secara diam-diam.Hari ini Alden berangkat ke restoran cukup pagi, entah kenapa tiba-tiba saja tingkahnya seperti itu. Dia tidak sabar untuk melihat Rayna. Tapi sepertinya dia datang cukup kepagian."Sial! Kurang kerjaan banget aku ke sini pagi-pagi. Cuma mau ketemu wanita itu kenapa aku tampak bersemangat sekali," dengkus pria itu tak suka.Memang tindakan kadang bisa saja menipunya, tapi tidak dengan hatinya. Dan dugaan Alden semakin kuat kalau dirinya memang benar-benar mencintai wanita itu."Kamu ini kenapa sih kok dibilangin ngeyel banget. Aku bilang, kan, nggak usah kerja, bentar lagi kita itu mau nikah, masalah uang biar aku yang urus, tugas kamu itu di rumah aja."Alden langsung meno
Sedari tadi Alden terus saja memperhatikan Rayna, dia tersenyum kecil ketika melihat wanita itu tampak tidak fokus. Sebenarnya apa yang sedang ada dipikiran wanita itu, bisa-bisanya selalu membuat kesalahan ketika bekerja. Apa mungkin yang ada dipikirannya itu selalu Zidan? Atau Rayna sengaja mencuri perhatian Alden supaya Alden menghukumnya?Alden menggeleng cepat. Bukankah wanita itu tidak suka jika dirinya dekat-dekat dengan wanita itu? Jadi, Alden harus berusaha keras atau menahan diri agar tidak dekat-dekat dengan wanita itu, walau sebenarnya dia sangat ingin.Alden mencoba mendekati wanita itu, dia pura-pura ingin melihat cara kinerja para karyawan, setidaknya seperti ini saja sudah cukup, mencium aroma parfum wanita itu membuatnya terasa nyaman. Karena tak ingin kepergok sedang memperhatikan wanita itu, akhirnya Alden mencari alasan lain."Hei, kamu!" tunjuk Alden pada Riska.Baik Riska dan Rayna langsung menoleh ke arah sumber suara. Tatapan Rayna begitu tajam ketika Alden men