Tok ... tok ... tok ...Rayna mengernyit heran ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya, dia melirik jam dinding itu, sudah pukul 10 malam, siapa yang ingin bertamu selarut ini?'Apa mungkin itu Zidan?' pikir Rayna.Karena takut, dia tidak berniat untuk membukakan pintu, yang wanita itu lakukan saat ini hanya mengintip dari balik gorden jendela. Namun sayangnya dia tidak melihat sosok itu, karena terlanjur penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk membukakan pintu."Loh, Alden. Kamu ngapain ke sini? Zidan udah pulang loh, 30 menit yang lalu," ujar wanita itu, dia tampak kebingungan karena melihat Alden di depan rumahnya dengan penampilan yang begitu acak-acakan."Aku bukan mencarinya," desis pria itu.Rayna mencium aroma tak enak dari tubuh Alden. "Kamu mabuk?" tanyanya dengan mata melotot."Nggak!" elak pria itu."Kamu mabuk, Alden. Ya ampun, kenapa nggak langsung pulang ke rumahmu aja, kenapa harus mampir ke sini sih, kamu mau aku yang ngurusin kamu?"Alden menggeleng, dia menyingkirk
Rayna membanting apa saja yang ada di depannya, dia masih belum terima dengan kejadian tadi malam.Ini sudah kali kedua mereka melakukannya. Yang pertama mungkin karena efek mabuk, membuat dirinya tak sadarkan diri, lalu yang kedua? Dirinya sangat sadar, tanpa efek apapun, kenapa dia begitu gampang menyerahkan tubuhnya, membiarkan pria yang baru saja dikenalnya mencicipi setiap inci tubuhnya dengan suka rela. Kenapa? Rayna selalu menanyakan hal itu pada dirinya sendiri berulang kali. Kenapa, kenapa dan kenapa?Kenapa harus Alden, yang notabenenya orang asing. Kenapa bukan Zidan yang jelas-jelas akan menjadi suaminya kelak?Menyesal? Rasanya percuma, karena semua itu tidak akan membuatnya kembali seperti dulu.Rayna mengacak rambutnya, kentara sekali jika wanita itu tengah frustrasi.Jika dia dengan percaya dirinya jika melakukannya hanya sekali tidak akan menimbulkan efek apapun, lalu bagaimana dengan kedua kalinya? Dan lagi-lagi Alden tidak memakai pengaman. Apakah mulai hari ini Ray
"Hei, kamu sudah banyak minum, apa ini tidak keterlaluan?!" pekik Rafa, dia terus menggeleng karena Alden terus meminum alkohol itu tanpa jeda."Sebenarnya apa yang kamu pikirkan?" tanya Rafa lagi, karena Alden sama sekali tak menanggapi ucapannya.Alden menatap Rafa singkat, lalu kembali meneguk minuman itu. "Tidak ada," sahutnya datar.Rafa menghela napas berat. "Sepertinya kamu memang tengah banyak masalah. Semoga saja masalahnya cepat teratasi."Alden diam saja, dia sama sekali tidak menggubris ucapan Rafa."Rafa," panggil Alden pelan."Kenapa?""Apa kamu percaya apa yang namanya itu cinta?"Rafa mengerutkan keningnya, tumben sekali Alden berbicara seperti itu."Percaya dong, kamunya aja yang nggak percaya," kata Rafa sinis."Bagaimana rasanya jika orang yang kita cinta itu tengah bermesraan dengan kekasihnya?"Rafa semakin tak mengerti dengan Alden."Kamu ini kenapa?""Entahlah, rasanya hatiku tak enak ketika melihat dia tengah bermesraan dengan kekasihnya, apalagi aku melihat se
Sebisa mungkin Rayna bersikap biasa saja ketika bekerja, dan sepertinya Alden pun juga begitu, kali ini dia bertindak dengan profesional.Alden sama sekali tidak menegur Rayna. Bukankah seperti ini yang wanita itu inginkan?Entah apa yang pria itu lakukan, tiba-tiba saja mendadak rajin mengawasi setiap karyawan yang sedang bekerja."Riska, tolong mejanya dibersihkan," titah pria itu dengan tegas."Yang mana, Pak?""Meja nomor 20, itu aku lihat masih kotor."Riska mengernyit heran. "Tapi, Pak. Baru saja sudah saya bersihkan.""Bersihkan ulang, kamu ini gimana sih kalau kerja," omel pria itu."Tapi, Pak--""Bersihkan!" bentak Alden, membuat yang ada di ruangan itu terkesiap, termasuk Rayna."Ba--baik, Pak."Semua yang ada di situ tampak menunduk ketika Alden memperhatikan mereka satu persatu, kecuali Rayna, dia bingung dengan sikap Alden, tumben sekali pria itu bisa semarah ini, biasanya juga tidak seperti itu."Ini pelajaran buat kalian semua, kalau kerja itu yang benar, jangan asal ce
Alden sama sekali tidak membiarkan Rayna pulang. Padahal ini sudah sangat larut malam.Entah mengapa Rayna mempunyai pikiran jika sedari tadi Alden terus saja mencari-cari kesalahannya walau sekecil apapun."Apakah aku sudah boleh pulang?" tanya Rayna pelan, kentara sekali jika wanita itu sangat letih."Memangnya aku sudah menyuruhmu untuk berhenti?" tanya Alden ketus.Rayna menghela napas berat. "Tapi ini sudah larut malam, kenapa tidak dilanjutkan besok saja. Lagian untuk membersihkan ruanganmu itu sama sekali bukan tugasku." Kali ini Rayna memberanikan diri untuk berbicara seperti itu pada Alden, sungguh saat ini badannya terasa begitu remuk karena Alden sedari tadi selalu saja menyuruhnya."Kau lupa kalau hari ini kamu dihukum?""Ya, aku tahu kalau hari ini aku begitu lalai, tapi hukumanmu itu sangat keterlaluan, Alden," kata Rayna bengis."Oke, dalam kamusmu mungkin itu keterlaluan, tapi dalam kamusku yang namanya hukuman tetaplah hukuman yang harus dikerjakan, itulah konsekuensi
"Halo, Zidan," sapa Rayna lirih, tubuhnya masih gemetar karena efek tadi, hampir saja mereka kebablasan."Kamu masih belum pulang? Kenapa dari tadi aku ketuk rumahmu nggak nyahut?" tanya pria itu dari ujung sana.Rayna menggigit bibir bawahnya sambil melirik ke arah Alden.'Duh, ini gimana ya cara ngomongnya, apa jujur aja kali ya.'"A--aku masih di tempat kerja," ujar wanita itu dengan suara terbata."Masih di tempat kerja?" ulang pria itu, "Rayna, ini udah jam berapa? Kenapa kamu masih di sana?" Kentara sekali jika pria itu emosi."Ini memang salahku, karena kecerobohanku, akhirnya aku mendapat hukuman, tidak apa-apa, hanya malam ini saja," ucap Rayna mencoba meyakinkan."Nggak bisa gitu dong, Rayna. Alden benar-benar sudah keterlaluan. Dihukum sih dihukum, tapi kira-kira juga, ini udah malam. Kamu di situ sama siapa?"Rayna tersentak, tidak mungkin dia jujur kalau di sini bersama Alden, yang ada nanti pria itu malah berpikir yang tidak-tidak."Aku sendiri."Alden mengerutkan kening
Rencana Zidan berantakan karena Rayna tidak datang ke tempat itu.Tidak! Zidan sama sekali tidak menyalahkan Rayna, karena wanita itu memang tidak salah. Semua ini salah Alden, dialah penyebab tidak hadirnya Rayna.Entah apa maksud pria itu memberikan hukuman pada Rayna, bukankah itu sudah keterlaluan?Zidan menatap cincin yang ada digenggamannya dengan hampa, hari ini sudah sangat jauh dia rencanakan, sudah dia pikirkan secara matang-matang. Bahkan tempat sudah Zidan dekorasi secantik dan semenarik mungkin, tapi Zidan harus menelan kekecewaan, usahanya sia-sia.Zidan mengambil ponsel di saku celana, menghubungi nomor wanita itu."Sudah pulang?" tanya Zidan to the poin."Sudah, kenapa?""Tidak, hanya ingin memastikan saja. Ya sudah, istirahatlah," perintah pria itu."Ini juga lagi tiduran, omong-omong tadi kamu katanya mau ngomong sesuatu, aku jadi penasaran apa yang mau kamu omongin."Zidan tersenyum miris. "Nanti saja, tunggu ada waktu.""Kenapa nggak sekarang aja?" tanya Rayna. Sep
"Kenapa tuh si Alden, kok tingkahnya aneh banget?" tanya Rafa yang tiba-tiba duduk di sebelah Zidan.Zidan yang tadinya terus memandangi kepergian Alden, tersentak kaget karena mendengar suara Rafa, kini Zidan menoleh ke arah Rafa sambil mengedikkan bahunya acuh."Nggak tahu, mungkin lagi ada banyak masalah," gumam pria itu."Ini cuma perasaan aku aja kali ya, akhir-akhir ini Alden tuh jarang banget datang ke sini, ke kafe kamu. Biasanya dia tuh hari-hari datang ke sini, tapi kok sekarang udah nggak lagi ya, terus aku juga ngerasa kalau sikap dia itu juga berubah. Kamu ngerasa juga nggak sih?" celetuk Rafa."Dia itu juga punya kesibukan kali, Fa. Mungkin waktu dia sering datang ke sini, dia lagi ada waktu senggang, atau dia nggak punya aktivitas lain. Jangan berpikir yang nggak baik, itu nggak boleh."Rafa berdecak sebal. "Ini nih, kamu itu selalu aja berpikiran positif, memang nggak salah sih nerapin hal itu, tapi ada salahnya juga. Maksudnya kita itu jangan terlalu berpikir positif