Share

Mama Tiri Barra

Hanya beberapa hari setelah pernikahan, sudah ada kemalangan. Aku mengenal papa nya Barra dengan baik sebelumnya. Bahkan di desa dia adalah orang yang dihormati, reputasinya sangat baik sehingga beberapa orang segan padanya. Aku belum pernah mendengar tentang dia begitu buruk, sampai aku mendengar berita yang menghancurkan hati ku.

Aku sangat tersentuh ketika melihat Barra menangis, dia sangat menyayangi papanya, mencintainya sampai-sampai dia tidak tega melihat papa nya terbaring tanpa napas. Sesekali aku mencoba menepuk bahu Barra, aku menenangkannya sebisa mungkin.

"Nak! Di mana Barra?" ibu bertanya padaku. Orang tua ku tentu saja datang berkunjung, tetapi aku tidak melihat Mama Barra di mana pun. Sejujurnya, hanya pada sekilas aku sepertinya pernah mendengar tentang Mama Barra. Seingat ku, Mama Barra tidak pernah ingin tinggal di desa, baru-baru ini aku juga baru tahu bahwa Papa Barra telah kembali lagi ke desa.

"Ada Ma, dia di dalam! Ada kerabat lain yang datang, Mas Barra masih menemani mereka" kataku

"Kok mama nya Barra gak keliatan ya dari tadi? Apa Barra udah ngasih tau kabar ini ke mereka? Katanya ibu Barra masih di Bali, kan sama adiknya?" Kata-kata ibu juga membuatku bingung.

"Aku nggak tau apa-apa soal itu Ma!"

"Coba tanya! Mama juga bingung, rasanya Barra nggak pernah punya adik. Apa mungkin karena Mas Anto dan istrinya sudah punya anak waktu pindah dan menetap di luar kota?" Ibuku memiringkan kepalanya.

"Ha? Saya aku tidak begitu ingat, Ma!" ucapku ragu

"Sudah diam! Kamu tidak perlu membebani suamimu dengan pertanyaan apa pun ya! Kita masih berduka, jangan membicarakan hal lain dengannya!" papa ku menegur.

Aku menemani Barra dalam proses apapun, sampai pemakaman selesai. Aku tidak banyak bicara, apa yang Barra butuhkan segera aku berikan. Meskipun Barra membutuhkan bahuku untuk menangis, aku ada di sisinya. Tidak ada orang yang ingin kehilangan orang tuanya.

Aku menghabiskan dua hari di desa, sampai Barra sendiri meminta kami untuk pulang "Sayang,  kamu lelah ya?" Barra mencium keningku.

Di balik kacamata yang dipakainya, aku bisa melihat bentuk matanya yang masih sembab. Tanpa aku sadari, Barra pasti menangis di belakang ku “Enggak, Mas! Kamu yakin, masih tidak mau makan?" tanyaku dengan prihatin. Sejak pagi ini, Barra belum menyentuh nasi sama sekali, katanya nafsu makannya hambar.

"Kita mau kembali ke Bandung hari ini, Nin!"

“Oh? Tapi kamu belum makan apa-apa Mas, ayo isi perutmu dulu” bujukku

"Nanti di jalan, aku benar-benar tidak lapar sekarang!"

“Hmm oke, lalu bagaimana dengan rumah ini, Mas? Nanti kalau ibumu kembali tidak  ada siapa-siapa, lho!”

"Sayang! Aku udah telpon mama, kami sepakat untuk menjual rumah ini! Biarkan mama yang mengurus rumah ini! Kamu bisa bawa mobil atau enggak?"

"Enggak Mas" aku menggelengkan kepalaku.

“Oh? Kamu nggak bisa menyetir mobil juga? Kenapa ? Nggak bisa nyetir sepeda motor juga? Ya ampun, setelah ini kamu belajar ya! Kalau ada situasi kayak gini, aku lelah mengendarai mobil! Paling tidak aku bisa gentian sama kamu kan! Gimana kalau kita kenapa-napa di jalan karena aku lelah? Kamu juga kan yang dalam bahaya! Jadi apa yang bisa kamu lakuin?"

Barra tiba-tiba kesal padaku. Apa yang dia maksud? Aku mengatakan yang sebenarnya, aku benar-benar tidak bisa membawa mobil. Aku tidak punya mobil, mengapa aku harus belajar mengemudikan mobil? Aku bahkan tidak pernah membayangkan memiliki mobil sendiri, itulah sebabnya aku tidak pernah belajar mengemudikannya.

Aku menelan kekesalan Barra, kurasa perasaannya memang sensitif dengan suasana yang masih berduka. 

*****

 Sepertinya tidak butuh waktu lama bagi Barra untuk membaik. Tadi pagi dia harus masuk kerja untuk mengajar lagi, aku menyiapkan minuman untuknya, dan mengantarnya ke pintu "Aku pergi dulu sayang! Kalau mau keluar kabari aku dulu! Hati-hati di rumah ya?” Barra mencium keningku, dan mencium bibirku sekilas.

Aku melambaikan tangan sampai mobil menghilang di ujung gerbang "Hah, kemarahan Barra hanya sesaat, tapi sekali marah raut wajahnya mengerikan untuk dilihat" Aku menggelengkan kepalaku 

Mataku mengamati rumah yang luas, lengkap dengan perabotan unik yang mencerminkan selera Barra. Sampai detik ini, jika Anda bertanya apakah aku mencintai Barra?

Aku mungkin belum mencintai Barra, tapi aku nyaman dengan perlakuan dia padaku. Dia mengurus kebutuhan ku dengan baik, dia memperlakukan aku dengan hangat. Meski begitu, masih ada karakter Barra yang belum terbaca olehku.

"Nyonya, Apa mau saya buatkan jus?" Narti datang padaku 

Alisku berkerut tegas, mataku menatapnya dengan lekat“Kamu, sudah kubilang Narti, jangan panggil aku nyonya! Panggil saja aku mbak!” kataku tegas. Narti jauh lebih muda dariku, dia seumuran dengan adikku Gibran.

"Oh iya mbak! Maaf" ucapnya malu-malu

"Tidak masalah! Iya buati aku jus seperti biasa ya! Aku mau mengambil majalah dulu untuk dibaca di gazebo" kataku

Aku tidak terbiasa dengan kemewahan ini, hanya duduk dan kemudian seseorang memberikan segelas jus untuk ku. Tidak ada yang memerintahkan aku untuk mengejar waktu di tempat kerja, aku hanya perlu lebih memperhatikan suami ku, dan aku mendapatkan semua kemewahan ini sebagai hadiah.

"Barra! Barra, kamu di rumah, Nak?" seseorang berteriak dari ruang tamu.

Aku yang sedang menikmati suasana sambil membaca majalah, kaget karena tamu masuk tanpa izin.

“Mbak! Itu mama nya Mas Barra, udah pulang mbak” kata Narti kepadaku

"Apa?" Aku tercengang dan berlari sedikit untuk mendekati mama nya Barra.

Mata kami bertemu, Mama Barra terlihat lebih muda dari ibuku. Gaya pakaiannya membuatku takjub. Ia mengenakan belzer kasual berwarna krem ​​yang dipadukan dengan kulot putih. Penampilan Mama Barra sangat elegan.

"Oh kamu Aninda ya?" Dia menunjuk ke arahku.

"Iya ma! Aku Aninda!" Aku berjalan ke arahnya dan menjabat tangannya. Anehnya dia hanya memberikan ujung tangannya padaku. Ada desir di hati ku, tetapi aku menyingkirkan semua perasaan buruk yang aku rasakan.

"Barra masih belum pulang kerja?"

“Belum Ma ! Mas Barra biasanya pulang sore kalau hari Jumat! Mama langsung ke sini dari Bali?” tanyaku. Saat aku bertanya, pembantuku membawa koper berukuran besar ke  dalam rumah kami.

"Ya! Karla menyusul datang ke sini nanti! Ugh, aku sangat lelah!" katanya sambil bersandar di kursi santai

"Mama mau minum apa?"

“Gak usah! Kamu telpon Barra! Bilang sama dia, kalau mama sudah sampai” perintahnya

Aku bergegas ke kamarku, mengambil ponsel baru yang dibelikan Barra dengan penuh kasih untukku. Aku enggan mengganggu Barra yang mungkin sedang mengajar, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan permintaan mamanya. 

"Halo, maaf aku ganggu Mas! Aku mau kasih tau, mama kamu sudah sampai di rumah Mas! Kenapa nggak kasih tau aku, kalau mama kamu mau kesini, Mas?" ucapku

"Oh, mama udah sampai! Kamu temani mama ngobrol ya, sayang! Aku akan jelasin nanti! Oh ya, meskipun dia mama tiriku, dia adalah mama terbaik untukku, jadi cobalah bersikap baik di depannya ya sayang! Aku tutup dulu, aku masih ngajar, bye sayang!"

Mataku melebar, "Apa? Mama tiri  nya  Barra?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status