Share

Aku Suami Sah Mu

Barra POV

Aku hanya tahu, begitu dia menjadi milikku, maka aku berhak atas segalanya dalam hidupnya. Karena aku adalah kapten kapal yang berlayar ini.

-------------------

Kulempar tubuhku ke sandaran sofa, aku pulang ke rumah atas permintaan papaku. Hampir seminggu dia membujuk aku untuk menikah, umur ku sudah lebih dari cukup untuk menikah. Bahkan dari sudut pandang keuangan, aku sudah sangat mapan.

“Nak, apa yang papa bicarakan juga merupakan keuntungan untukmu! Aninda lebih muda darimu kan? Kamu masih bisa membimbingnya, karena dia tidak akan banyak menuntut, anaknya juga sangat cantik. Kamu harusnya senang, dia akan menjadi istri yang penurut, apalagi sepuluh tahun lebih muda darimu. Jika kamu tidak menikah sekarang, berapa lama lagi? Mau jadi perjaka tua? "

Kata-kata papa membuatku tersedak, selama ini aku terbiasa menghabiskan hidupku untuk mencapai cita-citaku, aku ambisius dengan segala kesempurnaan. Bahkan aku tidak ingin kehilangan satu langkah pun. Jika seseorang menunjukkan sepeda motornya, aku akan senang untuk membeli mobil lebih dari orang itu.

"Hmm, besok aku mau ketemu dia dulu Pa! Kalau secantik yang papa bilang, aku mau menikah!" ucapku mengalah pada permintaan papa

Awalnya aku tidak merasa gugup sama sekali, kami pergi ke rumah Aninda pada waktu yang telah disepakati. Ketika aku dan papa turun dari mobil, aku terkejut karena rumah Aninda sangat sederhana. Tentu saja aku berbisik kepada papa "Apakah mereka orang biasa?" Aku bertanya.

“Iya! Satu hal yang juga harus kamu ketahui, Aninda hanya belajar sampai SMP, setelah itu dia merantau ke Lampung dan bekerja di pabrik roti, yang perlu kita nilai adalah setidaknya dia adalah wanita yang penurut dan mudah dijinakkan, ya kan? Anda mengerti kan?” Papa menepuk pundakku

Aku sudah mengeluh dalam hati, bagaimana aku bisa menikahi wanita yang pendidikannya bahkan tidak setara denganku, maksud ku ini tentang masa depan anak ku nanti. Tapi di sisi lain, jika papa yakin, tidak ada salahnya memiliki istri yang patuh kan?

Kakiku melangkah masuk ke dalam rumah, awalnya hanya orang tua Aninda yang berbasa-basi dengan kami. Kemudian ibunya pergi ke salah satu kamar dan membawa Aninda dengan gaun yang indah keluar dari kamar menghampiri kami.

Jujur, aku kagum dengan kecantikannya, kulitnya putih, tubuhnya ideal dan rambut hitamnya sepanjang pinggang seperti tipe wanita ku. Ketika dia duduk di hadapanku, dia menundukkan kepalanya, tersenyum malu-malu dengan manis.

Aku kenal Ninda dari lama, Karena kami berada di desa yang sama. Dulu, wajahnya tidak terawat, yah, seperti anak-anak pada umumnya. Bermain di sawah dan pulang dengan pakaian lusuh dan lumpur yang menjadi sandal alami di kakinya. Kami berada di desa yang sama, tetapi tidak bersebelahan rumah.

"Aninda, maaf, hanya Om dan Barra yang bisa datang, ibu Barra menjenguk adik Barra yang sakit di Bali, adiknya demam setelah ujian tengah semester di kampusnya!" papa saya memprovokasi Aninda untuk berbicara

"Ya Om, tidak apa-apa!" kata Aninda sambil menutup senyumnya. Mendengar suaranya yang merdu dari bibir terbuka yang terkesan seksi membuat dadaku berdebar. Aku tidak pernah tertarik pada wanita pada pandangan pertama, sepertinya situasi dan kecantikan Ninda telah menghipnotisku, bahkan sampai aku bertanya-tanya seberapa malu Ninda di malam pertama kami nanti?

“Aku siap menikah dengan Aninda Om!” Ucapku lantang kepada orang tuanya. Mereka semua tertawa, tentu saja mereka bangga memiliki menantu yang begitu cerdas sepertiku. Pernikahan kami siap dilangsungkan.

****

Setelah pernikahan, aku menarik tangan Ninda dari keluarganya. “Ninda, aku kerja di Bandung! Kita tidak bisa tinggal di Jakarta! Aku juga punya bisnis kuliner yang perlu aku awasi di Bandung! Jadi kamu ikut aku ke Bandung ya!” ucapku menuntut.

Aninda tercengang, sepertinya dia tidak menyangka akan mendengar apa yang kukatakan. Satu hal yang pasti, aku tidak berbicara untuk bertanya, tetapi ini adalah perintah. Aku seorang pria yang harus memimpin, terutama karena aku suaminya. Bahkan jika Aninda menolak, aku tidak akan memberinya ruang untuk menghindar.

"Kenapa? Kamu tidak mau ikut denganku ke Bandung? Jangan bilang kamu tidak ingin jauh dari orang tuamu! Kamu sudah terbiasa merantau!" Aku menangkapnya dengan kata-kataku. Oh jangan khawatir, aku menghormati orang tuanya dan juga orang tuaku.

"Ya, aku hanya canggung Mas! Ini pertama kalinya bagiku!" Ninda tersenyum

"Kamu harus pergi dengan suamimu, itu berarti kamu tidak bisa canggung lagi karena kamu istriku!"

Aninda menganggukkan kepalanya, tanpa paksaan aku berhasil membujuknya. Bahkan dalam perjalanan, aku memberikan perhatian layaknya pria hangat. Aku harus membiasakan diri, bahwa aku sudah punya istri sekarang.

"Kamu istirahat saja ya Nin!" kataku, membuatnya senyaman mungkin dengan perlakuan hangatku.

Aku membangunkan Ninda ketika kami sampai di rumahku. Rumah yang aku bangun adalah hasil keringat ku sendiri, dan aku bangga dengan prestasi yang sudah aku miliki. Aku meminta Ninda untuk mandi dulu agar tubuhnya segar.

Awalnya aku hanya ingin langsung tidur, aku lelah sudah mengendarai mobil. Tapi insting pria ku aktif. Aku tidak tahan melihat lekuk tubuh Ninda di balik piyama tidurnya. Apalagi rambutnya masih basah dan aroma bunga mawar menyeruak setiap kali dia menyisir rambutnya.

Aku ingat, aku suaminya. Itu hakku untuk menyentuhnya "Aku ingin menyentuhmu malam ini!" ujarku

Aninda menunjukkan ekspresi wajah yang berbeda, dia terkejut dan mundur untuk menghindariku. Aku tidak suka ini, tidak mungkin aku akan ditolak setelah menjadi suaminya kan. Aku juga menunjukkan sikap tegas ku sebagai seorang pria, sampai Ninda jatuh ke pelukan ku.

Dia menyerah pada situasi bahkan ketika aku membaringkannya di tempat tidur. Tubuhnya gemetar setelah aku menanggalkan pakaiannya. Aninda memejamkan matanya, dia bahkan tidak berani menatapku.

Aku melakukan aktivitas ini sesuai instingku, hingga aku merasakan betapa manisnya bibir Ninda yang lembab. Mataku terbuka, seolah-olah aku tidak ingin melewati semuanya. Berbeda dengan Ninda yang memejamkan mata dan meremas sprei. 

Aku memiliki hak. Setelah ini aku akan memberikan kebahagiaan untuknya. Jika ia tidak menghargai aku sebagai suaminya, aku tidak tau bagaiman ia akan berakhir. Hidupnya ada di tanganku sekarang.

Aku tidak berhenti, aku tidak pandai bercinta sampai ketika kami melakukan adegan inti, Ninda menangis. Dia berteriak kaget, dan mengeluarkan jeritan kecil yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan. Aku telah mengambil kesuciannya, tetapi aku tidak berdosa untuk itu.

"Sayang, tenang! Aku suamimu, ini hakku dan kewajibanmu juga!" Aku berbisik di telinganya. Dia terus saja menangis, tapi suaranya malah membuatku semakin bersemangat hingga aku tidak bisa berhenti mengagahinya. Sekali lagi aku merasa bangga karena telah mendapatkan wanita seutuhnya, lalu bisakah aku mencintainya dalam perjodohan ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status