Share

Papa nya Suamiku

Aku duduk diam di depan cermin, menatap bayanganku dari sana. Aku tidak terlalu kurus, meskipun terkadang aku bekerja lembur. Hal yang masih aku sesali, Aku mengelus wajahku  dengan jemariku “Aku bukan perempuan utuh lagi! Kesucianku sudah direnggut oleh Barra! Tapi kenapa rasanya hambar seperti ini? Tidak, aku yakin Barra adalah pria yang baik! Dia bertanggung jawab untukku! Aku tahu itu!"

Aku meyakinkan diri ku sendiri. Siapa lagi yang bisa menenangkanku, kalau bukan diriku sendiri?

Satu hal yang aku yakini, bahwa aku pasti akan bahagia setelah pernikahan ini. Barra adalah pria yang hangat, mungkin cara dia menatapku sedikit berbeda. Orang tua kita sudah saling mengenal, jadi apa salahnya jika kita mencoba untuk saling mengenal juga?

Tiba-tiba aku merasa canggung,biasalah. Aku sudah terbiasa bekerja, tangan ku cukup sibuk di pabrik. Setelah menikah, aku menjadi ibu rumah tangga. Aku pikir itu memalukan jika aku terus seperti ini. Haruskah aku berbicara dengan Barra tentang pekerjaan ku?

Aku tidak suka harus membicarakannya dengan Barra, aku takut dia akan berpikir buruk tentang ku. Sepertinya Barra menyukai wanita yang lembut, atau mungkin juga manja. Sial! Semua itu tidak ada dalam diriku.

Demi menjadi istri yang baik, Aku akan belajar perlahan. Mulai sekarang, aku tidak akan berjalan sendiri. Ada Barra di sampingku, dia adalah pemimpin kapal layar ini.

"Sayang? Apa kamu udah beres-beres?" Barra mendekatiku. Saat mendengar suara mobil, aku langsung bergegas masuk ke kamarku. Perasaan tadi malam masih membuatku berdebar.

Barra terdiam sejenak menatapku, reaksinya membuatku menyisir tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki "Kenapa mas?" aku bertanya

"Kamu nggak punya baju lain, sayang? Kok kamu pakau celana jeans?" Dia bertanya

Sejujurnya, aku tidak mengerti gaya berpakaian. Saya hanya tahu, jika aku merasa nyaman memakai pakaian itu, itu sudah cukup bagi ku. Aku tidak terlalu kuno kan?

Hanya saja, apakah aku berhak memiliki selera sendiri, daripada mengikuti tren yang ada?

"Yasudah, kita beli pakaian baru untuk mu juga ya?" Barra menyentuh pipiku dengan jarinya.

Aku ingat, perbedaan usia kami cukup jauh, mungkinkah cara berpakaianku tidak sesuai dengan seleranya? Tapi Barra tidak setua ini sampai menyukai hal-hal  yang kuno.

"Pakaianku nggak bagus ya mas?" aku bertanya

“Bukan gitu sayang! Celana jeans kamu udah keliatan lusuh! Kita ganti bentuk baru yang lebih fashionable. Tubuhmu sudah seperti berlian, sayang sekali jika dimasukkan ke dalam kotak kayu begitu saja! Kamu pantas mendapatkan kotak kaca yang terpahat indah !” Barra mencium bibirku

Ya ampun, aku terbuai dengan perlakuannya yang menggoda. Apakah pernikahan benar-benar senyaman ini? Aku merasa bebas untuk menyentuh seorang pria,  tanpa takut dengan apa yang orang lain katakan. Baiklah, aku menganggukkan kepalaku. Aku puas bahwa Barra memperlakukan aku seperti seorang ratu.

“Aku mau ganti baju sebentar ya? Kamu tunggu aku di mobil! nanti kita langsung pergi” Barra memberi perintah. Aku ingat kata-kata yang dia tekankan padaku, dia ingin istri yang patuh. Aku mengangguk kan kepalaku, dan berlari menuju mobil.

Dunia ada di tanganku sekarang. Aku berasumsi Barra bukan pria yang baik, tapi lihat. Dia memperlakukan istrinya seperti seorang ratu. Dia membuatku bahagia dengan cara yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Mungkin aku akan mencintainya setelah ini.

*****

Barra mengganti beberapa barang lama yang aku miliki, dengan barang baru yang sebelumnya tidak mampu aku beli. Baik itu skincare , pakaian, aksesoris dan hal lainnya. Dia memanjakan aku dengan semua kemewahan yang dia berikan.

Aku mulai terbiasa dengan rutinitas baruku. Bangun di pagi hari, menyiapkan minuman khusus untuk Barra, seperti teh ginseng yang biasa diminum Barra. Mengantarnya ke pintu depan rumah sampai aku menerima ciuman hangat di keningku.

Setelah Barra pergi, tidak banyak yang bisa aku lakukan. Aku rindu kembali bekerja. Di rumah aku hanya nyonya rumah dan itu tidak nyaman. Ketika aku mencoba membersihkan rumah, pembantuku mengeluh karena dia takut Barra akan marah padanya jika dia membiarkan aku bekerja.

Ketika aku menonton televisi, tidak ada siaran yang aku sukai. Bahkan hanya berselancar di media sosial, aku pun bosan. Aku dulu bekerja dan mendapatkan uang, itu kesenangan bagiku.

"Aninda! Ninda!" Aku terkejut dengan suara Barra yang memanggil namaku, padahal jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi.

"Loh, Mas? Kok udah pulang kerja aja?" tanyaku, dadaku sedikit berdeguk saat melihat mata Barra yang basah dan sedikit bengkak, bersembunyi di balik kacamatanya.

"Kita pulang ke desa sekarang!" Barra berkata kepadaku

"Ha? Ke Jakarta?" Saya memastikan

"Iya!" Barra menarik tanganku langsung ke mobil. Aku bingung. Aku tidak tahan dengan rasa ingin tahu yang menyerang ku.

“Mas, aku beresin pakaian kita dulu ya! Kan kita mau pulang ke desa, Mas” kataku

"Nggak usah ! Cepat masuk ke mobil!" Barra menarik tanganku lebih keras dari sebelumnya, aku hanya harus menurut.

Aku masih bertanya-tanya, bahkan Barra mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Aku meremas kursiku karena sangat takut ketika Barra menyalip mobil di depannya. Aku berulang kali menatap Barra, tapi aku takut untuk bertanya karena ekspresi tegang di wajahnya itu.

Barra lalai, dia mencoba menyalip mobil lagi sampai tiba-tiba sebuah truk besar membunyikan klakson panjang dari belakang. Truk itu hendak menyalip mobil kami. Aku berteriak kaget ketika Barra banting stir ke kiri dan kami hampir mengenai lawan di depan

"Astaga Mas! Aku mohon berhenti!" Aku berteriak histeris.

Barra menepi dan menghentikan mobil, dia menatapku dengan sedih saat aku terengah-engah. “Apa yang kamu lakukan, Mas? Yang tadu itu bahaya!” kataku tegas.

Barra terdiam, matanya tertuju padaku. Aku tidak mengerti arah situasi ini. Barra tiba-tiba menyeretku ke mobil, bergegas pergi bahkan dengan mengemudinya yang sembrono.

"Mas? Aku nanya, tolong jawab Mas! Ada apa denganmu? Ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin pulang?" Saya membombardir Barra dengan pertanyaan, mengalahkan suara mobil yang lewat di jalan raya.

Aku, yang melihat kembali iris Barra, terkejut melihat air mata mengalir di pipi Barra. Aku semakin bingung karena Barra menangis di depanku. Dia mendekat ke arahku dan menarikku ke dalam pelukannya.

"Kamu kok nangis?" ucapku dengan suara gemetar, perasaan ku langsung merasa tidak enak. Apa yang terjadi di desa?

"Papa ku Nin! Papaku mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat Nin!" kata Barra seperti kilat yang menyambar tubuhku hangus dalam hitungan detik.

"Apa?" air mataku jatuh begitu saja, kenapa tiba-tiba nasib suamiku menjadi begitu malang? Padahal aku belum sempat merasakan hangatnya kasih sayang dari mertua laki-laki ku. Kenapa aku merasa janggal?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status