Pagi hari menyelinap diam-diam ke dalam kamar, membawa cahaya hangat yang menyentuh kelopak mata Ella perlahan. Detak jantungnya kembali terasa, mengalir pelan dari dalam tubuh yang masih terasa berat dan remuk.
Ia membuka mata. Pandangannya menumbuk langit-langit tinggi yang tak asing, tapi juga tak sama. Ini bukan kamar motel semalam. Ini kamar di mansion Alexander.Tubuhnya terasa nyeri, pasti karena jejak dari pertempuran semalam. Entah jam mereka selesai bermain di malam yang panjang.Pintu kamar mandi terbuka. Alexander keluar dengan handuk putih melilit rendah di pinggangnya. Air masih menetes dari ujung rambut dan kulitnya yang basah mengilap dalam cahaya pagi, menegaskan setiap lekuk otot di dadanya."Kamu sudah bangun," kata Alexander.Ella mengerjap. Mendudukkan diri di ujung ranjang. "Kapan kita pulang ke sini?""Saat matahari belum terbit.""Benarkah? Aku tidak merasa apa pun. Jangan-jangan ... kamu membius"Tubuhmu berkeringat, Alexander," imbuh Francesco sambil menyipitkan mata. "Kau habis olahraga atau ... habis melakukan sex?" Alexander menghela napas, lalu segera menutup pintu kamar Ella rapat, memastikan tidak ada sehelai rambutmu terlihat dari dalam. "Itu bukan urusanmu," jawabnya datar. "Tapi kau sungguh kurang ajar berada di rumahku tanpa izin!" "Tenanglah sedikit, adik. Aku datang bukan untuk memulai pertengkaran. Justru aku ingin membicarakan sesuatu yang ... barangkali penting." "Tidak ada hal penting pada dirimu." "Kau terlalu serius," kata Francesco tersenyum tipis. "Baiklah aku tidak akan bertanya mengenai kamar ini atau apa pun, tapi temui aku di bawah. Ada yang perlu kubicarakan." Alexander menatap sang kakak yang pergi masuk ke dalam lift. Ia kembali membuka sedikit pintu kamar Ella, wanita itu terlihat sudah tertidur pulas. Sepertinya dia kelelahan sampai tidak bi
Alexander melepaskan celananya, kemudian merebahkan tubuhnya di atas Ella yang terbaring lemah di lantai. Tangannya menjadi tumpuan, menjaga agar berat tubuhnya tidak sepenuhnya menimpa wanita mungil itu. "Posisinya ... agak aneh," bisik Ella pelan dan malu-malu. "Aneh apanya? Kamu hanya belum pernah melakukannya di lantai, jadi sekaranglah waktunya." Alexander mengecup telapak tangan Ella. Memasukkannya dalam sekali hentak, seperti biasa. "Kamu masih sangat sempit, Ella." Ella menggeliat. "Kalau mlikku masih sempit, kenapa memasukkan sangat keras?" "Jika tidak dipaksa akan lama. Aku tidak suka menunggu." "Tapi rasanya sakit setiap kali kamu melakukannya." "Ini bukan pertama kalinya, kenapa masih merasa sakit?" gumamnya. Alexander mengeluarkan miliknya kembali, kemudian memasukkan batangnya lagi ke kemaluan Ella secara perlahan. "Sekarang bagaimana?" "Ya ... sangat penuh."
"Kenapa kamu lama sekali membelinya?" tanya Alexander, menghampiri Ella yang baru masuk ke dalam rumah. Semua barang yang wanita itu beli, dimasukkan ke ruang kosong untuk mereka melukis oleh para pelayan. "Ada sedikit masalah dengan perutku di jalan." "Apa masalahnya sudah selesai sekarang?" "Sudah." Alexander melingkarkan tangannya di pinggang ramping Ella. "Aku tidak sabar menjadi model lukisanmu." "Hah? Model?" "Ya. Aku tidak tertarik dengan melukis maka, menjadi model adalah pilihan terbaik." "Dengar ya, aku tidak bisa menggambar manusia." "Padahal tadi dirimu bilang jenius dalam melukis." "Aku tidak pernah mengatakan itu. Aku bilang hanya sedikit bisa melukis. Apa kau tuli?" "Lalu apa yang kamu bisa, Nona?" "Ya misalnya benda-benda, makanan, binatan
Tak terasa, sudah satu semester Ella tinggal di Milan, dengan penuh kebahagiaan sekligus kekacauan. "Hari ini hari pertama libur semester. Apa rencanamu hari ini?" tanya Alexander sambil menatap wanita di depannya yang sedang menyantap sarapan. "Mungkin ... melukis," jawab Ella. "Kamu suka melukis?" "Lumayan." "Satu fakta yang baru kutahu. Aku tidak menyangka." "Ya memang apa yang kau tahu tentangku? Tidak ada, jawabannya." "Lubang bawahmu." Ella spontan melotot. "Diam kau!!" desisnya dengan suara kecil dan penuh penekanan. "Tidak perlu ada yang disembunyikan. Orang-orang di mansion ini sudah tahu apa yang telah kita lakukan." "Oh, jadi mereka juga tahu bahwa kau menyiksaku selama di sini?" "Menyiksa a
"Kenapa ... kau ada di sini?" tanya Chloe. Kesadarannya tiba-tiba kembali seiring kemunculan Francesco. Francesco tidak langsung menjawab. Ia melangkah tenang menuju pelayan wanita yang masih berdiri penuh amarah. "Maaf, sebenarnya apa kesalahan yang dilakukan oleh temanku?" "Dia menghabiskan banyak minuman tapi tidak bisa membayarnya. Bahkan jalang itu malah menghina pekerjaanku." "Jangan percaya, aku sudah berbicara baik-baik, tapi dia malah membuatku kesal," protes Chloe. Francesco menoleh ke arah Chloe, mata tajamnya memintanya diam. Kemudian menatap sang pelayan lagi. "Maaf Nona atas kekacauan yang dilakukan wanita ini. Mengenai pembayarannya, akan kubayar sekarang." Francesco mengeluarkan beberapa lembar uang tanpa menghitung berapa jumlahnya, yang pasti lebih dari nominal alkohol Chloe. "Ini, semoga cukup untuk mengganti rasa tidak nyaman Anda malam ini." Wanita itu melirik uang di tangannya, lalu men
"Ets, jangan salah paham! Ini bukan karena diriku cemburu," kata Ella cepat-cepat. "Hanya saja, di sana akan ada Teresa, kau tidak bisa muncul di hadapannya." "Jadi kamu sudah tahu rencana teman-temanmu ini?" "Iya, mereka juga mengajakku." "Lalu apa jawabanmu?" "Tentu menolak, apa lagi yang bisa kulakukan? Aku tidak memiliki kekasih." Alexander tersenyum tipis. Ada geli yang menghangat di dadanya, sekaligus rasa puas yang sulit dijelaskan. Meskipun ia belum sepenuhnya yakin pada perasaan Ella terhadapnya, tapi ada sesuatu yang terasa sah dari kata-katanya tadi, seakan Ella telah mengklaim dirinya secara tidak langsung. "Baiklah aku tidak akan pergi ... untuk dirimu." *** Hari itu akhirnya tiba. Malam yang seharusnya menjadi panggung gemilang, di mana Chloe dan Alexander berdiri berdampingan, menyambut pu