LOGIN"Kau memang tidak bisa menjadi kekasihku, tapi kau bisa menjadi wanita simpananku. Jadilah jalangku, Ella Force." •••• Ella Force, seorang Ballerina dari Australia, jatuh cinta dengan seorang pria bernama Alexander Hoffa, seorang pebisnis misterius di bidang property yang sedang melakukan bisnis di Melbourne, Australia. Karena rasa cinta yang begitu besar, Ella sampai memberikan keperawanannya kepada Alexander walaupun mereka tidak memiliki hubungan resmi. Hingga suatu hari, Ella kehilangan Alexander begitu saja. Tanpa tahu banyak informasi tentang Alexander, Ella memilih memendam rasa cinta dan kecewanya sendirian. Entah apa alasan pria yang telah mengambil mahkotanya itu pergi dengan seenak hati. Lambat laun Ella meneruskan pendidikan di Italia dengan mendapat beasiswa menjadi Ballerina. Disengaja atau memang takdir, Ella bertemu dengan Alexander lagi di Italia. Ternyata sekarang dirinya terjebak di negara asal pria tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa Ella masih mencintai Alexander, yang ternyata seorang Mafia asal Italia. Seperti mimpi buruk, Alexander diam-diam sudah mempunyai seorang tunangan. Tapi cinta dan obsesi telah menjadi satu, membuat Alexander tetap memaksa Ella untuk bersamanya. Apa tindakan Ella dari paksaan Alexander? Bagaimana mereka bisa tetap bersama di tengah pertentangan ini?
View MoreCahaya strobo berkelip di langit-langit, melempar bayangan tajam ke wajah-wajah yang menari liar. Musik deep house menghentak dada, disusul asap kabut dan aroma pekat parfum, keringat, serta alkohol.
Di sudut kursi bar counter, seorang pria duduk sendirian. Jas hitamnya masih rapi, meski dasi sudah dilonggarkan. Sepasang mata tajamnya menatap kosong ke arah gelas di tangan yang berisi Absinthe murni, tanpa campuran apa pun. Dengan kadar alkohol nyaris menembus batas legal. Rasa terbakar segera menjalari tenggorokan dan dadanya. Tapi ia tetap duduk tenang, tenggelam dalam dunianya sendiri. Di usia 30 tahun, beban bisnis dan tuntutan keluarga terasa lebih berat dari minuman terkeras sekalipun. Drrrt ...! Ponselnya bergetar pelan. Ia menoleh malas. Layar menyala menampilkan nama yang sudah terlalu sering membuat napasnya berat. "Halo, Ayah," katanya. "Apa kau sudah tiba di Melbourne, Alexander?" tanya pria tua dari seberang telepon, Reagan Hoffa. "Baru saja tiba," jawab Alexander. "Selesaikan urusanmu di sana secepat mungkin. Setelah itu, kembali dan segera lakukan pertunangannya." "Ayah sudah mengulanginya berkali-kali." "Ini bukan urusan sepele. Jika kita berhasil menjalin hubungan dengan keluarga Landtsov, keuntungannya akan sangat besar. Lagi pula, putri mereka tampaknya tergila-gila padamu." "Baiklah. Aku akan pastikan semuanya berjalan sesuai rencana." "Jangan kecewakan Ayahmu, Nak. Lakukan sesuai apa yang diriku suruh, dan ... keluarlah dari club! Jangan sampai menghamili wanita lain selain tunanganmu itu!" Panggilan diakhiri oleh Reagan. Alexander memijat pelipisnya. Ambisi ayahnya kali ini terasa menyesakkan. Mengaitkan wanita dalam urusan bisnis bukan hal yang menarik baginya. Tiba-tiba, suara gesekan kaki kursi sebelahnya terdengar. Seorang wanita menarik kursi di sampingnya dan duduk dengan gerakan malas. "Berikan aku apa pun," gumamnya pada bartender, tanpa menatap siapa pun. Alexander menoleh sedikit, menatap wanita itu tanpa ekspresi. Pandangannya turun dari atas ke bawah, mengamati setiap detail. Rambut wanita itu berantakan, sebagian menutupi wajah. Eyeliner luntur membentuk noda di bawah mata, seolah habis menangis. Gaun elegannya sudah kusut. Tangannya gemetar saat menerima gelas dari bartender, tapi dia meneguknya sekali jalan. Mengernyit tanpa suara, lalu memesan botol lagi. Alexander diam, memperhatikannya. Bukan karena cantik, tapi karena kekacauan yang terpancar. "Kau tidak terlihat seperti seseorang yang menikmati alkohol," ucap Alexander. Wanita itu berhenti meminum gelas yang ke-empatnya. Menoleh pelan ke samping. Pandangannya kabur, tapi bisa menangkap siluet seorang pria, bertubuh tinggi tegap, berbaju hitam. "Apa kau ... polisi?" Alexander tertawa kecil. "Ini club bukan kantor polisi. Kau salah masuk?" "Ah begitu. Tadi aku ingin melaporkan seseorang." "Siapa? Aku pintar dalam menghukum orang lain, seperti memukul, menusuk, menembak, bahkan mengancam." "Itu terdengar menyeramkan." "Tapi jika diberikan kepada orang bodoh, akan terasa menyenangkan." "Benar juga," balasnya tertawa. Wanita menyandarkan siku di meja bar dan menopang dagu. "Namaku Ella. Keka- oh tidak, maksudku mantanku. Dia seorang bajingan jadi rasanya aku ingin mematahkan tulangnya." "Ternyata kau sedang patah hati." "Patah hati? Entahlah. Aku hanya marah karena dia tak menghormatiku sebagai wanita." "Memang apa yang dilakukannya?" "Lupakan. Bayangan wajah sialan itu terus menghantui, benar-benar memuakkan." Alexander mengangguk. Tak tertarik menggali lebih dalam. Lalu meneguk Absinthe-nya. Sementara, Ella menatap Alexander lekat. Meski setengah mabuk, ia masih bisa melihat pesona keindahan ciptaan Tuhan dari Alexander. "Kemari bersama kekasih?" "Tidak." "Benarkah? Kukira kau datang bersama seorang wanita." "Aku tidak pernah tertarik pada siapa pun?" "Apa itu artinya ... ah tidak mungkin kau tidak pernah berkencan." "Kenapa tidak mungkin?" "Tentu saja tidak mungkin, kecuali kau gay." "Untungnya, bukan." "Jangan-jangan ... kau impoten." Alexander menyeringai. "Kalau begitu, bagaimana cara agar kau percaya, Nona?" Ella tersenyum samar, menoleh ke arah bangku tinggi yang ia duduki. "Tempat duduk ini sangat tidak nyaman," gumamnya dengan nada manja yang terdengar dibuat-buat. Alexander mengangkat alis, seolah membaca maksud tersembunyi dari keluhan tersebut. "Ingin di pangkuanku?" tawarnya menepuk paha. Ella menatap paha Alexander. Bibirnya mengerucut seolah berpikir keras, pura-pura bingung. "Tidak usah banyak berpikir. Ini tempat yang paling nyaman." Tanpa ragu, Ella berpindah dan perlahan duduk di pangkuan Alexander. Jarak mereka nyaris lenyap. Napas bersatu, pandangan pun saling menantang. Tangan Alexander kini melingkar erat di pinggangnya, memberi kehangatan yang asing, tapi menenangkan. "Ternyata kau punya mata hazel yang sangat indah," puji Ella. "Terima kasih," jawabnya. "Emm jika tidak pernah berkencan, berarti kau tidak pernah berciuman, bukan?" "Ya." Ella semakin dibuat melongo. "Tapi aku suka sex," lanjut Alexander. Ella mendengus kesal. "Sudah kuduga. Jawabanmu dari awal pasti kebohongan." Ia mendorong tubuh Alexander, berniat akan turun. Namun, Alexander segera mengunci tubuh Ella semakin erat. "Tidak ada kebohongan." "Orang yang melakukan sex pasti pernah berciuman! Kau pikir, aku bodoh?" "Sex dan ciuman adalah hal yang berbeda. Semua manusia bisa hanya melakukan salah satunya." "Alasanmu ... sulit dimengerti." "Ciuman dilakukan saat benar-benar merasakan cinta, sedangkan sex? Bisa dilakukan dengan siapa saja tanpa melibatkan perasaan. Bukankah kau berkencan, mana mungkin tidak mengerti kedua hal itu." "I ... iya, aku mengerti. Hanya emm sedang berpura-pura menjadi gadis polos," gagap Ella. "Jadi apa kau mau berciuman denganku untuk pertama kalinya?" "Apa sekarang kau mengajakku tidur?" "Iya. Tapi aku ingin ... berciuman juga. Aku ingin tahu... rasanya dicium seseorang yang tidak membohongiku." Alexander tersenyum tipis. Ibu jarinya mengelus bibir Ella, kemudian masuk ke dalam mulutnya. Merasakan kekenyalan dan kehangatannya. Ada ketakutan di mata Ella. Tapi ia tak menjerit maupun melawan. Jemari itu terasa asing dan menjijikan membuatnya merasa kotor. Bau tembakau mulai tercium ketika Alexander semakin mendekat. Namun, tiba-tiba Ella merasa napasnya tercekat. Kepalanya mulai berdenyut hebat. Ada yang menjalar dari perutnya ke tenggorokan, naik dengan cepat. "Hmph! Huek!" Muntahan keluar tanpa bisa ia tahan, menodai kemeja Alexander. Ella meremas kepalanya yang terasa berat. Perlahan penglihatannya mulai kabur, kemudian sepenuhnya hitam. Alexander reflek menangkap tubuh Ella sebelum jatuh ke lantai. "Merepotkan saja!" *** Ella terbangun dengan napas memburu, matanya mengejap menatap langit-langit asing. Ini bukan kamarnya, melainkan hotel. Ia panik, meraba tubuhnya. Masih berpakaian lengkap. Syukurlah. Sekilas, bayangan pria bermata hazel muncul di ingatannya. Dialah yang membawanya kemari, mungkin. Tapi, siapa namanya? Pandangannya beralih ke jam dinding yang menunjukkan pukul 08:47 AM. "AAAH, TELAT!" Ella buru-buru meraih ponsel di sofa, lalu menemukan tote bag berisi kemeja hitam bekas muntahannya. Wajahnya memerah. Malu dan merasa bersalah. Ia keluar hotel sambil menenteng tote bag itu, berharap bisa mengembalikannya jika bertemu lagi. Sesampainya di rumah, Ella berganti pakaian, mengabaikan teriakan ibunya, Rachel. Ia langsung mengayuh sepeda menuju Lynwoosh University, tempatnya kuliah jurusan Tari Klasik, Prodi Ballet, semester empat, yang berarti usianya baru 20 tahun. Ella parkir sepeda, mengenakan kostum, dan bergegas masuk ke ruang latihan. Detik-detik runtuh. Suara musik Ballet lenyap. Di tengah panggung latihan yang seharusnya jadi tempat aman, dia malah berdiri. Mata hazel itu. Wajah yang semalam nyaris ia lupakan dan kini muncul sebagai bagian dari kenyataan yang jauh lebih rumit. Dia berdiri diantara dekan fakultas, wakil dekan, kaprodi, pelatih senior. Kenapa bisa di sana?Pagi itu, kuliah dimulai seperti biasa. Ella sudah kembali ke kelas, berusaha bersikap normal seolah malam sebelumnya tidak ada apa-apa. Kepalanya masih sedikit berat, tapi ia memaksakan diri. Setelah kelas teori selesai, para mahasiswa dipanggil ke studio latihan untuk evaluasi pentas kemarin malam. Semua berkumpul, termasuk Ella yang tidak ikut tampil. Ia tetap berdiri di barisan belakang seperti biasanya. Beberapa pelatih mulai berbicara panjang dan yang lain fokus mendengarkan. Namun, baru beberapa detik evaluasi ini, rasa mual itu datang menghampirinya lagi. Ella mengerjap, satu tangan otomatis meraih perutnya. Tubuhnya menegang. "Tidak! Jangan sekarang!" batinnya. Gagal! Gelombang itu naik begitu cepat hingga ia nyaris memekik. Ella menutup mulutnya, matanya membesar. Tanpa menunggu izin siapa pun, ia langsung berbalik dan berlari ke luar studio. Ternyata Chloe diam-diam menyadari kepergian wanita itu. Lalu kakinya mundur perlahan ke belakang. Dan sekarang ia b
Taksi berhenti tepat di depan gedung. Ella baru sempat membayar, lalu hampir tersandung saking terburu-burunya turun. Udara malam menyambutnya dengan dingin yang menusuk tulang. Dalam hati, Ella memaki dirinya sendiri karena entah mengapa kepalanya tiba-tiba pusing. Ia merogoh tasnya cepat, mengeluarkan surat masuk khusus mahasiswa jurusan tari. Itu adalah tiket gratis yang hanya diberikan oleh pelatih bagi yang terdaftar dalam kelas pertunjukan kampus. Ella menyodorkannya pada petugas. Setelah memeriksa cepat, pegawai itu mengangguk dan mempersilakan masuk. Lampu auditorium meredup. Hampir semua kursi telah terisi. Penonton duduk dengan tubuh tegak, terdiam menikmati adegan yang sedang berlangsung. Ella mencari celah kursi kosong di tengah. Untunglah ada satu kursi kosong. Ia berlari kecil menyelinap masuk, lalu duduk. Namun bukannya bisa bernapas lega dan menikmati pertunjukan, Ella justru sibuk menengok ke kanan, kiri, dan ke belakang. Tidak ada Alexander. Firasatnya
Ella menggeser tubuhnya ke samping, turun dari pangkuan Alexander. "Angkatlah."Alexander beranjak, berdiri beberapa langkah agak jauh dari Ella. Wanita itu menatap punggung yang terlihat kokoh itu. Ada perasaan sedih, sebab tahu momen-momen mereka akan segera berakhir. Segala kebiasaan kecil yang selama ini membuatnya nyaman, dipeluk saat tidur, dicium saat baru membuka mata, mencicipi masakan Alexander, atau sekedar berdiam di depan perapian sambil berpelukan. Semua akan kembali seperti yang seharusnya. Berpura-pura sudah saling melupakan.Alexander menempelkan ponsel ke telinganya. "Ada apa?""Aku ingin kamu pulang!""Aku masih di Monaco. Urusannya belum selesai.""Aku tidak bertanya atau meminta. Aku menyuruhmu.""Tapi-""Aku tidak peduli! Pokoknya hari ini atau besok kamu sudah harus kembali."Alexander mengembuskan napas berat, rahangnya mengencang. Ia menoleh sedikit, melirik ke arah Ella yang masih duduk diam di kursi kayu. "Baiklah, aku akan mengusahakan secepatnya pulang."
Hari itu, lebih tepatnya hari kelima sejak mereka tinggal bersama di tempat kecil tersebut. Dan pagi terasa lebih lembut dari hari-hari sebelumnya. Di kursi kayu yang diletakkan di depan rumah, di tengah hamparan rumput hijau yang masih basah oleh embun, Ella duduk di pangkuan Alexander. Posisi favorit terbaru mereka. Ella membelakangi Alexander, tubuhnya bersandar nyaman ke dadanya, sementara kedua lengan pria itu melingkari pinggangnya. Keduanya menghadap sungai yang mengalir tenang, dikelilingi pepohonan rimbun yang sesekali berbisik ketika angin berembus. "Aku tidak menyangka orang sepertimu memiliki selera seperti ini," kata Ella. Alexander menoleh kearahnya. Alisnya terangkat tipis. "Apa maksudmu, orang sepertiku?" "Orang yang tidak memiliki selera baik." "Apa?" Alexander tersenyum sambil menggeleng. "Memang menurutmu, seleraku bagaimana?" "Yang membosankan."












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews