Reve terengah-engah, tubuhnya lunglai di atas Shara sebelum akhirnya berguling ke sisinya. Nafasnya berat dan berangsur-angsur berubah menjadi detak jantung yang pelan, lalu menjadi dengkuran yang dalam. Kegelapan yang menguasainya telah berlalu, meninggalkan kehampaan dan kelelahan.
Shara terbaring tak bergerak. Setiap otot di tubuhnya berteriak dalam rasa sakit, bekas dari perlakuan kasar yang baru saja dialaminya. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah keheningan yang lebih dalam. Matanya, yang masih membesar, menatap langit-langit kamar sebelum akhirnya beralih ke sosok pria yang tertidur di sisinya. Wajah Reve kini tampak damai, sama sekali tidak menyisakan jejak monster yang mengamuk tadi.Dalam kesunyian kamar yang hanya diterangi lampu temaram, Shara berbisik lirih, suaranya serak, “Kau membuatku takut, Reve.”Seolah-olah tak benar-benar tertidur, Reve mengeluarkan suara. Bukan jawaban, melainkan tawa pendek dan getir yang keluarKalimat itu meluncur dari bibir Reve, hancur dan parau, tenggelam dalam deru mobil dan gemuruh kota yang acuh. Sebuah pertanyaan yang ditujukan pada angin, pada bayangan, pada kekosongan yang menusuk di dalam dirinya.“Kau di mana, Sayang?”Tidak ada jawaban. Hanya kesibukan orang-orang yang terus berjalan, masing-masing membawa kehidupan mereka sendiri, tidak peduli dengan drama putus asa seorang pria di dalam mobil mewah. Ponsel di kursi penumpang tetap diam, layarnya gelap, sebuah pengingat betapa mudahnya seseorang menghilang dari hidupnya.Pertanyaan itu bukan lagi sekadar pencarian fisik. Itu adalah teriakan jiwa yang tersesat. Reve telah menghabiskan waktunya membangun tembok kekuasaan dan kontrol, percaya bahwa segalanya bisa dimiliki, termasuk cinta. Namun Laura, dengan kepergiannya, telah meruntuhkan semua itu. Dia menyadari dengan getir bahwa istana yang ia bangun ternyata adalah penjara, dan satu-satunya kunci yang bisa membebask
Pengakuan itu terasa seperti kekalahan bagi Laura. Setelah semua yang terjadi, setelah pengakuan Argo tentang nasib Ana, setelah ia menyaksikan sendiri sisi gelap Reve, hatinya yang terluka masih saja berdebar-debar untuknya.Apakah itu cinta? Atau sekadar ketergantungan pada sebuah kenangan yang sudah tidak lagi nyata?Dia membuka matanya, memandang laut biru kelabu di kejauhan. Laut yang sama yang mungkin juga dipandang oleh Reve saat ini. Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Ataukah dia sudah terlena dalam pelukan Shara, melupakan semua janji manisnya pada Laura?Kerinduan itu berubah menjadi pertanyaan yang menggantung, sebuah misteri yang jawabannya terletak pada janji satu tahun yang tiba-tiba terasa seperti siksaan yang terlalu panjang.“Apa aku bisa bertahan?” bisik Laura.***Suara Shara memotong kesunyian ruangan kerjanya, tajam dan penuh urgensi, namun masih menyisakan getaran halus da
“Aku hanya ingin membuatmu tenang, Reve,” jawab Shara, suaranya bergetar mencoba membela diri. Senyumnya pudar, digantikan oleh ketakutan yang mulai merayap di matanya.“TENANG?” Reve menggebrak meja kerjanya dengan keras hingga semua benda di atasnya bergetar. Suara itu menggema di ruangan yang sunyi, membuat Argo yang berdiri di samping secara refleks menegakkan bahunya. “Aku tidak akan pernah tenang, Shara! Tidak sebelum aku menemukan Laura! Kekasihku! Apakah kau mengerti?!”Wajah Shara memucat, namun sebagai seorang wanita yang dibesarkan di dunia bisnis, dia berusaha keras untuk tetap berpegang pada akal sehat. “Tapi, Reve,” katanya, berusaha menenangkan, “hari ini kita ada pertemuan penting dengan para pemegang saham. Pertemuan untuk menunjuk direktur baru perusahaan keluargaku. Ibuku sudah menunggu kita. Ini sangat krusial.”Reve mengangkat tangannya dan dengan frustrasi yang mendalam, mengacak-acak rambutnya yang rapi hingga berantak
Fajar menyingsing, menembus jendela kamar kecil di rumah biru itu dengan cahaya pucat. Laura terbangun, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, kepalanya terasa ringan. Tidak ada mimpi tentang Reve. Tidak ada bayangan yang menghantuinya dalam tidur. Hanya ada keheningan kosong.Secara refleks, tangannya meraba tempat tidur di sampingnya. Hanya ada dinginnya seprai yang kosong. Biasanya, di saat-saat seperti ini, ponselnya sudah penuh dengan pesan dan panggilan tak terjawab dari Reve. Namun pagi itu, layarnya tetap gelap dan sunyi. Janji satu tahun yang diucapkan Reve itu tiba-tiba terasa sangat nyata, dan sangat menyakitkan. Reve benar-benar memberinya jarak, persis seperti yang diinginkan Shara, untuk kebebasannya. Sebuah kenyataan yang justru melukainya.Hidup di rumah Argo terasa asing dan membuatnya tidak nyaman. Setiap sudut rumah ini, dengan kesederhanaannya yang bersih dan foto Ana yang selalu memandang, mengingatkannya bahwa dia hanyalah
Udara di dalam rumah kayu biru itu terasa semakin pekat, dipenuhi beban masa lalu yang tak terucapkan. Argo menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian untuk membuka luka lama yang belum pernah sembuh.“Ana,” Argo memulai ceritanya dengan suara serak, “bukan hanya kekasihku. Dia sebelumnya adalah mantan kekasih Reve.”Laura terkesiap. Jantungnya berdebar kencang. Benang merah yang selama ini tersembunyi mulai terlihat.“Dia dulu bekerja untuk Reve,” lanjut Argo, matanya kosong menatap jauh ke masa lalu. “Awalnya, hubungan mereka baik-baik saja. Reve tampak sempurna. Tapi seperti yang kau alami, dan seperti yang dilihat Shara malam ini, sisi gelap Reve perlahan muncul. Ana tidak tahan. Dia disakiti, diperlakukan dengan kasar. Dia berusaha lari.”Argo memandang Laura, dan dalam pandangan itu, Laura bisa melihat bayangan ketakutan yang sama yang pernah ia rasakan. “Aku menolongnya. Persis seperti menolongmu. Aku meny
“Aku tidak tahu, Argo,” bisik Laura, mencoba menyangkal gambaran suram yang dilukiskan Argo. Namun, suaranya lemah, tak berdaya. Keyakinannya mulai retak.“Aku serius, Laura,” Argo menekankan sekali lagi, suaranya lembut. Perlahan, dia meraih tangan Laura yang dingin. “Tinggallah bersamaku. Di rumahku, kau akan aman. Aku akan menjagamu.”Laura menatapnya, mencari-cari kepalsuan di mata Argo. Namun yang ia temukan hanyalah ketulusan yang dalam, yang justru membuatnya semakin bingung.“Setidaknya,” tambah Argo, melepaskan genggamannya, “sampai Tuan Reve benar-benar datang menjemputmu nanti. Jika itu benar-benar terjadi, aku tidak akan menghalangimu.”Janji itu yang akhirnya meluluhkan sisa perlawanan Laura. Di tengah kegelisahan hatinya, tawaran Argo adalah satu-satunya pelampung yang membuatnya bertahan di lautan kebimbangan hubungannya dengan Reve.Laura lalu mengangguk pelan. “Baiklah.” Namun, sebelum semuanya me