(Mengandung adegan 21+ di bab tertentu) Masa kecil penuh trauma membuat Laura percaya bahwa cinta selalu berarti luka. Baginya, dicintai adalah disakiti. Dan menerima rasa sakit dari orang terkasih adalah hal yang wajar. Keyakinan itu membawanya pada Reve, pria dengan sisi gelap yang tak pernah ia sembunyikan. Di rumahnya, Laura terjebak dalam hubungan penuh gairah sekaligus penyiksaan, hingga sulit membedakan antara cinta dan obsesi. Pengkhianatan Reve membuka matanya. Untuk pertama kali, Laura meragukan pemahamannya tentang cinta. Ia memutuskan pergi, mencoba keluar dari lingkaran yang menghancurkannya. Namun Reve tak rela melepaskan. Baginya, Laura adalah obsesi, candu, dan alasan untuk tetap bertahan dalam kegelapan. Laura harus memilih: menerima pria itu lagi, atau mencari arti cinta yang sebenarnya. °°° Hai kakak-kakak pembaca tersayang, penulis akan sangat berterima kasih jika kakak semua berkenan meninggalkan jejak komentar, ulasan dan menambahkan cerita ini ke pustaka. Love <3
View MoreSepatu lusuh itu terasa seperti cermin dari hidupnya. Usang, penuh noda, dan selalu terinjak-injak. Laura menatapnya, mencoba mencari keberanian dari jahitan yang mulai copot di bagian sol. Jari-jarinya menggenggam ujung rok seragam abu-abunya yang sudah pudar. Kain kasar yang mengingatkannya pada tempatnya yang sesungguhnya di rumah megah itu.
“Kemarilah, Laura!” Suara lelaki tampan itu menggema di ruangan yang terlalu besar, terlalu mewah, terlalu dingin. Itu adalah suara tuannya. Reve, keras, berwibawa, penuh amarah yang tersembunyi. Laura melangkah pelan, setiap langkah terasa seperti menembus lapisan es. Karpet tebal merah marun menelan suara langkahnya, membuatnya merasa seperti hantu yang melayang menuju takdirnya. Reve duduk di belakang meja kerjanya yang besar, wajahnya diterangi lampu meja yang menyorot tajam garis-garis kemarahannya. Laura baru saja sampai di depan meja kerja itu tetapi tiba-tiba— Byur! Cairan berwarna hitam itu seketika tumpah di atas kepalanya. Kopi hitam pekat mengalir dari rambutnya, menetes ke alis, membasahi bulu mata, mengalir seperti sungai hitam di pipinya yang pucat. Aroma pahit memenuhi hidungnya, membakar lebih dari sekadar kulit. Seragam kerjanya yang sederhana kini bernoda coklat tua, menempel di tubuhnya seperti luka yang terbuka. Laura berdiri membeku, matanya terpejam menahan perih. Tetes-tetes kopi masih menetes dari ujung rambutnya, membentuk genangan kecil di lantai marmer yang berkilau. Reve berdiri, tubuhnya menjulang seperti awan gelap sebelum badai. “Itu untuk pelajaran dan pengingatmu.” desisnya, suara rendahnya bergetar oleh kemarahan yang tak terbendung. “Agar kau selalu ingat, aku tak suka kopi yang sudah dingin. Dan juga, agar kau selalu tahu siapa dirimu, dan siapa aku,” katanya. Tangan Laura mengepal di samping tubuh, kukunya menancap di telapak tangan. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan piala perak di meja itu ke wajah tampan yang ternyata sikapnya begitu kejam. Namun, yang ia lakukan hanya membungkuk perlahan, suaranya bergetar tetapi cukup jelas didengat. “Maafkan saya, Tuan. Saya akan membersihkannya dan membuatkan Anda kopi yang baru.” Laura segera mengeluarkan serbetnya untuk membersihkan sisa kopi di lantai. Lalu dengan gemetar, ia meraih cangkir kopi kosong dari tangan Reve. Ketika ia berbalik untuk pergi, air matanya akhirnya jatuh, bercampur dengan kopi pahit di wajahnya. Dan di sana, di ambang pintu, Argo berdiri dengan wajah pucat. Ia menyaksikan lagi satu bab dari tragedi yang ia tahu akan berakhir dengan air mata. Namun yang paling menyakitkan bagi Laura bukanlah kopi yang telah dingin itu. Bukan penghinaannya. Namun kenyataan bahwa di balik kemegahan rumah itu, ia tetaplah hanya pelayan yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh tuannya. Saat langkahnya mencapai pintu ruangan itu, suara bass milik Reve kembali terdengar. “Siapa yang menyuruhmu meninggalkan ruang kerjaku?” Laura membeku di tempat. Ia tak berani menoleh. Mata keabuan milik Reve menelusuri setiap lekuk tubuh Laura yang tersembunyi di balik seragam abu-abu yang sederhana itu. Di ruangan mewah yang tiba-tiba terasa sangat sempit itu, napasnya menjadi berat, dipenuhi oleh hasrat gelap yang tak lagi bisa dibendung. “Buka bajumu!” Kalimat itu menggantung di udara, tajam dan tak terbantahkan. Laura terdiam, jemarinya yang sedang memegang nampan bergetar halus. “Y-ya? Ma-maaf Tuan, saya—” “BUKA BAJUMU!” Kali ini, suara Reve lebih keras, lebih kasar, tak meninggalkan celah untuk protes. Laura menunduk, bulu kuduknya berdiri. Perlahan, dengan jari-jari yang gemetar, ia mulai membuka kancing seragamnya satu per satu. Setiap kancing yang terbuka seperti membuka pintu bagi rasa malu dan kepasrahan dalam dirinya. Reve tak bergerak, hanya menatap dengan tatapan yang membuat Laura merasa seperti ditelanjangi hingga ke tulang-tulangnya. Saat kancing terakhir baju seragamnya terbuka, Reve menarik napas dalam, matanya berbinar seolah memenangkan permainan besar. Namun Laura sudah tak melihat ke arah tuannya lagi. Ia hanya menatap lantai, berusaha menjadi tak terlihat, berusaha melarikan diri ke dalam pikirannya sendiri, tempat terakhir di mana ia masih memiliki kendali. Reve melangkah mendekati Laura, mata keabuannya menyala dengan kepuasan yang gelap. Setiap langkahnya di karpet tebal seperti derap predator yang telah mendapatkan mangsanya. Laura berdiri tak bergerak, seragamnya yang terbuka memperlihatkan bahu dan kulit putih yang menggigil. “Bagus!” kata Reve, suaranya dalam dan penuh kepuasan. “Aku suka dengan gadis penurut sepertimu.” Tangannya yang besar terangkat, bukan untuk memukul atau mencubit, tetapi untuk mengusap pipi Laura yang pucat. Sentuhannya terasa seperti beludru yang dibalut duri, lembut tetapi penuh ancaman. Laura menahan napas, matanya tertutup rapat. Di dalam kegelapan, ia mencoba mencari tempat yang aman, sebuah ruang di pikirannya di mana Reve tidak bisa menjangkaunya. Namun, suara Reve kembali memecah perlindungan rapuhnya. “Kau berbeda dari mereka,” bisik Reve, jarinya sekarang menelusuri garis leher Laura. “Kau tidak melawan. Kau tidak menangis. Kau hanya ... menerima.” Namun yang tak dilihat Reve adalah pertempuran di dalam diri Laura. Pertempuran antara harga diri yang hancur dan keinginan untuk bertahan hidup. Setiap sentuhan Reve adalah racun yang perlahan membunuhnya, tetapi setiap detik yang dilewatinya dengan bertahan adalah kemenangan kecil atas takdir yang mencoba menghancurkannya. “Sekarang,” kata Reve tiba-tiba, suaranya kembali meninggi. “Kembali bekerja. Dan ingat—” Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Laura, napasnya yang hangat membuat Laura bulu kuduk Laura meremang. “Peranmu di rumah ini adalah pelayanku. Lakukan apa pun yang aku perintahkan. Sekarang, pakai bajumu!” Laura mengangguk pelan, tangannya yang gemetar mencoba mengancingkan kembali seragamnya. Saat ia berbalik untuk pergi meninggalkan ruang kerja Reve, air matanya akhirnya jatuh. Air mata yang tidak akan pernah dilihat oleh siapapun, terutama Reve. ‘Aku harus bertahan di sini. Ini belum seberapa dibandingkan harus hidup di bawah kemiskinan seperti selama ini. Ini semua demi Bi Inah, demi melunasi semua hutang kami,’ batin Laura. “Kau baik-baik saja, Laura?” tanya Argo saat berpapasan dengannya. Laura mengangguk. “Saya baik-baik saja,” katanya sebelum melewati Argo. Sopir sekaligus tukang kebun rumah itu bersikap baik pada Laura. Bahkan ia memperlakukan Laura seperti seorang teman. Selayaknya manusia biasa. Laura tak ingin goyah lagi. Ia sudah meninggalkan kehidupan lamanya. ‘Hanya di sini tempat yang menerima pembantu tanpa melihat latar belakang pendidikan. Dan gaji di sini, cukup untuk biaya kebutuhanku selama tiga bulan,’ batinnya menguatkan. ***Reve membuka matanya perlahan. Dan kali ini, bukan dengan tatapan kosong. Sebuah api menyala di kedalaman pupilnya. Api kemarahan yang terlihat lebih besar dari apa yang ada di bayangannya. Dan dia merasakan hal itu sepenuhnya miliknya.“Aku marah …” ujarnya, suaranya rendah dan bergetar, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku marah karena ... karena aku merasa dikhianati.”Reve menatap tangannya yang masih mengepal, seolah bisa melihat batu kemarahan itu di telapak tangannya.“Oleh siapa, Reve? Siapa yang berkhianat?” tanya Caleb dengan lembut, membimbingnya.Reve menggeleng, frustrasi karena tidak bisa memberitahu nama seseorang atau hal apa yang membuatnya merasa dikhianati dan marah. “Aku tidak tahu! Tapi … rasanya seperti ... seperti ada yang mengambil sesuatu dariku. Sesuatu yang sangat berharga.” Dia menatap Caleb, matanya penuh penderitaan. “Seperti ada yang masuk ke kepalaku dan ... mencuri diriku.”
Caleb menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Reve, menciptakan ruang yang lebih intim di dalam ruang interogasi yang steril dari orang selain Argo dan Irene. Suaranya lembut, seperti seorang teman yang siap menjadi pendengar untuk cerita Reve.“Baiklah, Reve. Mari kita tinggalkan foto ini untuk sementara,” ujarnya, dengan sengaja menggeser foto Ana ke samping. “Mari kita fokus pada Laura. Katakan padaku tentang dia. Apa hal pertama yang muncul di pikiranmu ketika mendengar namanya?”Reve menutup matanya, dahinya berkerut. Sebuah gambaran samar muncul. Sebuah senyuman, tawa yang berderai, perasaan hangat yang tiba-tiba menyergapnya, diikuti oleh rasa sakit yang tajam di kepalanya. Dia mengerang.“Itu ... rasanya kepalaku sakit,” gumamnya, tangannya menekan pelipisnya.“Sakit itu biasa, Reve,” Caleb membimbing dengan tenang. “Itu sering kali terjadi saat kau sedang dalam mode pertahanan. Otakmu sedang berusaha bertahan. Coba l
Reve tertawa getir, matanya menatap tajam Argo dengan kemarahan dan rasa dikhianati yang mendalam. “Apa-apaan ini Argo? Apa salahku? Apa kau sedang bermain polisi-polisian denganku?”Dengan tenang, Argo mengeluarkan sebuah lencana berkilau dan tanda pengenal resmi dari saku dalam jaketnya. “Saya adalah pasukan khusus yang ditugaskan untuk memata-matai Anda, Tuan Reve,” ujarnya, suaranya datar dan profesional, sama sekali berbeda dengan sopir setia yang selama ini Reve kenal.Wajah Reve berubah pucat, lalu merah kembali oleh amarah. “Lelucon macam apa ini?” geramnya, suaranya meninggi. “Kau sudah menjadi sopirku selama ini. Kau mengkhianatiku!!”“Selama ini saya hanya melakukan pekerjaan saya,” balas Argo dingin, tidak tergoyahkan oleh ledakan emosi Reve.Saat itu, pintu ruang interogasi terbuka dan seorang jaksa wanita bernama Irene masuk dengan langkah tegas. Dia meletakkan sebuah map di atas meja dan duduk berseberangan denga
Di rumah sakit, suasana berlangsung cepat dan penuh tekanan. Petugas medis segera membawa Reve ke ruang gawat darurat. Setelah serangkaian pemeriksaan, termasuk CT scan, dokter menyimpulkan bahwa Reve beruntung. Dia tidak mengalami gegar otak atau cedera kepala serius, hanya memar dan luka di kulit kepala yang membutuhkan jahitan.Saat Reve mulai sadar, kepalanya berdenyut-denyut, tetapi pikirannya, ingatan tentang hal yang dilupakannya, masih sama kaburnya. Kabut yang sengaja dipelihara oleh obat-obatan Dokter Cael masih menyelimuti ingatannya.Kilasan tentang Laura, yang sempat memicu serangan sakit kepala sebelumnya, kini tenggelam kembali, diredam oleh kombinasi pukulan dan obat penenang yang diberikan di rumah sakit.Argo berdiri di luar tirai ruang gawat darurat, merasa lega sekaligus hancur. Rencana nekatnya berhasil. Reve tidak akan menghadapi Thomas hari ini. Namun, dia harus membayarnya dengan menjadi orang yang melukai tuannya sen
Kepala Reve tiba-tiba terasa seperti dihantam oleh palu godam, rasa sakit yang tajam dan tiba-tiba membuatnya menjerit dan membungkuk, tangannya mencengkeram pelipisnya.“Aargh!! Sakit sekali!”Shara panik, turut berlutut di samping Reve. “Sayang, ada apa?”“Ambilkan obatku! Obat! Cepat!!” Reve berteriak sambil menunjuk ke arah tas obat miliknya. Suaranya kesakitan.Dengan tangan gemetar, Shara merogoh tas obat Reve dan mengeluarkan pil yang diresepkan Dokter Cael. Dokter yang berperan sebagai penjaga gerbang yang dirancang untuk menekan segala ingatan buruk Reve yang memberontak.Reve meraih obat yang telah diresepkan untuknya dan menelannya dengan air yang ditawarkan Shara. Dia dengan patuh menelan obat untuk penyembuhannya itu.Saat obat mulai bekerja, rasa sakitnya mereda, digantikan oleh rasa hampa yang sama seperti sebelumnya. Namun kali ini, ada sisa-sisa kegelisahan di benaknya.
Laura menunduk, tidak sanggup menatap mata Dylan yang penuh pertanyaan itu. Di tengah kerinduannya akan masa lalu dan rasa sakit karena dilupakan, kehadiran Dylan yang terlihat tulus terasa seperti anugerah sekaligus beban.Laura tidak ingin melukai siapa pun, tetapi hatinya masih terluka karena pria itu, pria yang telah menyentuhnya dan kini bahkan tidak mengingatnya.“Saya tidak ada hubungan apa pun dengannya, Dokter,” jawab Laura.Dylan mengangguk, tetapi sorot matanya mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya percaya. Dia tidak pernah meragukan ucapan Laura, tetapi karena dia bisa merasakan dalamnya luka yang ditinggalkan oleh pria yang disebut Laura tidak ada hubungan dengannya itu.“Laura,” Dylan memanggilnya dengan suaranya yang lembut. “Terkadang, luka yang paling dalam justru datang dari orang-orang yang seharusnya tidak berarti apa-apa bagi kita.”Dylan tidak menekan, tidak memaksa Laura untuk bercerita. Dia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments