"Katakan 'mercy' dan semua ini akan berhenti." Namun, Laura tak pernah mengatakannya. Baginya, rasa sakit adalah cinta yang paling jujur. Laura tumbuh dengan keyakinan itu, bahwa setiap melukai adalah cara dunia mengatakan kau dicintai. Maka, saat Reve datang dengan mata dingin dan tangan yang terlatih menyakiti, Laura merasa akhirnya menemukan seseorang yang memahaminya. Namun Reve bukan pria biasa. Baginya, menyakiti Laura bukan sekadar nafsu. Itu adalah bahasa satu-satunya yang ia kuasai untuk berkata, "Aku takut kehilanganmu.” Cinta seharusnya tidak menyakiti. Namun Laura dan Reve tidak pernah belajar mencintai dengan cara lain.
View MoreSepatu lusuh itu terasa seperti cermin dari hidupnya. Usang, penuh noda, dan selalu terinjak-injak. Laura menatapnya, mencoba mencari keberanian dari jahitan yang mulai copot di bagian sol. Jari-jarinya menggenggam ujung rok seragam abu-abunya yang sudah pudar. Kain kasar yang mengingatkannya pada tempatnya yang sesungguhnya di rumah megah itu.
“Kemarilah, Laura!” Suara lelaki tampan itu menggema di ruangan yang terlalu besar, terlalu mewah, terlalu dingin. Itu adalah suara tuannya. Reve, keras, berwibawa, penuh amarah yang tersembunyi. Laura melangkah pelan, setiap langkah terasa seperti menembus lapisan es. Karpet tebal merah marun menelan suara langkahnya, membuatnya merasa seperti hantu yang melayang menuju takdirnya. Reve duduk di belakang meja kerjanya yang besar, wajahnya diterangi lampu meja yang menyorot tajam garis-garis kemarahannya. Laura baru saja sampai di depan meja kerja itu tetapi tiba-tiba— Byur! Cairan berwarna hitam itu seketika tumpah di atas kepalanya. Kopi hitam pekat mengalir dari rambutnya, menetes ke alis, membasahi bulu mata, mengalir seperti sungai hitam di pipinya yang pucat. Aroma pahit memenuhi hidungnya, membakar lebih dari sekadar kulit. Seragam kerjanya yang sederhana kini bernoda coklat tua, menempel di tubuhnya seperti luka yang terbuka. Laura berdiri membeku, matanya terpejam menahan perih. Tetes-tetes kopi masih menetes dari ujung rambutnya, membentuk genangan kecil di lantai marmer yang berkilau. Reve berdiri, tubuhnya menjulang seperti awan gelap sebelum badai. “Itu untuk pelajaran dan pengingatmu.” desisnya, suara rendahnya bergetar oleh kemarahan yang tak terbendung. “Agar kau selalu ingat, aku tak suka kopi yang sudah dingin. Dan juga, agar kau selalu tahu siapa dirimu, dan siapa aku,” katanya. Tangan Laura mengepal di samping tubuh, kukunya menancap di telapak tangan. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan piala perak di meja itu ke wajah tampan yang ternyata sikapnya begitu kejam. Namun, yang ia lakukan hanya membungkuk perlahan, suaranya bergetar tetapi cukup jelas didengat. “Maafkan saya, Tuan. Saya akan membersihkannya dan membuatkan Anda kopi yang baru.” Laura segera mengeluarkan serbetnya untuk membersihkan sisa kopi di lantai. Lalu dengan gemetar, ia meraih cangkir kopi kosong dari tangan Reve. Ketika ia berbalik untuk pergi, air matanya akhirnya jatuh, bercampur dengan kopi pahit di wajahnya. Dan di sana, di ambang pintu, Argo berdiri dengan wajah pucat. Ia menyaksikan lagi satu bab dari tragedi yang ia tahu akan berakhir dengan air mata. Namun yang paling menyakitkan bagi Laura bukanlah kopi yang telah dingin itu. Bukan penghinaannya. Namun kenyataan bahwa di balik kemegahan rumah itu, ia tetaplah hanya pelayan yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh tuannya. Saat langkahnya mencapai pintu ruangan itu, suara bass milik Reve kembali terdengar. “Siapa yang menyuruhmu meninggalkan ruang kerjaku?” Laura membeku di tempat. Ia tak berani menoleh. Mata keabuan milik Reve menelusuri setiap lekuk tubuh Laura yang tersembunyi di balik seragam abu-abu yang sederhana itu. Di ruangan mewah yang tiba-tiba terasa sangat sempit itu, napasnya menjadi berat, dipenuhi oleh hasrat gelap yang tak lagi bisa dibendung. “Buka bajumu!” Kalimat itu menggantung di udara, tajam dan tak terbantahkan. Laura terdiam, jemarinya yang sedang memegang nampan bergetar halus. “Y-ya? Ma-maaf Tuan, saya—” “BUKA BAJUMU!” Kali ini, suara Reve lebih keras, lebih kasar, tak meninggalkan celah untuk protes. Laura menunduk, bulu kuduknya berdiri. Perlahan, dengan jari-jari yang gemetar, ia mulai membuka kancing seragamnya satu per satu. Setiap kancing yang terbuka seperti membuka pintu bagi rasa malu dan kepasrahan dalam dirinya. Reve tak bergerak, hanya menatap dengan tatapan yang membuat Laura merasa seperti ditelanjangi hingga ke tulang-tulangnya. Saat kancing terakhir baju seragamnya terbuka, Reve menarik napas dalam, matanya berbinar seolah memenangkan permainan besar. Namun Laura sudah tak melihat ke arah tuannya lagi. Ia hanya menatap lantai, berusaha menjadi tak terlihat, berusaha melarikan diri ke dalam pikirannya sendiri, tempat terakhir di mana ia masih memiliki kendali. Reve melangkah mendekati Laura, mata keabuannya menyala dengan kepuasan yang gelap. Setiap langkahnya di karpet tebal seperti derap predator yang telah mendapatkan mangsanya. Laura berdiri tak bergerak, seragamnya yang terbuka memperlihatkan bahu dan kulit putih yang menggigil. “Bagus!” kata Reve, suaranya dalam dan penuh kepuasan. “Aku suka dengan gadis penurut sepertimu.” Tangannya yang besar terangkat, bukan untuk memukul atau mencubit, tetapi untuk mengusap pipi Laura yang pucat. Sentuhannya terasa seperti beludru yang dibalut duri, lembut tetapi penuh ancaman. Laura menahan napas, matanya tertutup rapat. Di dalam kegelapan, ia mencoba mencari tempat yang aman, sebuah ruang di pikirannya di mana Reve tidak bisa menjangkaunya. Namun, suara Reve kembali memecah perlindungan rapuhnya. “Kau berbeda dari mereka,” bisik Reve, jarinya sekarang menelusuri garis leher Laura. “Kau tidak melawan. Kau tidak menangis. Kau hanya ... menerima.” Namun yang tak dilihat Reve adalah pertempuran di dalam diri Laura. Pertempuran antara harga diri yang hancur dan keinginan untuk bertahan hidup. Setiap sentuhan Reve adalah racun yang perlahan membunuhnya, tetapi setiap detik yang dilewatinya dengan bertahan adalah kemenangan kecil atas takdir yang mencoba menghancurkannya. “Sekarang,” kata Reve tiba-tiba, suaranya kembali meninggi. “Kembali bekerja. Dan ingat—” Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Laura, napasnya yang hangat membuat Laura bulu kuduk Laura meremang. “Peranmu di rumah ini adalah pelayanku. Lakukan apa pun yang aku perintahkan. Sekarang, pakai bajumu!” Laura mengangguk pelan, tangannya yang gemetar mencoba mengancingkan kembali seragamnya. Saat ia berbalik untuk pergi meninggalkan ruang kerja Reve, air matanya akhirnya jatuh. Air mata yang tidak akan pernah dilihat oleh siapapun, terutama Reve. ‘Aku harus bertahan di sini. Ini belum seberapa dibandingkan harus hidup di bawah kemiskinan seperti selama ini. Ini semua demi Bi Inah, demi melunasi semua hutang kami,’ batin Laura. “Kau baik-baik saja, Laura?” tanya Argo saat berpapasan dengannya. Laura mengangguk. “Saya baik-baik saja,” katanya sebelum melewati Argo. Sopir sekaligus tukang kebun rumah itu bersikap baik pada Laura. Bahkan ia memperlakukan Laura seperti seorang teman. Selayaknya manusia biasa. Laura tak ingin goyah lagi. Ia sudah meninggalkan kehidupan lamanya. ‘Hanya di sini tempat yang menerima pembantu tanpa melihat latar belakang pendidikan. Dan gaji di sini, cukup untuk biaya kebutuhanku selama tiga bulan,’ batinnya menguatkan. ***Argo membuka pintu mobil dengan sikap hormat, kepalanya tertunduk rendah saat Shara melangkah keluar dengan anggun. Gaun sutra warna lavender yang dikenakannya berkilauan lembut di bawah sinar matahari, menciptakan siluet yang sempurna dari seorang wanita dari kalangan elit. Dengan senyum tipis yang dipraktikkan ribuan kali, Argo memandu Shara menuju ruang tamu utama, di mana Reve sudah menunggu dengan pose yang penuh wibawa.Reve berdiri begitu Shara masuk, wajahnya yang biasanya dingin mencair menjadi senyum yang telah dilatih untuk kesempurnaan. Ia mengambil tangan Shara, menekankan kecupan ringan di atasnya. Sebuah gestur klasik yang penuh dengan nuansa kepemilikan dan kesopanan yang dingin.“Senang sekali bisa bertemu dengan calon istriku di hari ini,” ujar Reve, suara bass-nya terdengar halus dan memesona, seolah tidak ada jejak kekacauan dan kegelapan yang baru saja terjadi di antara ruang kerjanya dan Laura. Shara tersipu
Reve mengangkat wajah, matanya menyipit menahan sinar pagi yang mulai menerobos jendela. “Apa yang kau inginkan sampai harus memanggilku dengan sebutan itu, Gerald?” Gerald meletakkan tas kulitnya di atas meja yang masih bersih dari pecahan, tepat di sebelah cangkir kopi buatan Laura. “Keluarga Shara menanyakan progress persiapan acara. Mereka ingin memastikan bahwa tidak ada halangan apa pun.”Mata lelaki berkacamata itu sekali lagi mengamati keadaan ruangan. Dan kali ini, ada sedikit dugaan dalam diamnya.Reve tertawa getir. “Katakan pada mereka tidak ada halangan. Semua akan berjalan sesuai rencana.”“Baik,” Gerald mengangguk, tetapi belum beranjak pergi. Matanya sekarang tertuju pada perban di tangan Reve. “Apakah Anda membutuhkan dokter? Luka itu terlihat—” “Tidak,” sela Reve dengan segera. “Sekarang keluarlah.” Namun sebelum Gerald berbalik, pandangannya tertangkap sesuatu. Sepotong kecil kaca yang masih berceceran di dekat kaki Reve, dan di atasnya, setitik darah yang masih
Malam harinya, langkah-langkah berat Reve bergema di lorong sempit menuju kamar pembantu, setiap hentakan sepatu bootsnya seperti palu godam yang menghancurkan kesunyian malam. Dia berhenti di depan pintu kayu yang sederhana, mengetuk dengan keras. Bukan meminta izin, tetapi menuntut. “Buka pintunya!”Pintu terbuka perlahan, menampilkan wajah Laura yang pucat dan mata yang masih bengkak oleh tangisan. Namun sebelum gadis itu bisa berkata apa-apa, Reve sudah mendorongnya masuk, memasuki ruangan kecil yang berbau sabun cuci dan kesederhanaan.“Tuan, nanti ada yang melihat,” protes Laura dengan suara gemetar, tangannya mencoba menutup baju tidurnya yang tipis.Reve mengabaikannya. Tangannya yang besar dengan kasar membuka blus tidur Laura, menyibak punggungnya yang masih memerah dengan garis-garis merah yang mengerikan. Napas Reve tercekat.“Seberapa parah lukamu?” Reve bertanya bukan untuk mendapat jawaban Laura, melainkan sebagai pertahanan dirinya sendiri.Laura meringis ketika jari
Laura terbangun saat alarm di ponselnya berbunyi. Pukul lima. Udara yang sejuk membuatnya teringat suasana di kampung halaman.Ia memulai aktivitasnya dengan membersihkan dapur lalu menyiapkan menu untuk sarapan.“Buatkan aku kopi tanpa gula,” suara bass itu membuat Laura berjingkat. Ia hampir terantuk sisi meja jika tak menahan diri.“Y-ya, Tuan. Akan saya buatkan,” kata Laura, menyingkirkan lap dari tangannya.Laura baru saja membuka rak saat suara bass lelaki itu kembali terdengar.“Laura.”Laura menjawab dengan suara pelan. “Ya, Tuan? Apa ada lagi yang Anda butuhkan?”“Antarkan ke ruang kerjaku.”“Baik, Tuan.”***Dengan langkah hati-hati, Laura membawa nampan perak berisi cangkir kopi dan sepiring croissant hangat ke ruang kerja tuannya. Pintu kayu mahoni itu terbuka sedikit, mengizinkan suara gemerisik kertas dan ketikan keyboard terdengar samar. Laura mengetuk pintu itu pelan.“Masuk,” suaranya menggema dari dalam. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja kuning kee
Reve melepaskannya dengan gerakan tiba-tiba, seolah baru menyadari apa yang telah dilakukannya. Tubuh Laura yang lemas nyaris terjatuh ke lantai marmer yang basah sebelum akhirnya ia berpegangan pada dinginnya dinding. Reve sudah membelakanginya, melangkah ke dalam bathtub air hangat yang masih beruap, menyelam seolah ingin membersihkan keringat atau mungkin rasa kotor yang membuatnya jijik. “Pergilah dari kamarku,” suaranya berat, terdistorsi oleh uap dan keengganan. “Ganti pakaianmu dengan pakaian kering. Kau bisa masuk angin.” Kata-kata itu seharusnya terdengar perhatian, tetapi nada di baliknya membuat Laura gemetar. Itu bukan kekhawatiran, melainkan perintah dari seorang tuan yang baru saja mengingatkan statusnya sebagai pelayan rendahan di rumah megah itu. Dengan kaki yang lemas dan masih gemetar, Laura terayun keluar dari kamar mandi. Seragam basahnya menempel di kulit, membentuk siluet yang memicu bisik-bisik. Setiap langkahnya di koridor yang megah terasa seperti perjala
Piring keramik putih itu nyaris terlepas dari genggamannya ketika suara bass Reve memecah kesunyian ruang makan. Laura menata sendok perak dengan gemetar, berusaha keras untuk tidak menatap langsung mata hijau keabuan yang menatapnya tajam dari seberang meja.“Laura.”Namanya diucapkan dengan tekanan yang membuat dadanya sesak. Ia mengangkat wajah, hanya untuk menemukan Reve sedang memandangnya seperti seekor kucing yang mengintai burung terluka.“Siapkan air hangat untuk aku berendam.”“Ba-baik, Tuan,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar. Namun Reve belum selesai. Jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni, menciptakan irama yang menegangkan.“Jangan terlalu panas," ujarnya, setiap kata diucapkan dengan presisi yang kejam. “Tidak terlalu dingin. Cukup untuk berendam.”Matanya menyipit, dan Laura bisa melihat kilatan sesuatu yang gelap di dalamnya. Sesuatu yang membuat bulu kuduk Laura berdiri.“Jika tidak,” Reve melanjutkan, suaranya tiba-tiba menjadi sangat luna
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments