ВойтиMasa kecil penuh trauma membuat Laura percaya bahwa cinta selalu berarti luka. Baginya, dicintai adalah disakiti. Dan menerima rasa sakit dari orang terkasih adalah hal yang wajar. Keyakinan itu membawanya pada Reve, pria dengan sisi gelap yang tak pernah ia sembunyikan. Di rumahnya, Laura terjebak dalam hubungan penuh gairah sekaligus penyiksaan, hingga sulit membedakan antara cinta dan obsesi. Pengkhianatan Reve membuka matanya. Untuk pertama kali, Laura meragukan pemahamannya tentang cinta. Ia memutuskan pergi, mencoba keluar dari lingkaran yang menghancurkannya. Namun Reve tak rela melepaskan. Baginya, Laura adalah obsesi, candu, dan alasan untuk tetap bertahan dalam kegelapan. Laura harus memilih: menerima pria itu lagi, atau mencari arti cinta yang sebenarnya. °°° Hai kakak-kakak pembaca tersayang, penulis akan sangat berterima kasih jika kakak semua berkenan meninggalkan jejak komentar, ulasan dan menambahkan cerita ini ke pustaka. Love <3
Узнайте большеSepatu lusuh itu terasa seperti cermin dari hidupnya. Usang, penuh noda, dan selalu terinjak-injak. Laura menatapnya, mencoba mencari keberanian dari jahitan yang mulai copot di bagian sol. Jari-jarinya menggenggam ujung rok seragam abu-abunya yang sudah pudar. Kain kasar yang mengingatkannya pada tempatnya yang sesungguhnya di rumah megah itu.
“Kemarilah, Laura!” Suara lelaki tampan itu menggema di ruangan yang terlalu besar, terlalu mewah, terlalu dingin. Itu adalah suara tuannya. Reve, keras, berwibawa, penuh amarah yang tersembunyi. Laura melangkah pelan, setiap langkah terasa seperti menembus lapisan es. Karpet tebal merah marun menelan suara langkahnya, membuatnya merasa seperti hantu yang melayang menuju takdirnya. Reve duduk di belakang meja kerjanya yang besar, wajahnya diterangi lampu meja yang menyorot tajam garis-garis kemarahannya. Laura baru saja sampai di depan meja kerja itu tetapi tiba-tiba— Byur! Cairan berwarna hitam itu seketika tumpah di atas kepalanya. Kopi hitam pekat mengalir dari rambutnya, menetes ke alis, membasahi bulu mata, mengalir seperti sungai hitam di pipinya yang pucat. Aroma pahit memenuhi hidungnya, membakar lebih dari sekadar kulit. Seragam kerjanya yang sederhana kini bernoda coklat tua, menempel di tubuhnya seperti luka yang terbuka. Laura berdiri membeku, matanya terpejam menahan perih. Tetes-tetes kopi masih menetes dari ujung rambutnya, membentuk genangan kecil di lantai marmer yang berkilau. Reve berdiri, tubuhnya menjulang seperti awan gelap sebelum badai. “Itu untuk pelajaran dan pengingatmu.” desisnya, suara rendahnya bergetar oleh kemarahan yang tak terbendung. “Agar kau selalu ingat, aku tak suka kopi yang sudah dingin. Dan juga, agar kau selalu tahu siapa dirimu, dan siapa aku,” katanya. Tangan Laura mengepal di samping tubuh, kukunya menancap di telapak tangan. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan piala perak di meja itu ke wajah tampan yang ternyata sikapnya begitu kejam. Namun, yang ia lakukan hanya membungkuk perlahan, suaranya bergetar tetapi cukup jelas didengat. “Maafkan saya, Tuan. Saya akan membersihkannya dan membuatkan Anda kopi yang baru.” Laura segera mengeluarkan serbetnya untuk membersihkan sisa kopi di lantai. Lalu dengan gemetar, ia meraih cangkir kopi kosong dari tangan Reve. Ketika ia berbalik untuk pergi, air matanya akhirnya jatuh, bercampur dengan kopi pahit di wajahnya. Dan di sana, di ambang pintu, Argo berdiri dengan wajah pucat. Ia menyaksikan lagi satu bab dari tragedi yang ia tahu akan berakhir dengan air mata. Namun yang paling menyakitkan bagi Laura bukanlah kopi yang telah dingin itu. Bukan penghinaannya. Namun kenyataan bahwa di balik kemegahan rumah itu, ia tetaplah hanya pelayan yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh tuannya. Saat langkahnya mencapai pintu ruangan itu, suara bass milik Reve kembali terdengar. “Siapa yang menyuruhmu meninggalkan ruang kerjaku?” Laura membeku di tempat. Ia tak berani menoleh. Mata keabuan milik Reve menelusuri setiap lekuk tubuh Laura yang tersembunyi di balik seragam abu-abu yang sederhana itu. Di ruangan mewah yang tiba-tiba terasa sangat sempit itu, napasnya menjadi berat, dipenuhi oleh hasrat gelap yang tak lagi bisa dibendung. “Buka bajumu!” Kalimat itu menggantung di udara, tajam dan tak terbantahkan. Laura terdiam, jemarinya yang sedang memegang nampan bergetar halus. “Y-ya? Ma-maaf Tuan, saya—” “BUKA BAJUMU!” Kali ini, suara Reve lebih keras, lebih kasar, tak meninggalkan celah untuk protes. Laura menunduk, bulu kuduknya berdiri. Perlahan, dengan jari-jari yang gemetar, ia mulai membuka kancing seragamnya satu per satu. Setiap kancing yang terbuka seperti membuka pintu bagi rasa malu dan kepasrahan dalam dirinya. Reve tak bergerak, hanya menatap dengan tatapan yang membuat Laura merasa seperti ditelanjangi hingga ke tulang-tulangnya. Saat kancing terakhir baju seragamnya terbuka, Reve menarik napas dalam, matanya berbinar seolah memenangkan permainan besar. Namun Laura sudah tak melihat ke arah tuannya lagi. Ia hanya menatap lantai, berusaha menjadi tak terlihat, berusaha melarikan diri ke dalam pikirannya sendiri, tempat terakhir di mana ia masih memiliki kendali. Reve melangkah mendekati Laura, mata keabuannya menyala dengan kepuasan yang gelap. Setiap langkahnya di karpet tebal seperti derap predator yang telah mendapatkan mangsanya. Laura berdiri tak bergerak, seragamnya yang terbuka memperlihatkan bahu dan kulit putih yang menggigil. “Bagus!” kata Reve, suaranya dalam dan penuh kepuasan. “Aku suka dengan gadis penurut sepertimu.” Tangannya yang besar terangkat, bukan untuk memukul atau mencubit, tetapi untuk mengusap pipi Laura yang pucat. Sentuhannya terasa seperti beludru yang dibalut duri, lembut tetapi penuh ancaman. Laura menahan napas, matanya tertutup rapat. Di dalam kegelapan, ia mencoba mencari tempat yang aman, sebuah ruang di pikirannya di mana Reve tidak bisa menjangkaunya. Namun, suara Reve kembali memecah perlindungan rapuhnya. “Kau berbeda dari mereka,” bisik Reve, jarinya sekarang menelusuri garis leher Laura. “Kau tidak melawan. Kau tidak menangis. Kau hanya ... menerima.” Namun yang tak dilihat Reve adalah pertempuran di dalam diri Laura. Pertempuran antara harga diri yang hancur dan keinginan untuk bertahan hidup. Setiap sentuhan Reve adalah racun yang perlahan membunuhnya, tetapi setiap detik yang dilewatinya dengan bertahan adalah kemenangan kecil atas takdir yang mencoba menghancurkannya. “Sekarang,” kata Reve tiba-tiba, suaranya kembali meninggi. “Kembali bekerja. Dan ingat—” Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Laura, napasnya yang hangat membuat Laura bulu kuduk Laura meremang. “Peranmu di rumah ini adalah pelayanku. Lakukan apa pun yang aku perintahkan. Sekarang, pakai bajumu!” Laura mengangguk pelan, tangannya yang gemetar mencoba mengancingkan kembali seragamnya. Saat ia berbalik untuk pergi meninggalkan ruang kerja Reve, air matanya akhirnya jatuh. Air mata yang tidak akan pernah dilihat oleh siapapun, terutama Reve. ‘Aku harus bertahan di sini. Ini belum seberapa dibandingkan harus hidup di bawah kemiskinan seperti selama ini. Ini semua demi Bi Inah, demi melunasi semua hutang kami,’ batin Laura. “Kau baik-baik saja, Laura?” tanya Argo saat berpapasan dengannya. Laura mengangguk. “Saya baik-baik saja,” katanya sebelum melewati Argo. Sopir sekaligus tukang kebun rumah itu bersikap baik pada Laura. Bahkan ia memperlakukan Laura seperti seorang teman. Selayaknya manusia biasa. Laura tak ingin goyah lagi. Ia sudah meninggalkan kehidupan lamanya. ‘Hanya di sini tempat yang menerima pembantu tanpa melihat latar belakang pendidikan. Dan gaji di sini, cukup untuk biaya kebutuhanku selama tiga bulan,’ batinnya menguatkan. ***Di kantornya yang sudah sepi. Hanya lampu meja Laura yang masih menyala, menerangi sketsa-sketsa digital di layar komputernya. Kyle muncul dari balik pintu ruang kerjanya, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Dia mendekati meja Laura. “Laura,” suara Kyle memenuhi ruangan. Suaranya membuat Laura menoleh dari layar. “Ya?” Kyle berhenti di samping mejanya, tidak duduk. Ada ketegangan yang berbeda di udara, bukan seperti atasan dan bawahan, tapi seperti dua orang yang terhubung oleh masa lalu yang rumit. “Kau tahu status kita sebenarnya ‘kan?” Kyle berhenti, seolah menimbang kata-katanya. “Kenapa kau tidak ingin kembali?” Laura menutup tabletnya. Dia tahu pertanyaan ini akan datang, cepat atau lambat. Dia menarik napas. “Tidak.” Jawabannya tegas. “Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dengan keluargamu, Kyle.” Kyle mengerutkan kening. “Tapi kau juga keluarga kami. Selama bertahun-tahun, ibuku memperlakukanmu seperti anaknya sendiri.” Kenangan itu menyakitkan. Laura memandang l
Suasana di klinik Dylan yang biasanya tenang dan steril, pagi itu pecah oleh kehadiran yang tak terduga. Reve berdiri di ruang konsultasi, memakai kemeja sederhana yang menyembunyikan sebagian besar luka-lukanya, meski balutan di kepala masih terlihat. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi sorot matanya sudah kembali tajam dan penuh kehidupan. Saat Dylan memasuki ruangan, secangkir kopi di tangannya hampir terjatuh. Matanya membelalak, seolah melihat hantu. Dia tertegun, tak mampu berkata-kata. Reve tersenyum, mengulurkan tangannya. “Hai, Bro. Sudah lama.” Dylan perlahan mendekat, masih tak percaya. Dia menjabat tangan Reve dengan kuat, seakan memastikan bahwa Reve di depannya adalah nyata. “Bro ... ini benar-benar kamu? Bukannya kamu .....” Suara Dylan tercekat. Selama ini, seperti semua orang, dia percaya Reve telah tiada. Reve tertawa pelan, ada sedikit keringanan di nadanya. “Kau k
Reve mengangguk, air mata akhirnya mengalir. “Ya. Dan aku tahu, alasan apa pun tidak akan pernah cukup. Aku tidak memintamu untuk memaafkanku sekarang. Aku hanya ... ingin kau tahu kebenarannya.”Laura diam sejenak. Lalu, perlahan, dia melepaskan tangannya dari genggaman Reve, dan justru meraih wajah Reve, memaksanya menatap matanya.“Aku marah. Aku sangat terluka. Tapi …” kata Laura.Dia menarik napas dalam-dalam, “Aku juga mengerti. Dan aku masih mencintaimu, Reve. Mungkin itu yang paling menyakitkan dari semua ini.”Di sanalah, di ruangan yang dipenuhi oleh bayangan masa lalu dan luka, sebuah awal yang baru mulai tumbuh. Bukan dari pengampunan yang terjadi begitu saja, tetapi dari kejujuran yang akhirnya terungkap.Dan cinta yang ternyata mampu bertahan bahkan di balik kepalsuan dan pengorbanan yang paling menyakitkan sekalipun.Reve tiba-tiba saja tersedu-sedu. “Aku menyesal karena kita harus keh
Kain perban putih membalut rapi luka di kepala Reve, menjadi kontras yang mencolok dengan wajahnya yang masih dipenuhi debu dan noda darah kering. Laura tidak bisa mengalihkan pandangannya dari balutan itu, setiap helai kain putih mengingatkannya pada resiko yang baru saja diambil Reve untuknya.Dia menggenggam tangan Reve yang tidak terluka, mengangkatnya, dan meletakkan sebuah ciuman lembut di atas buku-buku jarinya. Air mata masih menggenang di matanya, namun kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena rasa syukur yang sangat dalam.Laura berbicara dengan suara serak penuh emosi. “Terima kasih, Reve ... terima kasih.”Ucapan itu diulanginya berkali-kali, seolah-olah kata-kata lain sudah tidak cukup. Namun, di balik rasa syukur itu, sebuah pertanyaan besar dan menyakitkan akhirnya mencuat. Pertanyaan yang telah menggerogoti pikirannya sejak tahu Reve masih hidup.Laura menatap Reve, matanya memancarkan kebingungan dan k


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ОтзывыБольше