Nita merasa batinnya lelah. Bangun dari tidur di pagi hari tidak membuatnya merasa segar. Dengan malas, diliriknya jam dinding. Hampir pukul setengah tujuh pagi. Andai dirinya tak mesti ke kantor.
Otaknya terasa penuh. Setelah Vina pulang semalam, dia hampir tak bisa tidur memikirkan apa yang terjadi beberapa bulan belakangan. Mulai dari sentuhan pertama Arya di tubuhnya sampai dirinya terjebak dalam perilaku biseksual yang telah melenakannya.
Ingatannya akan ibunya membuat dadanya terasa sesak. Nita sadar dirinya telah mengecewakan ibunya andai beliau tahu apa yang telah dilakukannya. Dia bahkan merasa jijik dengan dirinya sendiri. Jijik dengan perilakunya yang liar.
Apa artinya marah dengan keadaan dan kesalahan orang lain dengan membuat kesalahan sendiri? Itu tak membuat dirinya lebih baik. Bahkan, lebih buruk. Marah dengan orang-orang yang dianggapnya bersalah, tetapi dirinya sendiri berkubang dalam kesalahan-kesalahan yang membuatnya semakin terbenam.
<Arya terdiam seribu bahasa. Apa yang dikatakan Nita seolah menamparnya dengan sangat keras. Mukanya memerah entah karena marah atau malu.“Putuskan Cecil! Bapak sudah melanggar kesepakatan dengan Bu Vina karena mencintai Cecil.”Arya menghela napasnya. “Kamu benar. Aku memang mencintai Cecil.”“Sekarang, Bapak silakan pergi. Jangan pernah menyentuhku lagi. Ini untuk terakhir kalinya.”“Maafkan aku,” ujar Arya. “Aku telah membuatmu jadi begini.”“Sudahlah. Kita lupakan yang pernah terjadi.”“Suruh Bu Vina kemari nanti sore,” pinta Nita. “Jangan bilang apa-apa tentang hal ini. Biar aku yang bicara padanya.”Bagaimanapun, bukan cuma Arya, Nita juga harus menyelesaikan apa yang telah dimulainya. Apa yang terjadi sudah menjadi lingkaran setan yang harus diputusnya. Semua harus kembali ke asalnya.Setelah Arya pergi, Nita mandi dan bersiap
Nita dan Vina berbaring bersisian. Tubuh mereka masih telanjang. Keduanya kelelahan setelah pergumulan mereka barusan.“Yuk ....” panggil Nita.“Hmmm ....” Vina membuka matanya. Menatap Nita yang ada di sisi kanannya.“Gimana hubungan Kak Arya dengan Ayuk belakangan ini?”Vina menghela napas panjang. “Entahlah, Nit. Kak Arya beberapa hari ini sibuk. Setiap hari pulang malam.”“Sibuk dengan kerjaan kantor?”“Aku gak tahu persis. Kadang, dia pulang sore, mandi, terus pergi lagi. Dia gak bilang mau ke mana persisnya. Aku pikir Kak Arya pergi kencan dengan Cecil.”“Kenapa bisa mikir gitu?” tanya Nita penasaran.“Naluri istri, Nit. Tiga hari lalu, Kak Arya pulang sore dan pergi lagi. Aku ikuti. Ternyata, dia ketemu Cecil di suatu tempat, lalu pergi bersama.”“Mungkin pergi ngurus kerjaan?”“Bukan kerjaan, t
Sedan hitam berjalan pelan memasuki halaman sebuah rumah yang tampak asri. Tidak terlalu besar, tetapi terlihat mewah. Seorang lelaki tampan turun dari mobil itu. Dialah Arya Wibisana, seorang arsitek berumur tiga puluh lima tahun. Langkah-langkah kakinya yang panjang menapaki ruangan yang tampak sunyi. Tak seorang pun terlihat di sana. Arya membawa langkahnya menuju kamar tidurnya. Tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Selain bekerja pada sebuah konsultan arsitektur besar, Arya juga memiliki sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang yang sama, arsitektur. Dia menjalankan perusahaannya di sebuah studio yang terletak di sebelah rumahnya. Sepulang dari kantor, Arya biasanya mampir ke studionya. Memeriksa pekerjaan yang dilakukan para karyawannya. Memang dia tidak seharian berada di studionya. Para karyawannya bisa diandalkan untuk menangani berbagai pekerjaan desain rumah tinggal atau gedung-gedung kecil lainnya. Begitulah kese
Sejak sebelum menikah, Arya telah berterus terang tentang kondisinya. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Vina bisa memahami dan menerima keadaan Arya. Hanya saja Vina mengajukan syarat agar Arya tidak akan pernah memadu dirinya. Arya boleh suka dengan perempuan lain, tetapi tidak sampai terlibat hubungan cinta. Boleh berhubungan intim dengan perempuan lain asal jangan main perempuan nakal dan terus terang dengan Vina. Sejauh ini, Arya pernah beberapa kali tergoda dengan perempuan lain, tetapi belum sampai ke hubungan intim, hanya sebatas jalan bareng lalu berlanjut ke ciuman dan rabaan. Vina sangat mengerti keadaan Arya. Dia tidak memiliki hasrat sebesar yang dimiliki suaminya. Namun, Vina sudah berusaha keras untuk memuaskannya. Kadang, Arya begitu bernafsu sehingga dia menyetubuhi Vina berkali-kali dalam sehari semalam. Sebagai istri yang baik, Vina selalu menuruti kemauan suaminya agar bisa terpuaskan. Tak jarang, Vina terlalu lelah meladeni kemauan suami
Arya semakin meninggi. Vina mengerti kalau Arya sudah ingin masuk ke tahap selanjutnya. Dia berinisiatif terlentang di kasur lalu Arya mengangkangi perut Vina. Tangan Vina perlahan menarik milik Arya lalu diletakkannya benda itu di celah antara dua payudara montoknya. Kedua tangan Vina mendorong kedua belah payudaranya, menjepit milik Arya lalu mengurut benda itu dengan kedua belah payudara montoknya. Payudara Vina yang sangat sensitif ikut merasakan sensasi luar biasa saat mengurut benda itu. Sensasi itu membuat selangkangan Vina berdenyut-denyut seolah kontak dengan payudaranya. Arya yang semakin bernafsu ikut bergerak maju mundur menggesekkan miliknya di jepitan payudara Vina. Gerakan Arya semakin cepat dan itu membuat Vina menggelinjang kenikmatan. Kedutan di selangkangannya semakin menjadi-jadi. Desahan-desahan nafsu meluncur dari mulutnya yang membuat Arya semakin bernafsu. Arya merasakan gejolak yang mendesak. "Sayang, aku hampir sampai," bisik Arya di
Arya memandang dirinya di depan cermin. Sudah rapi. Dengan kemeja lengan pendek bermotif kotak-kotak dan celana jin, penampilannya tampak kasual. Begitulah penampilannya saat pergi ke kantor. Atasannya tidak pernah keberatan dengan penampilannya. Arya membalikkan tubuhnya. Dicangkingnya tas kerjanya ke ruang tengah lalu dia menuju ruang makan untuk sarapan. Setiap pagi Arya biasa pergi kerja pukul tujuh pagi sementara Vina biasanya berangkat lebih telat karena jam kantornya memang sedikit lebih siang. Seperti biasa, Vina menyiapkan sarapan pagi buat Arya lalu menemaninya sarapan pagi. Setelah Arya berangkat kerja, barulah Vina berganti pakaian dan bersiap pergi ke kantornya. Mereka berdua sudah biasa seperti itu. Berangkat kerja masing-masing dengan mobil masing-masing. Setelah Arya berangkat, Vina bersiap untuk mandi. Tanpa sadar, dia memikirkan apa yang bakal terjadi antara suaminya dan sahabatnya pagi ini. Dia bertanya-tanya apakah Vera bisa menggoda Arya.
Untuk beberapa saat, mereka berdua saling pandang. Suasana yang agak canggung sampai nada dering berbunyi dari ponsel Vera. Vera melihat sekilas nama pemanggil di ponselnya. "Maaf, Kak. Aku angkat telepon dulu," ujar Vera. "Istrimu nelepon," katanya lagi sambil meninggalkan kamar. Diam-diam, Arya bereusaha keras mencuri dengar. Namun, dia tidak bisa menebak dengan jelas apa yang dibicarakan istrinya dengan Vera. Sekilas Arya mendengar Vera mengatakan bahwa Arya sudah sampai sekitar lima belas menit lalu. "Aku pinjam dulu suamimu, ya," seru Vera mengakhiri obrolan singkatnya dengan Vina diikuti senyum penuh makna. Arya sempat menoleh ke arah Vera ketika dia mengatakan itu. "Vina ngomong apa sama kamu tadi?" tanya Arya ketika Vera senyum-senyum masuk ke kamar. "Biasalah, nanya apa suaminya sudah sampai ke mari," jawab Vera. "Terus kenapa kamu bilang pinjam suaminya?" Vera tidak menjawab melainkan hanya tertawa kecil. Arya tersenyum melih
Seuntai senyum manis tampak menghias wajah sang perempuan. Meskipun demikian, itu tak membuat tubuh Arya berkurang ketegangannya. Rasa malu, bersalah, berkhianat, dan takut bercampur baur menjadi satu di pikirannya. Dia merasa seakan dirinya adalah seorang maling yang terpergok sedang menjarah barang curiannya. Dengan santai, perempuan itu melangkah mendekati Vera yang terbaring dengan tubuh telanjang. Dikecupnya pipi Vera diiringi senyum manisnya. Vera hanya membalas senyum perempuan itu tanpa mampu berbuat lebih banyak. Tak urung perasaannya berkecamuk karena perempuan itu mendapatinya sedang terlentang telanjang bulat dan di selangkangannya ada suami perempuan itu yang juga telanjang bulat sedang mengerjainya. Sesaat kemudian, perempuan itu bergeser ke arah Arya. Tanpa melepas senyumnya, dia kecup pipi Arya dengan lembut. Arya tetap mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Pipinya serasa keras kaku menerima kecupan perempuan itu. "Teruskan aja permainan kali