Share

Khitbah

Mata bulat itu menyorot jauh ke langit yang mendung. Sore yang indah dengan hamparan hijau sawah yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Cilla duduk di tembok jembatan kecil dengan pintu air di bawahnya. Tempat favorit gadis itu sejak kecil. Pintu air itu menghubungkan sebuah waduk buatan kecil untuk pengairan sawah di desa ini. Entah berapa lama gadis itu duduk berdiam diri di sini. Jika sudah menyendiri seperti ini, Cilla tak peduli seberapa lama ia duduk termenung di tempat ini. Sesaat sinar matahari yang terbebas dari bayang-bayang mendung memberikan bias indah. Semburat jingga dengan pemandangan sekitar begitu membaur seolah memberikan buaian mata yang menentramkan jiwa.

"Ngapain pose kayak kucing kejepit?" kata seseorang yang datang.

Cilla sangat hafal, suara berat itu. Suara yang seakan merusak sebuah rasa indah yang tercipta. Suara yang seakan sebuah terompet perang yang menghancurkan kedamaian.

"Heh, kopi!" ujar pemuda itu lagi sebab tak mendapatkan respon.

"Ya Allah, kenapa selalu saja ada perusuh di hidupku?"

Siapa pemuda itu? Siapa lagi makhluk yang memanggil gadis manis itu dengan sebutan kopi? Ya, tentu Bastian. Pemuda itu turun dari sepedanya segera menghampiri Cilla. Tangannya mengacak rambut gadis itu yang tengah memejamkan mata.

"Agggghhhh, biang kerok!" teriak Cilla dengan menepis tangan kekar pria itu.

"Kamu bilang aku perusuh?"

"Yah emang kan perusuh? Biang kerok!"

Dan sekali lagi Tian mengacak rambut Cilla yang sudah setengah berantakan.

"Ah, udah dong! Kamu jahat!" ujar Cilla.

Tian akhirnya berhenti dan beralih duduk menatap matahari  tenggelam di sana. Sedang Cilla melepas ikatan rambut yang sudah berantakan itu. Gadis itu sibuk membenarkan ikatan rambutnya kembali. Untunglah suasana indah  dengan hembusan angin lembut yang menyejukkan. Sehingga meredam rasa kesal Cilla pada pemuda itu. Tanpa kata terucap, mereka diam sambil menikmati indahnya matahari tenggelam berangsur berganti dengan gelap. Suara adzan Maghrib bersahutan. Cilla berdiri kemudian mengambil sepedanya berwarna merah muda itu. Diikuti Tian juga bergegas membawa sepedanya. Jika mereka saling diam seperti ini, orang akan mengira mereka adalah teman baik yang rukun. Namun, sekali saja kalimat yang keluar dari salah satu dari mereka maka dunia akan berkata lain. Berdebat dan selalu saling  mengejek. Entahlah, mereka tak pernah akur dalam setiap kesempatan.

Sesampainya di rumah Tian menyalakan lampu yang tak biasanya masih belum menyala.

"Assalamualaikum, Eyang..." sapa Tian.

Adzan Maghrib sudah berkumandang, tetapi sang nenek tak terlihat. Biasanya mereka akan salat berjamaah. Tian ingin meminta sang nenek menunggunya. Kaki panjang pemuda itu menuju kamar utama di mana sang nenek berada. Pemuda itu lantas membuka pintu berbahan jati yang terukir khas ini.

Klek

Suara handel pintu ditekan dan segera terbuka.

Mata Tian membola ketika melihat sang nenek tertelungkup di lantai.

"Eyang!" seru Tian lantas menggendong tubuh wanita tua itu.

Tian berteriak memanggil Bude Arum agar membantunya.

"Bude... Tolong!" seru Bastian.

Arum yang saat itu sudah menggunakan mukena hendak pergi ke mushola berteriak histeris. Arum berlari lantas membuka pintu mobil bagian penumpang.

"Eyang kenapa, Tian?" tanya Arum yang sudah berderai air mata.

"Kita ke rumah sakit, Bude! Tian gak tau kenapa. Tian pulang nemuin Eyang sudah begini," jawab Tian setelah memasukkan sang nenek di kursi penumpang.

Pemuda itu bergegas masuk kembali mengambil kunci mobil yang ada di ruang televisi.

"Vika...!" teriak Arum.

Rumah Arum yang berada persis di samping rumah ini membuat suaranya segera didengar sang putri. Vika sepupu Bastian itu keluar dan segera mendekat.

"Bu, kenapa? Ada apa?" tanya Vika melihat sang ibu berderai air mata.

"Cepat buka pagarnya, Vika! Mas Tian sama ibu mau ke rumah sakit!"

Vika lantas ke pagar membuka pintu itu selebar-lebarnya. Segera mobil hitam itu keluar dari rumah. Tetangga yang hendak pergi ke mushola berdatangan. Mereka mendengar teriakan Arum dan ingin tahu apa yang terjadi. Termasuk ayah dari Cilla, Pak Ali.

"Apa yang terjadi, Vika?" tanya Ali.

"Eyang sakit, aku juga tak tahu. Ibu hanya menangis tidak menjawab pertanyaan aku, Pakde." jawab Vika dengan gemetar.

Sedangkan Maura ibu dari Cilla datang dengan segelas air putih.

"Minum dulu, Vika!" titah Maura mengantarkan gelas berisi air putih itu.

Beberapa tetangga yang datang berangsur bubar sebab iqamah terdengar. Mereka bergegas menuju musholla. Tinggallah Maura dan Ali menemani Vika. Dibandingkan tetangga yang lain, keluarga Cilla sangat dekat dengan mereka. Bahkan mereka sudah seperti keluarga.

***

"Randi, maafkan aku. Tetapi, ibu dan bapak meminta agar kita putus saja. Aku menyayangimu, Randi." kata Cilla.

Suasana remang-remang sensasi warna hitam putih memberikan suasana lain saat itu.

"Dill, aku sudah meminta mama sama papa untuk meng-khitbah kamu. Namun, mereka ingin aku lulus dan mendapat pekerjaan lebih dahulu. Please, jangan putuskan hubungan kita," kata Randi memohon.

Cilla harus menuruti apa yang diinginkan kedua orangtuanya sehingga tak bisa mempertahankan hubungan mereka lebih lama.

"Bapak bilang, jika kita tetap berteman sampai kamu bisa menikahi aku, Randi. Kita hanya memutuskan untuk tidak berpacaran saja."

"Tidak, aku gak mau, Dil. Aku gak mau!" tolak Randi.

Tangan pria itu hendak menggapai tangan Cilla. Namun, gadis itu menghindar.

"Bersabarlah Dilla, sedikit saja. Jangan lakukan ini padaku!" pinta pemuda itu.

"Randi!" seru Cilla bangun dari tidurnya.

Gadis itu terbangun dari tidur. Bahkan ia masih menggunakan mukenah saat ini. Mata bulat itu memandang jam yang ada di dinding. Pukul 03.10 jam yang tertera di sana. Air matanya turun membasahi pipi. Ia melepas mukenanya dan bergegas ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya. Dan segera mengambil air wudhu. Rumah sangat sepi sebab kedua orangtuanya sedang di rumah sakit menemani Eyang Adjeng yang dirawat di sana.

Cilla menunaikan salat tahajud. Ia memang usai salat istikharah sebelumnya hingga ia tertidur di lantai di atas sajadahnya.

"Ya Allah, jika Randi jodohku maka biarkanlah kami segera bersatu sesuai yang diminta oleh kedua orangtuaku. Akan tetapi bila dia bukanlah jodohku, maka dengan jalanmu hamba meminta kebaikan dan kekuatan hati agar mampu menerima takdir yang Engkau gariskan."

Doa itu menjadi kekuatan untuk Cilla. Diminta untuk memutuskan hubungan dengan kekasihnya membuat Cilla sangat sedih akhir-akhir ini. Sedang ia belum bertemu dengan Randi yang sedang dinas koas di kota lain sehingga ia belum menemui kekasihnya itu.

Hatinya lebih tenang saat menangis usai ia berdoa. Ada kelegaan tersendiri tetapi, belum sepenuhnya tenang. Cilla akhirnya bisa tidur lagi meskipun hanya satu jam setelahnya ia menunaikan salat subuh.

Sedang di rumah sakit pagi itu, Bastian duduk di samping sang nenek yang masih memejamkan mata. Sakit wanita itu kambuh lagi.  Suara tetesan infus memenuhi ruangan ditemani denting jam yang seakan membuat Bastian tak mampu sekedar berpaling dari sang nenek. Sakit apakah Eyang Adjeng? Bagaimana kondisinya hingga belum juga siuman?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Nenek Adjeng koma kah
goodnovel comment avatar
Gayuh
khitbah itu apa sih?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status