“Sudah, Bu, aku tidak mau lagi sama Revan. Dia tidak menginginkanku, bahkan dia malah mempermalukanku,” seloroh Angel pada Selin. Perempuan itu datang ke rumah Selin hanya untuk uring-uringan. “Bu, aku sudah melakukan banyak cara untuk menunjukkan kalau aku tulus sama dia, tapi dia tetap memilih wanita dengan keluarga berpenyakitan itu,” tambah Angel. “Kamu jangan menyerah dong, Angel. Kamu lebih cantik, lebih baik, dan lebih segalanya dari Dara. Ibu yakin suatu saat Revan akan mau sama kamu,” ujar Selin. Angel menjatuhkan tubuhnya di sofa saking kesalnya, dia sudah menjatuhkan harga dirinya di depan Revan, tetapi Revan tetap tidak meliriknya. Angel sendiri merasa kalau dirinya jauh lebih cantik dari Dara, entah bagaimana mata Revan melihatnya sampai mengabaikannya. “Angel, Revan itu sebenarnya baik. Maka itu dia kasihan melihat Dara yang mengurus dua orang sakit, dia pikir dengan menikahinya bisa membantu Dara, sampai-sampai dia tidak peduli kalau menikah itu atas dasar cinta. Di
Nyatanya keapesan Devano belum berakhir setelah tadi mabuk-mabukan naik angkutan umum, kini cowok itu harus jalan kaki lumayan jauh. Devano melompati genangan air karena takut celananya kotor. “Risya, sebenarnya kamu mau kemana sih?” tanya Devano bersungut-sungut. “Membawamu ke neraka jahanam,” jawab Risya. “Jangan ngeri-ngeri, Risya. Kita belum menikah,” ujar Devano. Risya menghentikan langkahnya mendadak membuat Devano juga berhenti mendadak sampai menubruk tubuh Risya. Untung saja Risya bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Aku tidak mau menikah denganmu, dan kemana pun aku pergi tolong jangan ikuti aku!” pinta Risya. “Aku diam saja deh, yang penting bisa mengikutimu,” ujar Devano yang kukuh mau mengikuti Risya. Risya menghentakkan kakinya kesal, bagi Risya Ibunya sangat egois karena mengambil keputusan sepihak menjodohkannya dengan Devano padahal dia tidak suka dengan cowok itu. Devano terus mengikuti Risya meski dirinya memaki-maki dalam hati. Hingga mereka sampai di rumah
Revan sangat senang mendapat pesan dari Dara, hal yang membahagiakan bagi Revan adalah ketika rasa sukanya dibalas. Revan sudah mandi di rumah sakit, kini pria itu memakai kemeja barunya dan mematut dirinya di cermin, pun dengan dia yang menata rambutnya berkali-kali, padahal dalam keadaan apapun pria itu cukup tampan. “Ekhem.” Suara deheman membuat Revan menatap ke sumber suara. Arhan yang sejak tadi duduk tidak jauh darinya sudah tidak dianggap Revan, tetapi cowok itu malah caper. “Dokter Arhan sudah waktunya pulang?” tanya Revan yang akhirnya tanya. “Iya,” jawab Arhan. “Sekalian bareng saya pulang mau? Kayaknya kita searah, soalnya saya mau ke rumah Dara juga,” ujar Revan membuat Arhan segera berdiri. “Ke rumah Dara?” tanya Arhan. “Iya, ke rumah calon istri. Oh iya, saya lupa memberi undangan pada Dokter. Ini undangannya,” ucap Revan mengambil undangan di tasnya dan memberikan pada Arhan. Arhan menerima undangan itu dengan tangan yang bergetar, dia sudah lama menginginkan Dar
Malam ini Revan merenung di kamarnya yang ada di rumah ibunya, besok dirinya akan menikah dan ibunya memaksanya datang ke sini. Banyak pikiran yang berkecamuk di otak Revan. Perasaannya mendadak tidak enak karena takut pernikahan besok akan gagal mengingat ibunya tidak setuju dengan Dara. Revan sudah lama menyukai perempuan itu, andai Dara mudah diajak kerja sama sejak lama, Revan juga tidak akan melecehkan perempuan itu. Namun, Revan tidak peduli, mau bagaimana cara dia menikah dengan Dara, yang penting dia bersama perempuan itu. “Revan, keluar sebentar!” pinta Selin membuat Revan tersentak. Revan segera berdiri dan menuju pintu kamarnya, saat pria itu membukanya, ia melihat Selin yang menatapnya dengan lekat. “Ada apa?” tanya Revan. “Pikirkan sekali lagi pilihanmu!” titah Selin. “Apa yang membuat Ibu tidak yakin dengan Dara?” tanya Revan balik. “Sudah ibu bilang kalau kalian tidak setara, itu hanya membuat kamu susah nantinya, Revan. Latar pendidikan, latar keluarga sudah beda
Hari pernikahan yang Revan tunggu-tunggu pun tiba. Revan tampak menawan dengan tuxedo berwarna grey yang dia kenakan, pria itu menunggu kedatangan calon istri ke tempat pernikahan. Semalam Revan menginap di depan rumah Dara, baru jam tiga dini hari dia harus pergi karena masih ada urusan, sedangkan Dara masih berdandan di rumah karena Revan sudah mengirim beberapa orang untuk membuat istrinya tampak cantik. “Kakak, gimana perasaan Kakak? Senang kan? Atau deg-degan?” tanya Risya menghampiri Kakaknya dengan senyum sumringah yang menghiasi wajahnya. Revan hanya tersenyum tipis karena dalam hatinya pun juga sangat deg-degan. Pernikahan akan diadakan pukul sembilan pagi, tetapi sudah jam setengah sembilan Dara tidak kunjung datang. “Risya, sudah menelfon orang yang Kakak suruh mendandani Dara?” tanya Revan. “Sudah, katanya sebentar lagi,” jawab Risya. “Revan, Dara tidak akan datang. Sedangkan tamu sudah ada di sini,” ucap Selin menghampiri anaknya. Revan tidak menanggapi orang tuanya,
Pernikahan besar-besaran dilakukan Revan dengan mengundang banyak orang. Kini tamu undangan berbondong menghampiri Revan untuk memberi pria itu selamat. Pun dengan Revan yang menyambut mereka dengan senang. Sedangkan Dara celingak-celinguk untuk mencari adik dan Ayahnya karena takut keduanya hilang di antara banyaknya orang di sana. “Hei, fokus padaku saja!” titah Revan pada sang istri. “Aku takut Ayah dan adikku hilang,” jawab Dara. “Tenang saja, mereka pasti baik-baik saja,” ujar Revan. Meski Revan mengatakan demikian, tetapi Dara tidak bisa tenang karena tadi saja saat berangkat ke sini dia dihadang oleh orang suruhan Selin. Revan mengusap tangan Dara untuk menenangkan istrinya. Kalau dalam mode seperti ini, Revan dan Dara tidak seperti menikah atas perjanjian, melainkan atas dasar suka sama suka. Dokter Arhan mendekati Dara dan Revan seraya mengusung senyumnya. Ada dua pengantin di sana, tetapi yang disenyumin Arhan hanya pengantin perempuan. Saat melihat Arhan, di otak Revan
Suara tangisan anak kecil terdengar memilukan sampai wajahnya banjir air mata. Bocah itu juga mendorong-dorong tubuh Revan dengan sekuat tenaga dengan tangan mungilnya. “Huwaa … hiks hiks hiks … jangan bawa kakakku, hiks hiks … huwa … Kak Dokter jahat!” teriak Kaivan kencang seraya menangis sampai bahunya bergetar. Bocah itu meraung, merengek dan membuka lebar-lebar bibirnya untuk menangis agar Revan tidak membawa Kakaknya. “Kaivan, kita pulang dulu. Nanti ketemu lagi sama Kak Dara,” ujar Sahrul menenangkan anaknya. “Gak mau … gak mau, aku mau sama Kak Dara,” jawab Kaivan terus mendorong Revan agar tidak mendekati Kakaknya. Dara menatap adiknya dengan mata berkaca-kaca, dia pun tidak tega meninggalkan adiknya yang di rumah bersama ayahnya saja. Sejak kecil adiknya tidak merasakan punya ibu, dan sekarang saat usia adiknya masih lima tahun, dia juga menikah. Saat ini mereka masih berada di gedung pernikahan, tetapi tamu sudah pulang dan tinggallah keluarga inti. Revan “Sudah ibu bi
Pagi ini Revan dan Kaivan duduk saling berdampingan di meja makan. Tidak ada yang membuka suara sedikit pun, hanya lirikan tajam Revan pada Kaivan, pun dengan sebaliknya. Semalam Revan menurunkan paksa Kaivan di kamar bocah itu dan menguncinya dari luar, baru dibuka Revan pagi ini. Hal itu membuat Kaivan marah. “Kak Dara, meski rumah ini bagus. Lebih baik kita di rumah kita yang lama,” ucap Kaivan membuat Dara yang tengah memasak pun menoleh. Dara melihat Revan dan Kaivan saling melirik tajam. “Dimana-mana lebih enak rumah bagus,” sambar Revan. “Kak Dara, makanan apapun aku suka. Aku gak rewel. Kakak gak usah masak banyak-banyak, nanti Kakak capek,” oceh Kaivan. “Makanan apapun aku juga suka, kalau capek nanti aku pijitin. Aku yang perhatian sampai melakukan tindakan, tidak hanya perkataan saja,” sambar Revan yang tidak mau mengalah dengan Kaivan. Usia boleh beda jauh, tapi mereka berebut perhatian Dara sama-sama. “Sudahlah jangan bertengkar!” pinta Dara yang kini menata makanan