“Pergi kamu, Olivia!” pekik seorang wanita. Setelah dia menampar gadis itu cukup kerasnya. “Aku tidak akan pergi sebelum bertemu ayahku!” timpal Olivia. Olivia memberanikan dirinya untuk bicara tegas dengan ibu tirinya. Sudah beberapa hari ini dia tidak bertemu dengan ayahnya yang kecewa kepadanya. “Untuk apa kamu bertemu dengan ayahmu? Bagaimanapun, dia tidak akan percaya dengan perkataanmu, kamu tahu!?” timpal sang ibu tiri. Sembari tersenyum kecut. “Semua ini kamu yang rencanakan, bukan?” “Tepat sekali,” jawab sang ibu tiri. “Dasar wanita picik! Aku tahu kau hanya akan memanfaatkan ayahku!” Olivia tak bisa menahan gejolak amarahnya lagi. Sebelumnya, ayahnya masuk ke rumah sakit karena meminum gelas Miranda, wanita yang sekarang menjadi ibu tiri Olivia, saat makan siang. Semua itu terjadi karena racun yang ada di dalam minuman Miranda. Saat sang ayah siuman, Miranda langsung berkata jika semua ini pasti salah Olivia. Sebab selama ini mereka berdua selalu bertengkar karena
Secara refleks Olivia berdiri dari kursi. Matanya tertuju pada pria berusia empat puluh tahunan yang sedang berjalan ke arahnya. Wajahnya terlihat dingin. Sorot matanya begitu tajam. Seperti seekor binatang buas yang sedang mengincar mangsanya. “Siapa kamu?” tanya Olivia. Aura pria itu semakin menekannya dan muncul senyum samar darinya. Olivia mengepalkan kedua tangannya untuk tidak memperlihatkan jika dirinya tidak takut. “Jangan mendekat!” ucap Olivia. Dia semakin merasa tekanan dari pria itu. Hingga dia kembali terduduk di atas kursi. Dia melihat pria itu menyeringai. Pria itu menyimpan kedua tangannya di sisi kursi. Membuat Olivia merasa tertekan. “Siapa kamu? Apa aku berbuat kesalahan padamu?” tanya Olivia. Suaranya sedikit bergetar. Namun, dia masih bisa memperlihatkan keberaniannya. “Begitu sulit untuk membawamu ke sini,” ucap pria itu. Dengan nada dingin. “Siapa kamu? Apa maumu?” “Kamu ingin balas dendam?” jawab pria itu dengan nada dingin. “Pada siapa? Padamu?
Olivia berhasil ke luar dari sekapan Nolan. Dia terus memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Di dalam benaknya saat ini adalah galeri peninggalan ibunya. Dia pun langsung menuju ke sana. Dia melihat ke belakang. Ada dua mobil yang mengikutinya dan dia yakin jika mereka adalah para pengawal Nolan. Dia pun menambahkan kecepatan motornya hingga melesat menjauh dari mereka. “Tidak semudah itu kalian bisa menangkapku,” gumam Olivia. Dengan mudahnya dia berhasil melepaskan diri dari pengejaran mereka. Dia masuk ke sebuah lorong bawah jembatan. Dia berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya lagi. “Aku rasa sudah aman.” Olivia pun kembali menjalankan motornya. Berselang tidak begitu lama dia sudah hampir dekat dengan galeri miliknya. Tidak jauh dari sana dia melihat kepulan asap di atas langit. Dia juga melihat ada beberapa mobil pemadam kebakaran yang sedang melaju ke arah kepulan asap itu. “Tidak. Ini tidak mungkin,” gumam Olivia. Dia menarik pedal gas motor
“Aku ingin galeri ibuku kembali seperti semula,” Olivia menjawab. Olivia pun menambahkan beberapa poin yang baru terpikirkan olehnya. Menurutnya semua itu bisa lebih menguntungkan dan bisa melindunginya. Dia menatap pria yang ada di depannya. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Nolan dengan semua keinginan yang harus dipenuhi. “Baiklah. Aku setuju dengan keinginanmu. Untuk galerimu dalam satu bulan ke depan kamu akan melihatnya seperti semula.” Hanya itu yang diinginkan saat ini. Meski dia tahu jika lukisan terakhir sang ibu tidak bisa terselamatkan. Dia pun membubuhi dokumen itu dengan tanda tangannya. “Aku sudah menyiapkan sebuah apartemen untukmu,” Nolan kembali berkata. Setelah dia melihat Olivia menandatangani surat perjanjian kerja sama mereka. “Aku tidak memerlukan itu.” “Jangan menolaknya! Kamu sekarang adalah rekan bisnisku. Dan aku tidak akan membiarkan rekan bisnis pentingku menjadi gelandangan,” sambung Nolan. Olivia melihat Nolan berdiri dan meninggalka
“Lain kali buatlah hal yang wajar untuk membawaku pergi!” Olivia kembali berkata. Dengan nada kesal pada pria yang ada di sampingnya. “Apa terasa sakit?” tanya orang yang baru saja menarik masuk Olivia ke dalam mobilnya. “Tidak.” “Menangislah! Jika kamu ingin menangis,” sambung orang itu. Sembari menyentuh pipi Olivia yang memerah. “Tuan Nolan, tidak perlu mencemaskan aku.” Olivia berkata lalu menepis tangan pria itu yang menyentuh pipinya. Dia memang masih merasakan panas di pipinya tetapi rasa sakitnya tidak terasa karena kekecewaannya terhadap sang ayah. “Ian, kita pergi dari sini!” perintah Nolan pada sang asisten. Mobil pun melaju meninggalkan perusahaan. Olivia masih merasa kesal dengan yang dilakukan oleh Nolan. “Mengapa kamu ada di perusahaan ayahku? Apa kamu menyimpan pelacak di tubuhku?!” tanya Olivia. Dia penasaran bagaimana pria itu bisa tahu posisinya saat ini. “Temani aku ke pesta malam ini.” “Dalam perjanjian tidak ada kewajiban bagiku untuk menerima per
Olivia berusaha melepaskan diri. Dia menyikut perut orang yang membekapnya. Terdengar erangan kesakitan dari orang itu. Dia pun berhasil melepaskan diri dan membalikkan tubuhnya. Rasa kesalnya semakin besar saat melihat pria yang ada di depannya. Dia pun langsung menyerang pria itu. Yang tidak lain adalah Nolan. “Dengarkan penjelasanku!” ucap Nolan. Sembari menangkis atau menghindari serangan Olivia. “Kamu penipu! Aku tidak ingin mendengar penjelasan busukmu itu!” “Wanita keras kepala!” timpal Nolan dengan nada kesal. Nolan pun akhirnya berhasil menangkap tangan kanan Olivia. Sekarang dia kembali memegang tangan kiri Olivia. Dia mendorong tubuh Olivia ke belakang. Hingga menempel ke tembok. “Diam. Aku ingin bicara!” ucap Nolan. Dengan nada sedikit menekan serta menepatkan kedua tangan Olivia ke atas dan menempel ke dinding. Olivia menatap dengan kesal pria yang ada di hadapannya. Dia sungguh bodoh karena percaya padanya. Serta mau bekerja sama untuk membalas dendam pada Miran
Olivia akhirnya memejamkan kedua matanya. Setelah dia merasakan kehangatan dan rasa aman yang diberikan oleh Nolan kepadanya. Sedangkan Nolan masih terbangun, hingga akhirnya lampu kamar menyala. Dia menatap wajah Olivia yang terlihat cantik saat tertidur dan tidak terlihat mengesalkan saat terbangun. “Kamu selalu membuatku kehilangan kesabaran,” ucap Nolan. Lalu dia turun dari atas ranjang secara perlahan. Nolan ke luar dari dalam kamarnya dan langsung menuju ke ruang kerjanya. Dia sudah ada di dalam ruang kerjanya dan melihat sang asisten yang sudah menunggunya. “Apa kamu sudah mengumpulkan apa yang aku inginkan?” tanya Nolan. Pada sang asisten. “Sudah. Semuanya ada di sini.” Nolan mengambil tablet yang diberikan oleh Ian kepadanya. Dia membuka sebuah data. Di mana semua itu adalah hal yang ada kaitannya dengan bisnis yang sedang dijalankan oleh Miranda. “Bagus. Sekarang lakukan semua rencananya,” Nola kembali berkata. Setelah dia membaca semua informasi. “Baiklah.” “
Olivia terpaku. Saat dia hampir saja tertabrak oleh sebuah mobil. Untung saja mobil itu membanting setir ke arah kanan. Sehingga dirinya bisa terhindar dari kecelakaan. “Apa kamu sudah tidak waras, hah?!” bentak Nolan. Sembari memegang tangan Olivia. Olivia masih tetap diam. Dia akhirnya terkulai lemas dan terduduk di atas trotoar. Dia juga melihat ke arah mobil yang tadi hendak menabraknya sekarang menabrak sebuah pohon besar. Kilas balik sebuah kecelakaan di masa lalu kembali muncul. Dalam kecelakaan itu yang mengakibatkan ibunya kritis di rumah sakit. Dia pun kembali teringat jika saat itu ayahnya lebih memilih bersama dengan Miranda. “Semuanya salahku. Maafkan aku ibu ....” Air mata Olivia keluar. Dia sudah tidak bisa membendungnya lagi. Rasa bersalah dan kesal campur aduk di dalam hatinya. Membuat dendamnya semakin besar kepada Miranda. Nolan terdiam. Dia melihat wanita yang keras kepala dan bisa menghadapi para pengawalnya. Terlihat seperti wanita biasanya yang lemah.