"Jadilah istriku enam bulan saja," laki-laki yang duduk diatas kursi roda itu akhirnya buka suara.
Sementara Inara hanya menunduk, menunggu keputusan dari abah. Lama tak bersuara, hanya embusan nafas yang terdengar, terhanyut dalam pikirannya masing-masing.
"Maaf ini terpaksa aku lakukan agar harta papa tak jatuh ke tangan orang lain yang gila harta hanya gara-gara aku belum menikah."
Ia kembali membuka suara. Wajah tampannya seolah datar tanpa ekspresi dan juga sikapnya terkesan begitu dingin.
"Seperti yang asistenku katakan sebelumnya, saya akan menebus sawah Abah dari juragan Bani lalu melunasi hutang abah. Dan putri Abah ini takkan sengsara menjadi istri ketiganya."
Inara makin tertunduk, rasanya begitu malu. Bagaikan buah simalakama, maju salah mundur pun salah. Dan sekarang pria yang sama sekali tak dikenal sebelumnya, ia datang melamarnya tapi karena keterpaksaan. Entahlah, seolah takdir tengah mempermainkan.
*
Enam hari sebelumnya ...
"Ampun ... Ampun juragan ...! Tolong biarkan saya pulang!" ucap Inara gugup.
Sore itu, ia baru pulang dari sawah tetapi langsung dicegat oleh Juragan Bani dan dua asistennya. Pria paruh baya yang kaya raya, tapi sayangnya mata keranjang. Ia sudah punya dua istri, tapi masih suka menggoda para gadis.
"Hei, gadis manis! Kamu mau kemana? Ikutlah pulang sama Abang!" hadang Juragan Bani dengan tatapan menggoda. Ia penuh hasrat ketika melihat gadis sederhana itu.
Inara tak berkutik. Gadis berjilbab itu hanya tertunduk, terpaku di tempatnya berdiri.
"Kamu masih ingat 'kan hutang abahmu jatuh tempo hari ini? Kalau dia tak bisa membayarnya, maka kamu sebagai jaminannya!"
"Maaf, Juragan. Kami memang belum mendapatkan uangnya. Hasil panen kali ini merosot, jadi tak bisa--"
"Gak usah banyak alasan! Menikah denganku, maka hutang-hutang abahmu akan lunas! Kamu pun bisa hidup di rumah mewahku! Apa yang kau inginkan akan terkabulkan! Bukankah itu tawaran yang sepadan, Sayang?" Juragan Bani mengitari tubuh Inara sambil menyeringai.
Inara makin gugup dan takut. Ia memalingkan wajahnya saat tangan Juragan Bani hendak menyentuhnya.
"Ampun, Juragan. Tolong jangan sentuh saya!"
"Hei Inara yang manis, janganlah sok jual mahal. Ayo pulang bersama Abang!"
Inara menggeleng cepat. Tapi Juragan Bani memberi kode kepada anak buahnya untuk menyeret Inara pulang bersamanya.
"Gak! Saya gak mau!" Gadis itu meronta, tapi tangan kekar anak buahnya tak bisa membuatnya berkutik.
Inara diseret oleh anak buah Juragan Bani. Abah yang melihatnya segera berlarian dari tengah sawah menuju putrinya.
"Juragan! Ampun Juragan! Tolong lepaskan putri saya!" Dengan nafas tersengal-sengal abah meminta ampun pada pria tua yang angkuh itu.
"Tidak ada ampun lagi! Putrimu akan kujadikan istri ketigaku, seperti kesepakatan sebelumnya! Hari ini hari terakhir jatuh tempo, tapi kau tidak bisa membayarnya!" Juragan Bani mulai murka. Ia bosan dijanji-janjikan terus oleh orang miskin ini!
Bani seorang juragan, bisnisnya bermacam-macam, bahkan ia menjadi orang paling kaya di desanya. Selain berbisnis, ia pun menjadi rentenir kejam, meminjamkan uang untuk orang-orang yang membutuhkan dengan bunga yang tinggi.
"Maaf, Juragan. Tolong bebaskan putri saya. Dia tak bersalah dalam hal ini, semua ini tanggung jawab saya!"
"Gak usah banyak omong! Pardi, bereskan orang miskin itu! Berikan dia pelajaran!" tukas Juragan Bani ketus.
"Baik, Bos."
Salah seorang anak buahnya yang bernama Pardi segera memukuli Abah tanpa ampun. Sementara yang lain masih memegangi Inara dengan kuat.
"Tidak! Abaaah, Abaaah ...!" Inara menjerit menangis menyaksikan ayahnya dipukuli hingga babak belur, sedangkan ia tak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba seorang pria berjas hitam itu langsung menghajar Pardi. Semuanya terperanjat kaget saat melihat kedatangan pria asing itu.
Somad ikut menghajarnya karena melihat Pardi kewalahan. Sementara Inara mempergunakan waktu yang singkat ini untuk menolong abahnya.
"Beraninya kalian menindas mereka?!" pekik pria asing itu sembari membenarkan jas yang dikenakannya.
Pardi dan Somad hanya menyeringai kesakitan. Tenaganya tak bisa dibandingkan dengan pria itu yang terlatih dalam hal bela diri.
"Hei, kau orang asing! Jangan pernah ikut campur urusan kami!"
"Kalian sudah menghalangi jalan bos saya, sudah tentu ini menjadi urusan saya!" teriak pria itu lagi.
Tak jauh dari tempat kejadian, sebuah mobil sport mewah warna hitam metalic tengah bertengger manis di jalan.
"Pardi, Somad, tak usah dengarkan orang gila ini! Bawa kembali Inara ke rumah! Pisahkan dia dengan abahnya!
Sebelum dua pria itu kembali menyandera Inara, pria asing itu menghalanginya.
"Lepaskan mereka! Kalian tidak bisa bersikap semena-mena!"
"Hei, pria asing! Mereka punya utang sama saya. Putrinya dijadikan jaminan karena dia gak bisa bayar!"
Pria asing itu tetap menggelengkan kepalanya. "Saya sudah merekam aksi kejahatan kalian! Tinggal laporkan ke polisi, beres bukan?" Pria itu menyeringai sembari menunjukkan video di ponselnya.
Pardi dan Somad saling berpandangan. "Bos juragan, kami gak mau ditangkap Bos! Anak dan istri saya mau makan apa nanti, Bos!" celetuknya panik.
Juragan Bani menepuk dahinya pelan, melihat tingkah kedua anak buahnya yang takut akan ancaman itu.
"Oke, kali ini kalian kuampuni! Kuberikan waktu 6 hari lagi, kalian harus melunasi hutang-hutangnya! Tapi bila sampai 6 hari dan kalian gak bisa bayar, maka tiada ampun bagi kalian! Jangan harap aku akan mengasihani kalian lagi!" tukas Juragan Bani kemudian berlalu begitu saja.
Inara memapah abahnya untuk bangkit. "Terima kasih, Tuan. Sudah membantu kami."
Pria asing itu mengangguk dan langsung kembali ke mobilnya.
"Kenapa membereskan itu saja kau lama sekali, Ettan!"
"Maaf Tuan."
"Cari tahu tentang mereka dan berikan tawaran yang menarik untuknya," sahut pria yang duduk di jok belakang dengan nada dingin.
"Maksud, Tuan?"
"Apa perlu kuulangi lagi?"
"Ti-tidak, Tuan. Saya paham. Saya akan mengikuti mereka," sahut pria bernama Ettan.
Ettan tak percaya kalau bosnya tertarik dengan gadis itu. Selama dua minggu lamanya untuk mencari calon istri, dari pergi ke klub hingga mendatangi perkumpulan wanita cantik, tapi tak ada sedikitpun yang bisa membuat hatinya tergerak. Tapi ini, hanya melihatnya di pinggir jalan saat gadis itu ditindas membuat hatinya yang dingin ikut tersentuh.
Tanpa menunggu waktu lama, mobil sport itu melaju pelan mengikuti Inara dan abahnya yang sudah melangkah lebih jauh.
Sebuah rumah kecil berdindingkan pagar anyaman bambu, membuat pria yang duduk di belakang itu tertegun.
"Ettan, kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan?"
"Iya, Tuan." Ettan turun dari mobil dan melangkah maju.
Sementara di dalam sana, Inara tengah menangis sembari mengompres luka lebam ayahnya dengan air hangat.
"Gimana, Abah? Inara gak rela kalau harus jadi istri ketiga Juragan Bani. Tapi mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat rasanya juga mustahil." Gadis itu mengeluh, nampaknya putus asa.
"Saya bisa membantu kalian!" timpal pria yang menolongnya tadi. Dia tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya membuat anak dan ayah itu saling berpandangan.
"Tu-tuan? Tuan ada apa perlu kesini?"
"Saya bisa membantu masalah kalian, melunasi hutang kalian. Tapi dengan satu syarat."
"Sya-rat?" Inara dengan gugup bertanya padanya.
"Ya, menikahlah dengan Tuan Muda kami."
"Hah? Me-menikah?"
"Hah? Me-menikah?" Ettan mengangguk serius. "Maaf, mungkin ini terkesan mendadak dan tidak masuk akal. Boleh saya duduk? Biar saya jelaskan dulu," ucap Ettan tegas. "Iya, iya, silahkan duduk, Tuan," sahut abah. "Begini Abah--" "Panggil saja Abah Suma. Dan ini putri saya, Inara." Pria berjas hitam itu mengangguk memberi hormat. "Saya Ettan, sopir sekaligus asisten pribadi Tuan Muda. Jadi begini, Tuan Muda kami bernama Harshil Arsyanendra, salah satu pewaris utama Danendra Group. Saat ini Tuan Harshil sedang mencari wanita yang bersedia menjadi istrinya. Kondisi Tuan Harshil yang tidak sempurna membuat beberapa orang ingin menjatuhkannya, karena dianggap tidak layak untuk memimpin sebuah perusahaan." "Maksud Tuan? Maaf, saya ini orang kampung masih awam dengan hal yang begituan, jadi tidak tahu apa hubungannya memimpin perusah
Dasar gadis ini sok jual mahal! Membuat kesabaranku habis saja!"pekik Juragan Bani murka. "Tahan emosi Anda, Tuan Bani!!" Ettan mencegah Juragan Bani yang hendak menyakiti gadis itu. Inara terperanjat kaget. "Bagaimana Inara, kau memilihnya atau memilihku?" tukas Harshil, membuat konsentrasinya terpecah. Inara memandang abahnya, kedua netranya tampak berkaca-kaca. "Bagaimana, Bah?" bisik Inara di telinga sang abah. "Nak, jawablah sesuai yang ada di hatimu. Abah akan mendukungnya. Abah selalu berdoa kebaikan untukmu." Inara mengangguk. "Baik, Tuan. Saya bersedia menikah dengan Anda. Tapi jangan tuntut saya," sahut Inara gugup dan tertekan. Entah apa yang terjadi nanti, akan ia pikirkan belakangan. Untuk sementara ini dia hanya ingin terlepas dari jerat Juragan Bani yang mencekiknya dengan alasan utang. Harshil tersenyum simpul. "Hei Inara! Kau tak bisa menikah dengannya! Abahmu mas
"Bah, bukankah ini sangat berlebihan? Kenapa dia kirim barang sebanyak ini? Padahal tadi uangnya sudah habis banyak buat bayarin hutang kita." Abah tersenyum. "Terima saja, ini hadiah dari calon suamimu." Inara pun mengangguk walaupun terasa berat di hati. Gadis itu berlalu ke kamarnya sembari membawa tas-tas belanja itu. Ia membongkarnya satu persatu. Beberapa helai baju yang cantik dengan bahan yang begitu lembut tersedia di hadapannya. "Pasti barang-barang ini mahal harganya!" gumam Inara sendiri. Ia beralih untuk mencobanya, gamis brokat tile, warna dusty pink, terlihat begitu elegan. Ada pula gamis berwarna abu-abu dengan hijab warna senada. Lalu gamis dengan warna coklat susu yang bagian bawahnya rumbai-rumbai. *** Keesokan harinya, Inara sudah bersiap-siap. Gamis dan hijab warna abu-abu membalutnya saat ini. Kemarin Ettan bilang akan menjemputnya tepat jam delapan pagi. Dan dia harus memakai salah satu gamis pembe
"Ahahahah ... Baru kali ini Tuan Harshil memuji seorang wanita. Kalian benar-benar serasi ya, cantik dan ganteng," sahut Susan yang ikut gembira melihat pasangan ini. "Ehemm! Baiklah, pilihkan juga jas untukku yang sesuai dengannya!" "Siap, Pak Bos! Kapan sih kalian akan menikah? Aku jadi tak sabar ingin hadir di acara pernikahan kalian!" "Aku akan kirim undangan untukmu. Siap-siap saja bawa hadiah yang istimewa." "Hahahaha, beres Tuan Harshil." "Ya sudah, aku sudah cukup puas melihatnya, bungkus gaun ini untuknya. Nanti kau kirim ke apartemenku ya." "Oke, Bos." Susan tersenyum, baru kali ini Harshil membuka diri. Sejak kecelakaan setahun silam, dia memang menutup diri dari siapapun. Inara kembali berganti pakaian di ruang ganti. "Kau sungguh beruntung, Inara. Tuan Harshil terlihat sangat menyayangimu. Kamu gak akan menyesal, dia adalah orang yang sangat baik." Inara mengangguk
"Harshil, tunggu! Kita belum selesai bicara!" tukas Chelsie. "Siapa gadis kampungan yang bersamamu ini?" lanjutnya sembari menatap Inara dengan tatapan sinis. "Kenapa? Apa pedulimu?" tanya Harshil dingin. "Sayang, kata Harshil dia itu calon istrinya. Kasihan banget ya, harus jadi pengantin dari pria yang lumpuh!" Erick berkata sambil menyeringai. Sementara Chelsie terus memandang Inara dengan tatapan tak suka. "Serius, Harshil? Apa kau sudah tak punya mata lagi sehingga memilih gadis kampungan itu untuk menjadi istrimu?" pertanyaan menohok kembali dilontarkan oleh Chelsie. Mendengar hinaan dari wanita seksi itu, Inara tertunduk dalam. Dia memang kampungan, tidak pantas untuk bersanding dengan Harshil. Kalau bukan karena hutang itu, pasti saat ini Inara pun tidak bersedia. "Kenapa? Walaupun kampungan, dia justru lebih baik darimu!" ketus Harshil. Ia menoleh ke arah Inara yang raut wajahnya menjadi sedih. "Sayang, ay
"Bagaimana denganmu, Inara?" "Saya juga serius, Kek. Mas Harshil sangat baik padaku jadi--," ujar Inara menutupi rasa gugupnya. "Hahahaha ... Panggilannya lucu sekali. Mas katanya, hahahaha." Seseorang tertawa mengejek, mendengar jawaban dari gadis yang polos itu. "Benarkah? Apa ada tekanan dari Harshil agar kau mengatakan itu semua?" Kakek menengahi. Inara menggeleng pelan. "Tidak, Kek." "Kakek, jangan percaya! Harshil pasti sudah membayar gadis itu, supaya sandiwaranya tidak terbongkar. Tidak mungkin kan dia menemukan calon istrinya secepat ini?" "Rahasia jodoh, tidak ada yang tahu kan, Tante Ros?" sahut Harshil sambil tersenyum. "Coba kenalkan pada kami, siapa namanya? Dari kalangan keluarga mana? Latar belakangnya seperti apa? Siapa ayahnya? Bisnisnya apa? Apa yang dia miliki sampai-sampai ingin menikah denganmu?" Tante Rosa mulai bersuara kembali disertai anggukan yang lain. "Betul, harusnya kau cari
Sesampainya di rumah kecil itu Inara yang hendak turun dari mobil, dicegah oleh Harshil." "Inara, berikan kartu identitasmu," ucap Harshil memecah kebisuan. "Buat apa, Tuan?" Harshil menghela nafasnya dalam-dalam. "Buat daftar pernikahan di KUA. Gak cuma identitasku saja, tetapi mereka juga butuh identitas calon mempelai wanitanya." "Ah iya, ini," ujar Inara sembari menyerahkannya pada Harshil. "Ettan, tolong kau urus semuanya ya!" "Siap, Tuan." "Aku ingin dua minggu lagi, pernikahan bisa dilaksanakan." "Baik, Tuan." "Ya sudah kau boleh turun, Inara. Maafkan atas perlakuan keluargaku padamu. Aku akan mengatasi hap ini. Tenang saja, pernikahan ini akan tetap berjalan lancar. Untuk dua minggu ke depan aku tak bisa menemuimu. Kita akan langsung bertemu di lokasi pernikahan." "Hah? Tapi kenapa?" "Ada banyak hal yang perlu kuurus. Kau gak usah banyak pikiran, makan makanan yang
"Ayo Non Inara, kita pergi sekarang!" tukasnya sedikit memaksa."Anda ini siapa ya?" tanya gadis itu. Gadis yang sudah bersusah payah berdandan sendiri demi memperbaiki penampilannya di hadapan calon suami."Saya yang menggantikan Ettan untuk menjemput Anda, Nona. Tuan Harshil yang mengutus saya," sahut pria itu lagi."Memangnya kenapa dengan Ettan?" Ragu, Inara bertanya. Dia tak pernah melihat Harshil mengutus orang lain selain Ettan."Ada musibah yang menimpa Ettan, jadi dia tak bisa menjemput Anda, Nona. Masuklah sekarang ke mobil, Tuan Harshil sudah menunggu Anda."Inara terdiam sejenak."Maaf Nona, mungkin anda meragukan saya. Tapi saya benar-benar diutus sama Tuan Harshil. Ini saya ada surat kuasa dari Tuan," ujarnya sembari menyerahkan lembaran kertas itu."Biar saya telepon Tuan Harshil dulu," sahut Inara."Silahkan, Nona. Tapi sepertinya Tuan Harshil sedang sibuk."Inara mer