"Aku juga ingin menjadi baik seperti kamu. Selama ini kamu yang sudah mengajarkan banyak hal, termasuk tentang keikhlasan. Aku jadi makin jatuh cinta padamu, Inara."
Inara hanya mengangguk saja. Kepalanya memang benar-benar terasa penat.
Mereka salat subuh berjamaah. Saat Inara hendak melipat dan menggantung kembali mukena itu, tiba-tiba ia lunglai, tubuhnya merosot, seketika Harshil meraihnya dalam dekapan.
"Astaghfirullah Inara ...!" pekik Harshil panik.
Ia langsung membopong tubuh sang istri kembali ke tempat tidur.
"Inara! Inara!" panggilnya. Diperiksanya berulang kali kening sang istri. Panas, sementara tangan dan kakinya begitu dingin.
"Kamu kenapa, Sayang? Bangunlah, jangan sakit!" Cemas dalam nada bicaranya. Ia menyelimuti tubuh sang istri dengan selimut seadanya. Diciuminya berkali-kali kening dan pipinya. Harshil mengompres kening Inara, memijat kakinya yang terasa dingin. Mengambil minyak kayu putih
Pramudya menelepon seseorang anak buahnya yang lihai menjadi penguntit."Hallo, kau ikuti kemanapun Ettan pergi. Beritahu aku laporannya.""Baik, Bos. Selain itu apa yang harus saya oakukan?" sahut suara di seberang telepon."Ikuti saja dan laporkan perkembangannya. Saya akan berikan perintah menyusul.""Siap, bereees bos!"***Mobil yang dikendarai Andre sudah berbelok ke halaman rumah besar nan megah itu. Mereka semua turun. Sementara Ettan mengikuti langkah Sandra."Wah, Ettan kembali, dimana Harshil?" tanya Diandra."Diandra, jangan ganggu Ettan. Biar dia ikut Tante," pungkas Sandra."Ish ish, sok berkuasa banget sih! Aku kan cuma ingin tahu kondisi Harshil gimana!" gerutu Diandra kesal.Ettan mengikuti langkah Sandra. "Ini kunci mobilnya, kamu bawa Harshil ke
Harshil menghela nafas dalam-dalam. "Kamu istirahat saja. Akan kupikirkan malam ini."Inara mengangguk pelan. Entah kenapa hari ini dia benar-benar merasa lemas sekali, padahal tadi dia sudah meminum obat dari dokter."Mas, ini sudah sore. Maaf kalau aku menyuruhmu, tolong mandiin Savrina ya Mas."Harshil melirik bayi yang berada di samping Inara. Kalau saja dia anak kandungnya, pasti sudah ia rawat dengan sepenuh hati."Iya, aku rebuskan air hangat dulu. Kamu mau mandi juga Inara? Biar kumandikan."Mata Inara membulat, ia beranjak duduk. Harshil justru tertawa melihat ekspresi istrinya."Ih kamu ini apaan sih, Mas. Bikin aku---"Ucapan Inara terhenti seketika saat Harshil mengecup pipinya."Wajahmu merah, Inara. Pasti karena kamu sedang demam," bisiknya lirih. Inara sedikit memalingkan wajah, tersipu malu.Mendapati ada yang tak beres juga dengan debaran jantungnya, Harshil akhirnya bangkit. Ia tampak sala
Pandangan mereka saling bertaut. Pemilik mata beriris coklat itu tampak berkaca-kaca ketika mendengar ucapan lelaki yang ada di hadapannya itu. Untuk sesaat, Inara seperti tersihir oleh kata-katanya."Maaf atas kesalahanku dulu. Aku yang salah, kupikir aku takkan pernah jatuh cinta padamu. Tapi nyatanya Allah sang pembolak-balik hati, hanya beberapa hari bersamamu saja sudah membuat jantungku ini berdebar-debar. Apalagi sekarang, aku telah jatuh pada pesonamu, Inara. Kau satu-satunya wanita yang mampu menggetarkan hati ini. Mampu bertahan di saat aku terpuruk, padahal kita baru saling mengenal. Bahkan kau yang sudah menjadi penyemangatku untuk sembuh dan melanjutkan hidup. Kau wanita yang sangat manis dan juga lembut, aku suka semuanya yang ada dalam dirimu."Harshil meraih kedua tangan Inara, lalu dikecupnya bergantian. Tanpa terasa butiran bening menitik dari pelupuk mata Inara.Harshil mengusapnya perlahan. "Maaf, aku justru membuatmu kesu
"Langsung ke apartemen saja.""Mas, kita belum pamit sama pemilik kontrakan," ujar Inara."Sudah.""Kapan?""Semalam, waktu kamu tidur.""Terus?""Ya, bilang tidak apa-apa. Kuncinya suruh ditaruh di ventilasi atas pintu. Nanti siang paling bapak itu mengecek kesini.""Alat masaknya ditinggal, Mas?""Ditinggal aja, buat apa. Apartemenku sudah lengkap. Kamu bisa memasak sepuasnya."Sebuah senyuman merekah dari bibir Inara."Kita langsung berangkat, Tuan?""Ya, Ettan."Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali Ettan melirik ke arah spion melihat hubungan majikannya yang tampak makin dekat. Dia melihat senyuman lepas di wajah tuan mudanya, tanpa beban. Bercengkrama dan bergantian menggendong bayi itu. Tak banyak kata, ia hanya menikmati keharmonisan mereka."Tuan, sepertinya ada yang mengikuti kita," tukas Ettan saat menyadari ada mobil lain yang terus mengikutinya.Harsh
"Tapi Mas, kartu kredit itu bukankah milik Ettan?""Hahaha, tenang saja aku akan menggantinya nanti. Kau tidak usah pikirkan hal ini."Inara mengangguk."Ambil sekalian yang banyak buat satu minggu ke depan. Apartemenku jauh dari pasar jadi kamu harus pintar-pintar mengolah bahan makanan biar gak kehabisan nanti," pungkas Harshil."Iya, Mas." Inara mengambil semua kebutuhan pokok. Beras, minyak, telor, mie instan, kecap, susu formula dan diapers untuk Savrina dan beberapa bahan pokok yang lain."Setelah aku kembali aktif bekerja mungkin waktuku bersamamu akan sedikit berkurang. Jadi pilihlah semua yang menurutmu kita butuhkan. termasuk sayur-sayuran dan buah-buahan."Inara mengangguk."Inara, ambil kepiting dan ikan-ikanan juga. Aku mau nanti kamu masak kepiting atau makanan seafood yang lain.""Iya Mas.""Ayam juga jangan lupa.""Siap.""Sayurannya sudah dilengkapi?""Sudah?""Untuk bum
Inara tersenyum. Berkali-kali mendapatkan ungkapan cinta dari suaminya.Harshil membuka pintu, lalu duduk di kursi yang tersedia di balkon. Hal yang sudah sangat lama tak ia lakukan. Menikmati udara, lebih tepatnya semilir angin yang bertiup cukup kencang menerpa wajahnya.Ia memejamkan mata sejenak sembari mendekap bayi mungil itu ke dalam dadanya. Sekelebat kenangan buruk silih berganti hadir mewarnai ingatannya. Matanya terbuka dengan deru nafas yang memburu. Harshil menghela nafas dalam-dalam, mengusap wajah dengan kasar, lalu kembali memandang bayi mungil dalam dekapannya."Kenangan buruk itu tak bisa kulupakan begitu saja. Tapi hidup terus berjalan dan aku tak menyesalinya kini. Justru aku bersyukur bisa bertemu dengan Inara, bidadariku, penyemangatku. Aku harus melindunginya dan tak boleh menyerah dengan keadaan."Sementara di dalam, Inara membersihkan salah satu kamar yang akan ditempatinya nanti. Mengelap meja dan lemari dengan kain b
"Carikan bodyguard khusus buat Inara. Aku tak ingin terjadi sesuatu bila Inara ditinggal di sini sendirian. Tapi ingat, harus perempuan dan bisa bela diri.""Apa Mas, bodyguard?" Inara datang menghampiri. "Aku gak mau mas, kemana-mana harus diikutin, kayak gak bebas gitu. Emangnya aku anak kecil?" Inara duduk di samping suaminya. Raut wajahnya bertambah kesal."Tapi Inara ini demi kebaikanmu, aku gak bisa full 100% jagain kamu nanti. Banyak pekerjaan yang perlu diurus.""Pokoknya aku gak mau, Mas. Aku akan di sini saja, aku gak akan kemana-mana kecuali sama kamu.""Inara, memangnya kamu tidak bosan sendirian terus di sini? Kasihan Savrina juga. Kamu bisa berjalan-jalan dengan Savrina di taman.""Bukankah apartemen ini aman? Jadi tidak masalah kan kalau aku pergi sendiri?""Inara, kita tidak tahu kapan bahaya akan datang.""Mas, aku gak mau, aku gak setuju titik. Kalau kamu maksa mending aku pulang ke rumah abah.""Kenapa mau pu
Wajah Chelsie berubah tak suka, saat mantan kekasihnya memuja wanita lain selain dirinya, senyuman yang tadinya ramah kini berganti sinis. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya memburu, tangannya mengepal kuat. Ia tak pernah menyangka lelaki yang pernah menjadi kekasihnya itu menolaknya mentah-mentah, tanpa memberinya kesempatan lebih dahulu."Harshil, tunggu! Terserah walaupun kamu mencintai wanita udik itu. Aku siap walaupun jadi yang kedua, asalkan itu bersamamu, Harshil. Tolong maafkan kesalahanku yang dulu. Aku ingin kita bersama lagi.""Gila kamu!! Ingat ini baik-baik, aku tidak akan pernah menduakan Inara. Urus saja kehidupanmu dengan suami playboymu itu!" ucapnya seakan menegaskan kalau Erick memanglah sang playboy. Ya, dulu sebelum menikah, Erick sering bergonta-ganti pasangan, tidak cukup satu. Entah jurus apa yang dia pakai hingga Chelsie pun akhirnya terpikat dan luluh menjadi istrinya.Harshil berlari ke arah jalan yang berbeda. Ta