"Apa kau gila?" ucapnya, nadanya meninggi, penuh dengan emosi yang terpendam.
Karl mengangkat bahunya dengan santai, lalu mengarahkan matanya kembali pada Elena, tatapannya datar dan tanpa kompromi. "Suamimu yang gila, Elena. Bukan aku," jawabnya singkat, seolah pernyataannya adalah fakta yang tidak perlu diperdebatkan. Elena menarik napas panjang, mencoba menenangkan amarah yang mulai memuncak. "Ya, anggap saja begitu. Suamiku memang gila," katanya akhirnya, suaranya melemah saat rasa lelah meresap ke dalam dirinya. “Tapi, sebagai teman tidurmu … aku rasa kau yang gila, Karl!” ucap Elena dengan raut wajah kesalnya pada pria arogan di hadapannya ini. "Seperti yang kau katakan semalam." Karl mendekat menatap wajah Elena yang tampak tegang. "Kau sangat lihai di atas ranjang, Elena," bisiknya mengingatkan Elena tentang ucapannya semalam. "Dan aku mengakui itu. Selama ini aku tidak pernah menemukan wanita seliar dirimu. Dan aku rasa, kau sangat cocok menjadi teman tidurku." Elena mendesah kasar mendengar ucapan Karl yang cukup membuat emosi. Dia benar-benar terjebak dan menganggap dirinya sedang berada di atas jurang saat ini. “Keputusan ada di tanganmu. Jika ingin menyelamatkan restoranmu yang akan bangkrut itu, maka turuti apa yang aku minta tadi,” ucapnya dengan nada intimidasi, memberikan pilihan yang sangat kejam dan sulit untuk Elena. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan, Karl," ucapnya pelan, nadanya hampir seperti bisikan. Karl menyeringai kecil, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua sikunya bertumpu di atas meja. "Tidak ada yang perlu kau takutkan, Elena. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau mendapatkan apa yang layak kau dapatkan," katanya, suaranya terdengar samar-samar menggoda. "Termasuk memberimu kenyamanan dalam urusan ranjang," bisik Karl—lagi-lagi membahas kejadian semalam. Elena tidak menjawab. Ia hanya duduk diam, terpaku di tempatnya, pikirannya berkecamuk di antara kebingungan, ketakutan, dan harapan. “Tapi, apa hubungannya dengan urusan pribadiku dan dana yang ingin kau berikan, Karl? Ini sangat tidak masuk akal, kau tahu?” Elena berkata dengan nada kesal, mencoba menahan diri untuk tidak meledak di hadapan pria yang tampak terlalu tenang. Karl mengangkat bahunya dengan sikap santai, seolah pertanyaan itu tidak memengaruhinya sama sekali. "Banyak," jawabnya, nadanya begitu percaya diri hingga membuat Elena ingin mendengus kesal. "Keduanya akan menguntungkanmu." Elena menghela napas panjang. Ia menyunggingkan senyum kecut, pandangannya menyipit menatap Karl. "Tapi tidak dengan menjadi teman tidurmu. Itu sama sekali tidak menguntungkanku!" ucapnya dengan nada datar, tetapi sorot matanya penuh dengan kelelahan dan kekesalan. Karl tidak terintimidasi sedikit pun. Sebaliknya, ia malah tersenyum tipis, senyum yang tampak seperti seorang pemain catur yang baru saja memikirkan langkah berikutnya. "Well, Elena," katanya, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Elena. "Apa kau masih ingin mempertahankan rumah tanggamu dengannya, setelah apa yang dia lakukan padamu?" Kata-kata Karl membuat tubuh Elena menegang. Ia mencoba membaca maksud tersembunyi di balik ucapan itu, tetapi hanya menemukan kebingungan dan rasa cemas yang semakin dalam. "Ya, aku tahu. Tapi, kenapa kau ingin ikut campur dalam urusan rumah tanggaku?" tanyanya, meski ia tahu pertanyaan itu mungkin tidak akan membawa jawaban yang diinginkannya. Alih-alih menjawab, Karl beranjak dari kursinya. Ia melangkah mendekati Elena dengan gerakan yang lambat namun pasti, seperti seekor predator yang mendekati mangsanya. Sorot matanya tajam, menusuk, membuat Elena merasa seperti tidak ada tempat untuk bersembunyi. Tubuh Elena mendadak kaku saat jarak mereka semakin dekat. Ia bisa merasakan udara di sekitarnya berubah menjadi lebih berat, penuh dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Karl berdiri di hadapannya, sedikit membungkuk untuk menyesuaikan tinggi mereka. "Aku… memiliki peran penting di perusahaan suamimu," bisiknya dengan suara rendah, hampir seperti rahasia yang hanya mereka berdua boleh tahu. Matanya menatap lekat wajah Elena, tidak memberinya ruang untuk menghindar. Elena mengerjapkan matanya, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Karl. "Apa yang kau maksud?" tanyanya lagi, suaranya hampir seperti bisikan. Karl tersenyum samar, senyum yang penuh misteri. "Aku punya akses yang bisa menghancurkannya, Elena," ucapnya perlahan, setiap kata seperti dipilih dengan hati-hati untuk menekankan maksudnya. Elena merasa seluruh dunianya berputar. Napasnya terasa berat, pikirannya dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan. Namun, meski di tengah kebingungannya, ada sesuatu di dalam dirinya yang mendorongnya untuk bertanya lebih lanjut. "Lantas, apa yang akan kau lakukan untukku?" tanyanya akhirnya, meski ia tidak yakin ia benar-benar ingin tahu jawabannya. Karl tersenyum lagi, senyum itu lebih lebar kali ini, tetapi tetap penuh dengan misteri. "Pertanyaan yang bagus, Elena. Kita akan membalaskan sakit hatimu, bersama-sama. Tinggalkan suamimu dan ikut bersamaku."Tidak ada jawaban, hanya jeritan bahagia Elena yang membuat Maia terkejut. "Kau bahagia sekali, El. Ada apa di sana, kau dalam keadaan baik-baik saja dan sehat 'kan?"Elena langsung berteriak begitu keras hingga suara bahagianya terdengar melebihi jangkauan. Maia dengan cepat menjauhkan ponselnya dari telinga, namun setelah beberapa detik, ia mendekatkannya lagi, penasaran."Terbanglah ke Roma, Mai, jika kau ingin melihat keponakanmu lahir!" jerit Elena dengan kegirangan, suaranya pecah dengan kebahagiaan yang tak terkira.Maia terdiam beberapa saat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tubuhnya melompat kegirangan, seakan disambar petir. “Kau serius, El?” tanyanya, hampir tidak percaya."Heem," jawab Elena singkat namun penuh keyakinan.Di seberang sana, Maia terdiam sejenak, mencerna kata-kata sahabatnya. Takdir ternyata membawa mereka ke titik ini, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Kehidupan yang penuh dengan kejutan, dan kini sahabatnya, yang selama ini selalu ada u
Karl berdiri, menahan emosi. “Aku tidak peduli. Lakukan segera apa yang aku inginkan!”Namun suara lembut Elena memecah ketegangan, “Karl... jangan seperti itu dong. Biarkan semua berjalan normal, jangan memaksakan.”Karl menoleh dan menatap Elena yang kini sudah duduk di ranjang, wajahnya tenang, namun matanya penuh harap.Setelah perdebatan panjang dan beberapa pembicaraan tambahan, akhirnya pihak maskapai menyetujui perubahan jadwal dengan syarat tertentu. Karl menyetujui semuanya.Senyum puas mengembang di wajah Elena. Ia segera berdiri dan memeluk suaminya. “Yey, akhirnya bisa ke Roma... Yang baik dan nurut ya, Sayang,” bisiknya sambil mengusap perutnya yang masih rata namun telah membawa kehidupan.Karl membalas pelukannya, kemudian menatap perut Elena dengan perasaan campur aduk. “Perjalanan ini cukup jauh dan melelahkan, Sayang. Apakah tidak berbahaya?”Elena menggeleng dengan senyum penuh keyakinan. “Aku dalam keadaan sehat. Dokter juga bilang ini waktu yang masih aman. Dan k
Malam itu, langit dihiasi bintang dan bulan purnama menggantung dengan indah. Halaman belakang rumah Karl disulap menjadi pesta kecil nan hangat. Tema garden wedding mereka tampil sederhana namun elegan.Lampu-lampu gantung memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, bunga-bunga mekar di setiap sudut taman, dan aroma hidangan lezat memenuhi udara malam.Karl dan Elena berdiri di tengah-tengah, tangan saling menggenggam, mata saling menatap dalam. Tidak butuh pesta megah, karena cinta mereka telah cukup menjadi pusat perhatian.Di sisi lain, Maia berdiri dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Federick mendekat, berdiri di sampingnya. Ia tidak berkata banyak, hanya sesekali memandang Maia dengan sorot mata yang penuh misteri.Di antara tawa, doa, dan janji yang terucap malam itu, cinta Karl dan Elena pun diikat dalam sakralnya komitmen.Tanpa dendam masa lalu, tanpa luka yang menahan—hanya ada harapan, keteguhan, dan perjalanan baru yang segera dimulai.“Kau sangat cantik, El
“Sudahlah, kapan kalian melangsungkan pernikahan? Rasanya sudah waktunya, apalagi setelah semua yang kalian lewati.”Elena terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Tunggu semua selesai dan aku sudah boleh pulang.”Maia tersenyum dan mengangguk kecil. Keduanya pun larut dalam percakapan ringan soal rencana pernikahan Elena dan Karl, bercanda tentang tema pesta, gaun pengantin, dan siapa saja yang akan diundang.Namun di balik semua itu, mata Maia masih menyimpan kebingungan atas kata-kata Federick sebelumnya.Sementara itu, di sisi lain kota, Karl dan Federick sudah sampai di kantor kepolisian. Mereka berjalan cepat melewati lorong-lorong panjang dan redup hingga tiba di depan ruang interogasi.Begitu matanya menangkap sosok Gio di balik kaca satu arah, napas Karl langsung berubah berat. Tatapannya menggelap, penuh kebencian. Gio terlihat santai, bahkan nyaris tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Ia menjawab pertanyaan penyidik dengan malas, acuh tak acuh, bahkan seseka
“Sejak kapan wanitaku harus menatapmu dengan kelembutan?” balas Karl, nadanya tenang tapi tegas, nada kepemilikan yang tak bisa ditawar.Federick menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal, menghela napas pasrah atas protes Karl. “Bukan begitu maksudku… setidaknya kembalilah ke mode awal, jangan setegang ini. Kau tampak seperti hendak menginterogasiku.”Elena hanya menyeringai. Lalu tanpa memberi sinyal lain, bibirnya bergerak, melontarkan pertanyaan, “Di mana Maia?”Seketika Federick menghembuskan napas panjang, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Senyuman manis mengembang di wajahnya, “Di hatiku.”Elena hanya melirik sambil mengangkat alis, tidak menanggapi rayuan kecil itu dan langsung masuk pada topik utama.“Apakah kabar yang aku dengar benar bahwa pelaku utama adalah Gio? Lalu bagaimana kabarnya?”Ia menghela napas panjang, lalu lanjut, “Apakah dia sudah tertangkap? Aku ingin dia merasakan dinginnya udara prodeo.”Karl yang duduk di sampingnya menatap Elena penuh kelemb
Panggilan pun berakhir. Gio berjalan masuk ke sebuah rumah kayu sederhana yang selama ini dia jadikan tempat persembunyian saat keadaan genting.Rumah itu tampak usang, dengan jendela tua yang berderit dan cat dinding yang mulai mengelupas. Dia masuk dengan langkah berat dan penuh amarah.“Ini semua gara-gara kau, Karl... Kalian harus hancur menggantikan aku!” gerutunya sambil melempar jaket ke lantai.Gio berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal, matanya menyala penuh dendam. Kariernya telah hancur, semua aset penting disita, dan perusahaan kebanggaannya kini berada di tangan Karl.Bahkan wanita yang dulu sangat ia inginkan, Elena, kini juga meninggalkannya.“Dasar wanita tidak tahu diuntung. Dulu saat aku berjaya, mendekat seperti ulet keket. Sekarang saat aku terpuruk, kau melesat laksana wurung walet! Sialan! Sungguh sial!”Suara pintu dibanting keras hingga seluruh kusen bergetar. Gio seperti kehilangan kendali. “Elena... harusnya kau masih milikku!”Tiba-tiba, ponselnya berder