"Ceraikan suamimu, dan jadi milikku selamanya!" Elena tak pernah menyangka pria yang bersumpah mencintainya akan mengkhianatinya. Hatinya hancur, hingga langkah kaki yang linglung membawanya ke sebuah bar—tempat ia bertemu dengan Karl, pria tampan yang dulu pernah mengisi hatinya lima tahun lalu. Dalam pelarian emosionalnya, satu malam bersama Karl berubah menjadi jerat yang sulit dilepaskan. Karl, dengan tatapan dingin penuh obsesi, menginginkan Elena hanya untuk dirinya. Namun cinta ini tak semudah itu. Saat masa lalu dan janji yang pernah diucapkan bertabrakan dengan hasrat yang baru, Elena harus memilih: melawan ketertarikan berbahaya yang Karl tawarkan atau menyerahkan dirinya pada cinta yang penuh risiko. Saat batas antara cinta dan obsesi semakin kabur, akankah Elena menemukan jalan keluar, atau justru tenggelam lebih dalam bersama Karl?
View More“Kurang ajar! Pria tidak tahu diri. Berani sekali kau mengkhianatiku. Argh!”
Elena terus mengoceh dalam keadaan mabuk di sebuah minibar yang ada di hotel bintang lima tersebut. Wanita cantik berusia tiga puluh tahun itu tidak terima diselingkuhi oleh sang suami.
“Apa yang kau lakukan di sini, Elena?”
Wanita itu menoleh pelan setelah mendengar suara dari samping. Penglihatannya yang sudah memudar akibat mabuk, sontak menyipitkan mata menatap sosok pria tegap yang duduk di sampingnya.
“Apa kau mengenaliku?” la menatap pria itu yang meski samar-samar, terlihat tampan.
“Ada apa denganmu, Elena?” tanya pria itu dengan nada datarnya sembari membantu Elena agar duduk dengan tegap.
“Aku ….” Elena menghela napas berat. Baru saja ia hendak berdiri, namun, kakinya terasa lemas hingga akhirnya hanya menatap wajah pria itu. “Apa kau mau menemaniku malam ini?” tanyanya dengan nada menggoda.
Pria yang dengan paras wajah yang nyaris sempurna itu mengerutkan keningnya. Ia lalu menggeleng, tak menyikapi ajakan wanita itu.
“Kau sedang mabuk. Biar aku antar ke rumahmu.”
“Tidak, tidak.” Elena menolak. Namun, tangannya yang melingkar di ceruk leher pria itu menatap lekat wajahnya, ingin melihat dengan jelas, seberapa tampan pria yang menghampirinya itu.
“Kau tahu? Aku baru saja melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh suamiku. Dia bercinta dengan sekretarisnya.”
Ia kemudian mendekat dengan tangan berada di bahu lelaki itu. “Dia melakukan hal itu di depan mataku. Jika dia saja bisa melakukannya, seharusnya aku juga bisa melakukannya, bukan? Aku benar, kan?”
Tangan Elena merayap pada dada bidang lelaki itu yang masih terbalut kemeja putih dengan kancing atas sudah lepas dari tempatnya. “Aku ingin balas dendam!” ucapnya dengan suara lirihnya. Elena menatap dengan mata menggodanya. Bibir merahnya melengkungkan senyum padanya.“Daripada pulang ke rumah, sebaiknya ikut aku ke kamar.” Elena mencoba untuk berjalan, menyeret tangan pria itu agar mau menemaninya malam ini.
“Tunggu, Elena!” Pria itu menahan tangan Elena ketika mereka tiba di dalam kamar. "Aku sudah bilang padamu, kau sedang mabuk!" ucapnya dengan tegas, lalu membantu Elena agar berdiri dengan tegap.Elena tersenyum, lalu menatapnya dengan tatapan menggoda. “Kenapa? Kau tidak tertarik padaku? Atau mungkin karena ini?” Elena menggigit bibirnya, masih dalam keadaan mabuk, dia menggila lagi.
“Apa karena aku kurang lihai di atas ranjang sampai membuat Gio berpaling dariku?” lirihnya kemudian menatap lekat wajah pria itu. “Kau tahu, padahal aku sangat lincah di atas ranjang,” bisiknya dengan tangan kini berpusat pada inti tubuh pria itu. “Kau yakin, akan menolakku?” godanya lagi. Pria itu semakin geram karena sikap Elena yang semakin menjadi dan menggoda dirinya. Sebagai pria normal, siapa yang tidak tergoda dengan godaan yang dibuat oleh Elena yang sedari tadi menyentuh fisiknya?"Kau memang penggoda handal, Elena!" Lantas ia meraup bibir wanita itu dengan penuh semangat. “Kau ingin balas dendam pada suamimu, kan? Mari kita lakukan,” bisiknya.
Elena tersenyum penuh kemenangan. “Sentuh aku. Puaskan aku malam ini,” pintanya dengan suara menggodanya.
“Shitt!” geramnya. Elena semakin membuatnya menggila. Ia kembali meraup bibir Elena sembari membuka seluruh kain yang ada di tubuh wanita itu, pun dengan dirinya. “Eungh ….” Elena mendesah ketika merasakan hujaman yang kini berada di atasnya. Pria itu memandangi Elena yang sedang terbaring telanjang seperti kanvas tanpa warna, siap untuk dilukis oleh gairah yang membara. Gerakan demi gerakan ia lakukan di atas tubuh wanita itu. Matanya tidak bisa lepas dari pandangan wajah Elena yang begitu memukau. Lihai dan mendominasi, tubuh pria itu bergerak bebas sembari mendengarkan desahan ringan di bibir Elena. Ruangan itu terasa panas, setiap helai udara menyerap aroma tubuh mereka, seolah merekam dosa yang begitu manis untuk dilupakan. Elena terkesiap, dadanya naik-turun terengah, matanya membola menyapu ruangan yang terasa asing sekaligus menyakitkan.Melihat wanita yang dia kenal sejak lima tahun lalu—kuliah di kampus yang sama bahkan satu kelas, tidak ada alasan baginya untuk menolak ajakan wanita yang tampak frustasi itu.
"Ini ... sangat nikmat. Akh!" desah Elena semakin membuat lelaki itu bergairah dan menghantam tubuh Elena dengan gerakan yang mematikan.
** Elena terkesiap, terkejut bukan main saat melihat seorang pria yang terbaring santai di sampingnya. "Karl?" bisik Elena, suaranya serak seperti menahan sesuatu yang berat di tenggorokannya. Pria yang dulu pernah ada di hatinya lima tahun yang lalu kini ada di sampingnya. Bahkan menghabiskan malam bersamanya! Pria tampan berusia tiga puluh tahun, dengan rambut hitam yang sedikit acak-acakan, membuka mata perlahan, lalu menatapnya dengan datar. "Sudah bangun rupanya," ucap Karl dengan nada tenang, tetapi nadanya menggigit. Elena menunjuk wajah Karl dengan tangan gemetar, ekspresinya berubah antara marah dan bingung. "Kau! Apa yang kau lakukan padaku, Karl?" Suaranya meninggi, hampir seperti teriakan. Cepat-cepat, dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos, sementara wajahnya memerah. Karl bangkit setengah, bertumpu pada siku, lalu mengerutkan kening seolah tidak percaya dengan tuduhan itu. "Aku? Kau sendiri yang menyeretku kemari," balasnya tenang, tatapannya tetap mengunci mata Elena. “Kau mabuk, lalu mengajakku ke kamar yang telah kau pesan sendiri, Elena,” tutur Karl mengingatkan Elena pada malam yang memabukkan itu. "Tidak mungkin!" Elena memekik, tangannya langsung menutup mulutnya sendiri. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Potongan-potongan ingatan berkelebat di benaknya—aroma alkohol, suara tawa yang dipaksakan, dan akhirnya rasa hampa yang membawanya pada Karl. Hatinya kembali tertusuk, mengingat alasan ia berada di tempat ini. Pengkhianatan suaminya, yang ia saksikan dengan mata kepala sendiri. Adegan itu masih begitu nyata. Wanita murahan itu, Sekretaris suaminya, dengan tubuhnya yang memeluk Gio begitu mesra di ruang kerjanya. Semuanya terekam jelas saat Elena membawa makan siang untuk Gio, berharap bisa memberi kejutan manis. Ternyata, ia-lah yang dikejutkan. "Gio …," bisik Elena, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Luka itu kembali terbuka, meneteskan perih yang tidak kunjung sembuh. Karl mengamati perubahan di wajah Elena, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya tajam, seolah membaca pikiran wanita di depannya. Elena menoleh ke arah Karl, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Anggap saja hari ini tidak pernah terjadi, Karl. Ini hanya … kecelakaan," ucapnya dengan suara lirih namun tegas. Karl mendengar itu, lalu tertawa kecil, senyuman sinis tersungging di wajahnya. "Kecelakaan, katamu?" ulangnya, suaranya sedikit lebih berat. Ia duduk tegak di atas ranjang, menatap Elena dengan pandangan yang tajam, penuh arti. "Tidak semudah yang kau katakan, Elena!” Ia mendekat menatap dingin wajah Elena. “Sekali kusentuh, kau tidak akan pernah mudah lepas dariku!”Tidak ada jawaban, hanya jeritan bahagia Elena yang membuat Maia terkejut. "Kau bahagia sekali, El. Ada apa di sana, kau dalam keadaan baik-baik saja dan sehat 'kan?"Elena langsung berteriak begitu keras hingga suara bahagianya terdengar melebihi jangkauan. Maia dengan cepat menjauhkan ponselnya dari telinga, namun setelah beberapa detik, ia mendekatkannya lagi, penasaran."Terbanglah ke Roma, Mai, jika kau ingin melihat keponakanmu lahir!" jerit Elena dengan kegirangan, suaranya pecah dengan kebahagiaan yang tak terkira.Maia terdiam beberapa saat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tubuhnya melompat kegirangan, seakan disambar petir. “Kau serius, El?” tanyanya, hampir tidak percaya."Heem," jawab Elena singkat namun penuh keyakinan.Di seberang sana, Maia terdiam sejenak, mencerna kata-kata sahabatnya. Takdir ternyata membawa mereka ke titik ini, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Kehidupan yang penuh dengan kejutan, dan kini sahabatnya, yang selama ini selalu ada u
Karl berdiri, menahan emosi. “Aku tidak peduli. Lakukan segera apa yang aku inginkan!”Namun suara lembut Elena memecah ketegangan, “Karl... jangan seperti itu dong. Biarkan semua berjalan normal, jangan memaksakan.”Karl menoleh dan menatap Elena yang kini sudah duduk di ranjang, wajahnya tenang, namun matanya penuh harap.Setelah perdebatan panjang dan beberapa pembicaraan tambahan, akhirnya pihak maskapai menyetujui perubahan jadwal dengan syarat tertentu. Karl menyetujui semuanya.Senyum puas mengembang di wajah Elena. Ia segera berdiri dan memeluk suaminya. “Yey, akhirnya bisa ke Roma... Yang baik dan nurut ya, Sayang,” bisiknya sambil mengusap perutnya yang masih rata namun telah membawa kehidupan.Karl membalas pelukannya, kemudian menatap perut Elena dengan perasaan campur aduk. “Perjalanan ini cukup jauh dan melelahkan, Sayang. Apakah tidak berbahaya?”Elena menggeleng dengan senyum penuh keyakinan. “Aku dalam keadaan sehat. Dokter juga bilang ini waktu yang masih aman. Dan k
Malam itu, langit dihiasi bintang dan bulan purnama menggantung dengan indah. Halaman belakang rumah Karl disulap menjadi pesta kecil nan hangat. Tema garden wedding mereka tampil sederhana namun elegan.Lampu-lampu gantung memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, bunga-bunga mekar di setiap sudut taman, dan aroma hidangan lezat memenuhi udara malam.Karl dan Elena berdiri di tengah-tengah, tangan saling menggenggam, mata saling menatap dalam. Tidak butuh pesta megah, karena cinta mereka telah cukup menjadi pusat perhatian.Di sisi lain, Maia berdiri dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Federick mendekat, berdiri di sampingnya. Ia tidak berkata banyak, hanya sesekali memandang Maia dengan sorot mata yang penuh misteri.Di antara tawa, doa, dan janji yang terucap malam itu, cinta Karl dan Elena pun diikat dalam sakralnya komitmen.Tanpa dendam masa lalu, tanpa luka yang menahan—hanya ada harapan, keteguhan, dan perjalanan baru yang segera dimulai.“Kau sangat cantik, El
“Sudahlah, kapan kalian melangsungkan pernikahan? Rasanya sudah waktunya, apalagi setelah semua yang kalian lewati.”Elena terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Tunggu semua selesai dan aku sudah boleh pulang.”Maia tersenyum dan mengangguk kecil. Keduanya pun larut dalam percakapan ringan soal rencana pernikahan Elena dan Karl, bercanda tentang tema pesta, gaun pengantin, dan siapa saja yang akan diundang.Namun di balik semua itu, mata Maia masih menyimpan kebingungan atas kata-kata Federick sebelumnya.Sementara itu, di sisi lain kota, Karl dan Federick sudah sampai di kantor kepolisian. Mereka berjalan cepat melewati lorong-lorong panjang dan redup hingga tiba di depan ruang interogasi.Begitu matanya menangkap sosok Gio di balik kaca satu arah, napas Karl langsung berubah berat. Tatapannya menggelap, penuh kebencian. Gio terlihat santai, bahkan nyaris tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Ia menjawab pertanyaan penyidik dengan malas, acuh tak acuh, bahkan seseka
“Sejak kapan wanitaku harus menatapmu dengan kelembutan?” balas Karl, nadanya tenang tapi tegas, nada kepemilikan yang tak bisa ditawar.Federick menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal, menghela napas pasrah atas protes Karl. “Bukan begitu maksudku… setidaknya kembalilah ke mode awal, jangan setegang ini. Kau tampak seperti hendak menginterogasiku.”Elena hanya menyeringai. Lalu tanpa memberi sinyal lain, bibirnya bergerak, melontarkan pertanyaan, “Di mana Maia?”Seketika Federick menghembuskan napas panjang, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Senyuman manis mengembang di wajahnya, “Di hatiku.”Elena hanya melirik sambil mengangkat alis, tidak menanggapi rayuan kecil itu dan langsung masuk pada topik utama.“Apakah kabar yang aku dengar benar bahwa pelaku utama adalah Gio? Lalu bagaimana kabarnya?”Ia menghela napas panjang, lalu lanjut, “Apakah dia sudah tertangkap? Aku ingin dia merasakan dinginnya udara prodeo.”Karl yang duduk di sampingnya menatap Elena penuh kelemb
Panggilan pun berakhir. Gio berjalan masuk ke sebuah rumah kayu sederhana yang selama ini dia jadikan tempat persembunyian saat keadaan genting.Rumah itu tampak usang, dengan jendela tua yang berderit dan cat dinding yang mulai mengelupas. Dia masuk dengan langkah berat dan penuh amarah.“Ini semua gara-gara kau, Karl... Kalian harus hancur menggantikan aku!” gerutunya sambil melempar jaket ke lantai.Gio berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal, matanya menyala penuh dendam. Kariernya telah hancur, semua aset penting disita, dan perusahaan kebanggaannya kini berada di tangan Karl.Bahkan wanita yang dulu sangat ia inginkan, Elena, kini juga meninggalkannya.“Dasar wanita tidak tahu diuntung. Dulu saat aku berjaya, mendekat seperti ulet keket. Sekarang saat aku terpuruk, kau melesat laksana wurung walet! Sialan! Sungguh sial!”Suara pintu dibanting keras hingga seluruh kusen bergetar. Gio seperti kehilangan kendali. “Elena... harusnya kau masih milikku!”Tiba-tiba, ponselnya berder
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments