"Dengar, Karl. Dia memang mengkhianatiku, tapi aku harus mencari tahu lebih dulu apa yang sebenarnya terjadi," ucap Elena dengan nada lirih, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Karl menyandarkan tubuhnya ke belakang, menatap Elena dengan senyum mengejek yang penuh makna. "Sekarang jelaskan," katanya, suaranya rendah namun penuh desakan, "apa yang terjadi sebelum kau masuk bar lalu mengajakku bercinta?" "Atau sebenarnya kau sudah mencari tahu tentang perselingkuhan itu?" sambung Karl. "Tidak! Aku tidak tahu jika Gio selingkuh," jawab Elena datar. Ia menelan ludah dengan susah payah. Kata-kata Karl seperti cambuk yang menyentak pikirannya kembali ke momen-momen yang ingin ia lupakan. Bayangan itu muncul lagi, menghantam relung hatinya dengan kasar. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun dadanya terasa sesak. "Aku... aku membawakan makan siang untuknya," katanya dengan suara bergetar. "Aku pikir itu kejutan kecil yang menyenangkan. Tapi..." Elena berhenti sejenak, suaranya terhenti oleh ingatan yang menyakitkan. Ia menarik napas panjang lagi, seolah mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Tiba-tiba suara tawa dan... desahan terdengar di telingaku," lanjutnya, suaranya kini lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Wanita itu sedang memeluk Gio. Aku pikir mereka hanya bercanda atau mengobrol biasa... ternyata mereka sedang bercinta." Karl mengangkat alisnya, matanya penuh ejekan bercampur rasa kasihan. Ia mendengus kecil. "Dan kau masih ingin bertahan padahal pria itu telah mengkhianatimu? Di mana otakmu, Elena? Kau terlalu mencintai suamimu itu, huh?" Nada suaranya menyiratkan kekesalan, namun juga sedikit ketidakpercayaan. "Siapa yang menyangka Gio akan mengkhianatiku," ucap Elena dengan suara bergetar, "padahal dia sangat mencintaiku sebelum kami memutuskan untuk menikah?" Karl, yang berdiri di dekat jendela, membuang muka. Tatapannya menerobos kegelapan di luar sana, namun jelas sekali ia tidak ingin menatap langsung kesedihan Elena. "Buktinya, dia malah bercinta dengan wanita itu. Siapa dia? Apa kau mengenalnya?" tanyanya dengan nada dingin, hampir tanpa emosi. Elena mengangguk pelan, menunduk, seolah malu mengakui kebenaran itu. "Ya," jawabnya lirih. "Aku mengenalnya. Dia adalah sekretaris pribadi Gio." Karl mendengus kecil, ekspresinya menunjukkan kejengkelan. Sementara itu, Elena melanjutkan dengan suara yang semakin pelan. "Mereka berdua sangat pandai menyimpan rahasia ini. Aku tidak pernah melihat gelagat perselingkuhan mereka." Elena menghela napas panjang, suaranya terdengar berat ketika ia kembali bicara. "Kami sangat bahagia. Pernikahanku dengannya berjalan dengan damai selama tiga tahun ini. Namun, tiba-tiba saja Gio mengkhianatiku." Karl masih berdiri di tempatnya, tangan dimasukkan ke saku celana. Ketika ia akhirnya berbicara, nadanya tetap datar, seolah mencoba menjaga jarak dari emosi yang membara di dalam diri Elena. "Aku tidak mengerti tentang pernikahan, karena aku belum mengalaminya." Elena mengerutkan kening, memandang Karl dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Bagaimana mungkin seorang pria seperti dia—tampan, mapan, dan kaya raya—belum menikah? Sementara usianya sudah kepala tiga. "Tapi, kau sudah memiliki kekasih, kan?" tanyanya, mencoba menembus dinding dingin yang Karl bangun di sekelilingnya. Karl mengangkat bahu dengan sikap cuek. "Aku tidak memiliki komitmen untuk menikah," jawabnya singkat. "Wanita yang mendekatiku selama ini hanya memandang fisik dan materi yang kupunya." Elena tersenyum tipis, meskipun rasa sakit masih jelas terlihat di matanya. Ia menatap Karl dengan pandangan penuh makna, mengenang masa lalu mereka. "Kau masih seperti dulu, Karl," bisiknya pelan. "Huh?" Karl mengangkat alis, menoleh sedikit ke arah Elena. "Apa yang kau bilang tadi?" Elena menggeleng pelan seraya menatap sayu wajah Karl. "Aku memang bodoh karena percaya pada Gio selama ini," gumamnya, kembali membahas dirinya lagi. "Tapi aku ingin memastikan... sudah berapa lama mereka bermain di belakangku, Karl. Hanya itu saja." Karl menatap wajah Elena dengan ekspresi datar, seperti menimbang sesuatu dalam pikirannya. "Aku akan membantumu," ucapnya, suaranya rendah namun tegas. Ia bersandar sedikit ke kursinya, pandangannya tak lepas dari Elena. "Lagi pula, kita bukan dua orang asing yang baru saja menciptakan kenangan. Kita sudah saling mengenal sejak lima tahun yang lalu." Elena terdiam, kata-kata Karl bergema dalam benaknya. Lima tahun memang bukan waktu yang singkat, namun entah mengapa, tawaran itu membuatnya ragu. Ia hanya mampu menatap wajah pria di hadapannya, berusaha mencari kejujuran dalam ekspresi yang sering kali sulit ditebak. "Kau tidak perlu menyebar proposal ini lagi," kata Karl lagi, suaranya memecah keheningan. Ia menatap kertas-kertas di tangan Elena dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. "Aku akan membantumu sepenuhnya." Elena mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Karl yang penuh keyakinan. "Tapi, syarat yang kau berikan terlalu berat untukku terima, Karl." Karl tersenyum samar, lalu melipat tangannya di dada. "Karena pada dasarnya takdir kita seperti itu, Elena," jawabnya singkat. Nada bicaranya tak menunjukkan tanda-tanda keraguan, namun ada sesuatu dalam ucapannya yang membuat Elena merasa ia menyimpan maksud tertentu. "Tidak perlu berpikir terlalu jauh," lanjut Karl. "Aku menunggu jawabanmu sekarang juga. Mau atau tidak?" ucap Karl dingin.Tidak ada jawaban, hanya jeritan bahagia Elena yang membuat Maia terkejut. "Kau bahagia sekali, El. Ada apa di sana, kau dalam keadaan baik-baik saja dan sehat 'kan?"Elena langsung berteriak begitu keras hingga suara bahagianya terdengar melebihi jangkauan. Maia dengan cepat menjauhkan ponselnya dari telinga, namun setelah beberapa detik, ia mendekatkannya lagi, penasaran."Terbanglah ke Roma, Mai, jika kau ingin melihat keponakanmu lahir!" jerit Elena dengan kegirangan, suaranya pecah dengan kebahagiaan yang tak terkira.Maia terdiam beberapa saat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tubuhnya melompat kegirangan, seakan disambar petir. “Kau serius, El?” tanyanya, hampir tidak percaya."Heem," jawab Elena singkat namun penuh keyakinan.Di seberang sana, Maia terdiam sejenak, mencerna kata-kata sahabatnya. Takdir ternyata membawa mereka ke titik ini, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Kehidupan yang penuh dengan kejutan, dan kini sahabatnya, yang selama ini selalu ada u
Karl berdiri, menahan emosi. “Aku tidak peduli. Lakukan segera apa yang aku inginkan!”Namun suara lembut Elena memecah ketegangan, “Karl... jangan seperti itu dong. Biarkan semua berjalan normal, jangan memaksakan.”Karl menoleh dan menatap Elena yang kini sudah duduk di ranjang, wajahnya tenang, namun matanya penuh harap.Setelah perdebatan panjang dan beberapa pembicaraan tambahan, akhirnya pihak maskapai menyetujui perubahan jadwal dengan syarat tertentu. Karl menyetujui semuanya.Senyum puas mengembang di wajah Elena. Ia segera berdiri dan memeluk suaminya. “Yey, akhirnya bisa ke Roma... Yang baik dan nurut ya, Sayang,” bisiknya sambil mengusap perutnya yang masih rata namun telah membawa kehidupan.Karl membalas pelukannya, kemudian menatap perut Elena dengan perasaan campur aduk. “Perjalanan ini cukup jauh dan melelahkan, Sayang. Apakah tidak berbahaya?”Elena menggeleng dengan senyum penuh keyakinan. “Aku dalam keadaan sehat. Dokter juga bilang ini waktu yang masih aman. Dan k
Malam itu, langit dihiasi bintang dan bulan purnama menggantung dengan indah. Halaman belakang rumah Karl disulap menjadi pesta kecil nan hangat. Tema garden wedding mereka tampil sederhana namun elegan.Lampu-lampu gantung memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, bunga-bunga mekar di setiap sudut taman, dan aroma hidangan lezat memenuhi udara malam.Karl dan Elena berdiri di tengah-tengah, tangan saling menggenggam, mata saling menatap dalam. Tidak butuh pesta megah, karena cinta mereka telah cukup menjadi pusat perhatian.Di sisi lain, Maia berdiri dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Federick mendekat, berdiri di sampingnya. Ia tidak berkata banyak, hanya sesekali memandang Maia dengan sorot mata yang penuh misteri.Di antara tawa, doa, dan janji yang terucap malam itu, cinta Karl dan Elena pun diikat dalam sakralnya komitmen.Tanpa dendam masa lalu, tanpa luka yang menahan—hanya ada harapan, keteguhan, dan perjalanan baru yang segera dimulai.“Kau sangat cantik, El
“Sudahlah, kapan kalian melangsungkan pernikahan? Rasanya sudah waktunya, apalagi setelah semua yang kalian lewati.”Elena terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Tunggu semua selesai dan aku sudah boleh pulang.”Maia tersenyum dan mengangguk kecil. Keduanya pun larut dalam percakapan ringan soal rencana pernikahan Elena dan Karl, bercanda tentang tema pesta, gaun pengantin, dan siapa saja yang akan diundang.Namun di balik semua itu, mata Maia masih menyimpan kebingungan atas kata-kata Federick sebelumnya.Sementara itu, di sisi lain kota, Karl dan Federick sudah sampai di kantor kepolisian. Mereka berjalan cepat melewati lorong-lorong panjang dan redup hingga tiba di depan ruang interogasi.Begitu matanya menangkap sosok Gio di balik kaca satu arah, napas Karl langsung berubah berat. Tatapannya menggelap, penuh kebencian. Gio terlihat santai, bahkan nyaris tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Ia menjawab pertanyaan penyidik dengan malas, acuh tak acuh, bahkan seseka
“Sejak kapan wanitaku harus menatapmu dengan kelembutan?” balas Karl, nadanya tenang tapi tegas, nada kepemilikan yang tak bisa ditawar.Federick menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal, menghela napas pasrah atas protes Karl. “Bukan begitu maksudku… setidaknya kembalilah ke mode awal, jangan setegang ini. Kau tampak seperti hendak menginterogasiku.”Elena hanya menyeringai. Lalu tanpa memberi sinyal lain, bibirnya bergerak, melontarkan pertanyaan, “Di mana Maia?”Seketika Federick menghembuskan napas panjang, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Senyuman manis mengembang di wajahnya, “Di hatiku.”Elena hanya melirik sambil mengangkat alis, tidak menanggapi rayuan kecil itu dan langsung masuk pada topik utama.“Apakah kabar yang aku dengar benar bahwa pelaku utama adalah Gio? Lalu bagaimana kabarnya?”Ia menghela napas panjang, lalu lanjut, “Apakah dia sudah tertangkap? Aku ingin dia merasakan dinginnya udara prodeo.”Karl yang duduk di sampingnya menatap Elena penuh kelemb
Panggilan pun berakhir. Gio berjalan masuk ke sebuah rumah kayu sederhana yang selama ini dia jadikan tempat persembunyian saat keadaan genting.Rumah itu tampak usang, dengan jendela tua yang berderit dan cat dinding yang mulai mengelupas. Dia masuk dengan langkah berat dan penuh amarah.“Ini semua gara-gara kau, Karl... Kalian harus hancur menggantikan aku!” gerutunya sambil melempar jaket ke lantai.Gio berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal, matanya menyala penuh dendam. Kariernya telah hancur, semua aset penting disita, dan perusahaan kebanggaannya kini berada di tangan Karl.Bahkan wanita yang dulu sangat ia inginkan, Elena, kini juga meninggalkannya.“Dasar wanita tidak tahu diuntung. Dulu saat aku berjaya, mendekat seperti ulet keket. Sekarang saat aku terpuruk, kau melesat laksana wurung walet! Sialan! Sungguh sial!”Suara pintu dibanting keras hingga seluruh kusen bergetar. Gio seperti kehilangan kendali. “Elena... harusnya kau masih milikku!”Tiba-tiba, ponselnya berder