“Kalau begitu saya permisi.” Vincent menunduk hormat sebelum melangkah keluar dari ruang kerja Karl, meninggalkan ruangan yang kini dipenuhi ketegangan seperti udara sebelum badai.Karl berbalik, matanya langsung tertuju pada Elena. Sosok wanita itu, yang berdiri anggun namun rapuh, membuat dadanya berdesir.“Ke mana saja kau, Elena? Kenapa nomormu tidak aktif? Kau mencoba menghindar dariku, hum?” tanyanya dengan nada yang mengintimidasi, langkahnya mendekat seperti seekor singa yang mengintai mangsanya.Aroma lembut vanilla yang khas menguar dari tubuh Elena, aroma yang selama ini membuat Karl tak bisa melupakannya. Tanpa sadar, ia mendekat lebih lagi, mengendus halus kulit putih wanita itu seperti seorang pria yang haus akan ketenangan.Elena mengangkat tangannya, menyerahkan dokumen berisi kontrak kerja sama mereka. Gerakannya tenang, tetapi tatapannya dipenuhi dengan tekad yang telah lama ia kumpulkan.“Apa ini, Elena?” tanya Karl, alisnya berkerut saat ia mulai membuka dokumen it
“Kau masih mau mengorbankan dirimu sementara Gio sendiri hanya memanfaatkanmu?” ucap Karl dengan nada tegas, memecah keheningan yang menggantung di antara mereka.Elena hanya bisa menangis. Kedua tangannya menggenggam ujung bajunya erat, seolah menahan semua rasa sakit yang telah lama ia pendam. Air matanya semakin deras, tetapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya.“Elena,” Karl berdiri di depannya, menatap wajahnya yang sembab. “Jangan melakukan hal itu. Kau tak perlu bertahan dengan Gio. Tidak setelah semua ini,” ucapnya lembut namun penuh tekanan.Elena menggigit bibirnya, berusaha keras menghentikan tangisannya. Ia menatap sayu ke arah Karl, matanya penuh kesedihan. “Aku...” Elena mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Akhirnya, ia menguatkan diri.“Gio sudah melakukannya, Karl. Dia menyetubuhiku tanpa... tanpa mengenakan apa pun. Bahkan dia menuduh kita telah selingkuh.”Karl terdiam, rahangnya mengeras mendengar pengakuan itu. Kepalan tangannya menunjukka
“Aku hanya bertanya karena aku ingin tahu,” Elena akhirnya membuka suara, meski suaranya sedikit bergetar. “Bahkan kau saja selalu mendesakku agar bicara jujur.”Karl menyunggingkan senyum tipis, senyum yang membuat Elena tidak nyaman. “Begitu, ya?” ucapnya singkat, menutup dokumen kontrak di hadapannya dengan gerakan santai, tetapi penuh otoritas. Tatapannya kemudian mengunci pada Elena, membuat wanita itu merasa semakin terpojok.“Berhenti menyerah, Elena. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja apalagi mengalah demi Gio,” katanya tegas, dengan nada yang tidak memberikan ruang untuk penolakan.Elena menggeleng pelan, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. “Bukan itu yang ingin aku bahas, Karl. Aku tahu ambisimu, dan aku tahu kau akan menjadikanku tawananmu. Tapi, pertanyaanku—kenapa—““Karena aku tidak mau dijodohkan,” potong Karl dengan nada dingin namun mantap. “Aku merasa bahwa aku tidak bisa memilih pasangan sendiri, sampai harus dijodohkan segala. Dan Ericka buka
“Apa yang sedang kau lakukan, Elena?” Suara Karl memecah keheningan dapur apartemennya yang dipenuhi aroma rempah-rempah dan rasa nostalgia yang samar.Karl melangkah mendekat, tubuhnya yang tegap terlihat kontras dengan kelembutan tatapan Elena yang terhenti di atas wajan.Sudah tiga hari ini Elena berlindung di apartemen Karl, melarikan diri dari Gio, suaminya yang terperangkap dalam dilema absurd: menginginkan anak darinya, tetapi tetap memilih mempertahankan hubungan dengan Jesika.Luka itu masih terasa segar di hati Elena, namun ia menutupi pedihnya dengan aktivitas di dapur yang selalu menghadirkan ketenangan.“Aku membuat salah satu menu yang kau berikan padaku, Karl,” ujarnya lembut, mengaduk masakan dengan gerakan yang hampir seperti tarian. “Kata Vincent, kau menyukai menu ini.”Karl menaikkan satu alis, senyumnya samar, lalu melangkah lebih dekat. Matanya menyisir isi wajan yang mengepul, membawa aroma harum yang menggelitik indra penciumannya.“Sudah berapa menu yang diber
“Kenapa kau beranggapan seperti itu? Hanya karena kita tinggal dalam satu atap yang sama?” tanya Karl, suaranya datar, namun tatapannya seperti bilah pedang yang perlahan menusuk ketenangan Elena.Wanita itu mengangguk pelan, seperti daun yang jatuh tertiup angin lemah. “Apa lagi kalau bukan karena itu? Bahkan selama dua hari aku di sini, yang kulakukan denganmu hanya bercinta, memuaskan hasrat—”“Kau tidak berhasrat saat melayaniku, hm?” potong Karl dengan suara rendahnya yang serupa gemuruh jauh di balik awan gelap.Elena menelan ludah dengan susah payah, kerongkongannya terasa sempit seperti diikat oleh perasaan bersalah dan rasa takut yang mengendap di dasar hatinya.Bohong jika dia tidak berhasrat. Setiap sentuhan Karl seperti bara yang menyala di tubuhnya, membakar logika yang terus-menerus mengingatkannya akan Gio.Namun pikirannya bercabang, penuh kecemasan yang melilitnya erat—bagaimana jika Gio tahu dia bersembunyi di apartemen Karl? Bagaimana jika pria itu membalasnya denga
“Kau hanya menginginkanku tanpa adanya ikatan hubungan? Itu maksudmu, Karl?”Suara Elena terdengar rendah, nyaris seperti bisikan yang ditelan oleh jarak yang begitu dekat di antara mereka.Tangannya refleks menahan pergerakan Karl yang hendak mendaratkan ciuman di bibirnya. Namun, tindakan itu justru membuat wajah mereka semakin dekat, terlalu dekat. Tatapan mereka bertemu—dua pasang mata yang saling memanah, memuntahkan emosi yang sulit diuraikan.Hembusan napas mereka bercampur, hangat dan bergetar, menciptakan ketegangan yang nyaris tak tertahankan.Karl menyunggingkan senyuman miring, senyuman yang selalu tampak penuh makna dan mematikan.Dengan lembut namun penuh kendali, tangannya meraih tangan Elena, mengangkatnya perlahan hingga wanita itu terkesiap. Sentuhan itu, meskipun sederhana, terasa seperti arus listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya.“Jangan bicara tentang ikatan hubungan,” ujar Karl, suaranya dalam dan bergetar seperti bariton yang bergema di ruang sunyi, “jika h
“Jangan terburu-buru, Elena. Santai saja.”Suara Karl terdengar ringan, tetapi setiap katanya seperti duri halus yang menancap di benak Elena. Pria itu mengenakan sepatu hitam mengilapnya dengan gerakan yang penuh keanggunan, seolah dunia tunduk di bawah kakinya.Tatapannya tajam, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang memprovokasi. Ia tahu betul bagaimana membuat Elena merasa gusar.“Kau akan selalu membutuhkanku apa pun bentuknya. Kita lihat saja nanti. Aku pergi dulu,” ucap Karl santai, tetapi nada suaranya seperti ancaman yang terselubung.Ia melangkah mendekat, membungkuk sedikit, seolah hendak mencium bibir Elena. Namun, di detik terakhir, ia mengurungkan niatnya.Sebuah senyuman miring menghiasi wajahnya, dan matanya berkilat penuh kemenangan. Elena hanya bisa berdiri di sana, bibirnya terkatup rapat, sementara emosi yang berkecamuk di dadanya hampir tak tertahankan.Karl berbalik dan pergi, meninggalkan Elena yang mengepalkan tangannya erat. Napasnya memburu, berusah
Gio melangkahkan kakinya ke ruang kerja Karl, setiap jejaknya menciptakan dentuman halus yang terasa lebih nyaring di ruang yang mencekam itu.Dingin udara ruang kerja itu bersekutu dengan ketegangan yang menggantung, menyelubungi tubuh Gio seperti kabut yang menyesakkan.Tatapan angkuhnya mengunci pada wajah Karl, yang baru saja menutup laptopnya dengan gerakan ringan seolah tak ada badai yang tengah merayap masuk.“Selamat datang, Tuan Gio yang terhormat.” Suara Karl mengalir lembut, namun ada sesuatu yang tajam di balik nadanya.Senyumnya terukir di bibir, tetapi itu bukan senyum keramahan—lebih seperti belati yang disembunyikan di balik sarung beludru. “Tidak biasanya kau datang kemari tanpa diundang.”Gio berdiri tegak, bayangannya meluas di lantai seperti sosok yang siap menyerang. “Aku sudah tahu semuanya, Karl. Tidak usah berpura-pura ramah padaku,” katanya, suaranya serendah bisikan badai sebelum hujan menghantam bumi.Matanya yang kelam memantulkan sesuatu yang hampir menyer
Tidak ada jawaban, hanya jeritan bahagia Elena yang membuat Maia terkejut. "Kau bahagia sekali, El. Ada apa di sana, kau dalam keadaan baik-baik saja dan sehat 'kan?"Elena langsung berteriak begitu keras hingga suara bahagianya terdengar melebihi jangkauan. Maia dengan cepat menjauhkan ponselnya dari telinga, namun setelah beberapa detik, ia mendekatkannya lagi, penasaran."Terbanglah ke Roma, Mai, jika kau ingin melihat keponakanmu lahir!" jerit Elena dengan kegirangan, suaranya pecah dengan kebahagiaan yang tak terkira.Maia terdiam beberapa saat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tubuhnya melompat kegirangan, seakan disambar petir. “Kau serius, El?” tanyanya, hampir tidak percaya."Heem," jawab Elena singkat namun penuh keyakinan.Di seberang sana, Maia terdiam sejenak, mencerna kata-kata sahabatnya. Takdir ternyata membawa mereka ke titik ini, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Kehidupan yang penuh dengan kejutan, dan kini sahabatnya, yang selama ini selalu ada u
Karl berdiri, menahan emosi. “Aku tidak peduli. Lakukan segera apa yang aku inginkan!”Namun suara lembut Elena memecah ketegangan, “Karl... jangan seperti itu dong. Biarkan semua berjalan normal, jangan memaksakan.”Karl menoleh dan menatap Elena yang kini sudah duduk di ranjang, wajahnya tenang, namun matanya penuh harap.Setelah perdebatan panjang dan beberapa pembicaraan tambahan, akhirnya pihak maskapai menyetujui perubahan jadwal dengan syarat tertentu. Karl menyetujui semuanya.Senyum puas mengembang di wajah Elena. Ia segera berdiri dan memeluk suaminya. “Yey, akhirnya bisa ke Roma... Yang baik dan nurut ya, Sayang,” bisiknya sambil mengusap perutnya yang masih rata namun telah membawa kehidupan.Karl membalas pelukannya, kemudian menatap perut Elena dengan perasaan campur aduk. “Perjalanan ini cukup jauh dan melelahkan, Sayang. Apakah tidak berbahaya?”Elena menggeleng dengan senyum penuh keyakinan. “Aku dalam keadaan sehat. Dokter juga bilang ini waktu yang masih aman. Dan k
Malam itu, langit dihiasi bintang dan bulan purnama menggantung dengan indah. Halaman belakang rumah Karl disulap menjadi pesta kecil nan hangat. Tema garden wedding mereka tampil sederhana namun elegan.Lampu-lampu gantung memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, bunga-bunga mekar di setiap sudut taman, dan aroma hidangan lezat memenuhi udara malam.Karl dan Elena berdiri di tengah-tengah, tangan saling menggenggam, mata saling menatap dalam. Tidak butuh pesta megah, karena cinta mereka telah cukup menjadi pusat perhatian.Di sisi lain, Maia berdiri dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Federick mendekat, berdiri di sampingnya. Ia tidak berkata banyak, hanya sesekali memandang Maia dengan sorot mata yang penuh misteri.Di antara tawa, doa, dan janji yang terucap malam itu, cinta Karl dan Elena pun diikat dalam sakralnya komitmen.Tanpa dendam masa lalu, tanpa luka yang menahan—hanya ada harapan, keteguhan, dan perjalanan baru yang segera dimulai.“Kau sangat cantik, El
“Sudahlah, kapan kalian melangsungkan pernikahan? Rasanya sudah waktunya, apalagi setelah semua yang kalian lewati.”Elena terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Tunggu semua selesai dan aku sudah boleh pulang.”Maia tersenyum dan mengangguk kecil. Keduanya pun larut dalam percakapan ringan soal rencana pernikahan Elena dan Karl, bercanda tentang tema pesta, gaun pengantin, dan siapa saja yang akan diundang.Namun di balik semua itu, mata Maia masih menyimpan kebingungan atas kata-kata Federick sebelumnya.Sementara itu, di sisi lain kota, Karl dan Federick sudah sampai di kantor kepolisian. Mereka berjalan cepat melewati lorong-lorong panjang dan redup hingga tiba di depan ruang interogasi.Begitu matanya menangkap sosok Gio di balik kaca satu arah, napas Karl langsung berubah berat. Tatapannya menggelap, penuh kebencian. Gio terlihat santai, bahkan nyaris tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Ia menjawab pertanyaan penyidik dengan malas, acuh tak acuh, bahkan seseka
“Sejak kapan wanitaku harus menatapmu dengan kelembutan?” balas Karl, nadanya tenang tapi tegas, nada kepemilikan yang tak bisa ditawar.Federick menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal, menghela napas pasrah atas protes Karl. “Bukan begitu maksudku… setidaknya kembalilah ke mode awal, jangan setegang ini. Kau tampak seperti hendak menginterogasiku.”Elena hanya menyeringai. Lalu tanpa memberi sinyal lain, bibirnya bergerak, melontarkan pertanyaan, “Di mana Maia?”Seketika Federick menghembuskan napas panjang, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Senyuman manis mengembang di wajahnya, “Di hatiku.”Elena hanya melirik sambil mengangkat alis, tidak menanggapi rayuan kecil itu dan langsung masuk pada topik utama.“Apakah kabar yang aku dengar benar bahwa pelaku utama adalah Gio? Lalu bagaimana kabarnya?”Ia menghela napas panjang, lalu lanjut, “Apakah dia sudah tertangkap? Aku ingin dia merasakan dinginnya udara prodeo.”Karl yang duduk di sampingnya menatap Elena penuh kelemb
Panggilan pun berakhir. Gio berjalan masuk ke sebuah rumah kayu sederhana yang selama ini dia jadikan tempat persembunyian saat keadaan genting.Rumah itu tampak usang, dengan jendela tua yang berderit dan cat dinding yang mulai mengelupas. Dia masuk dengan langkah berat dan penuh amarah.“Ini semua gara-gara kau, Karl... Kalian harus hancur menggantikan aku!” gerutunya sambil melempar jaket ke lantai.Gio berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal, matanya menyala penuh dendam. Kariernya telah hancur, semua aset penting disita, dan perusahaan kebanggaannya kini berada di tangan Karl.Bahkan wanita yang dulu sangat ia inginkan, Elena, kini juga meninggalkannya.“Dasar wanita tidak tahu diuntung. Dulu saat aku berjaya, mendekat seperti ulet keket. Sekarang saat aku terpuruk, kau melesat laksana wurung walet! Sialan! Sungguh sial!”Suara pintu dibanting keras hingga seluruh kusen bergetar. Gio seperti kehilangan kendali. “Elena... harusnya kau masih milikku!”Tiba-tiba, ponselnya berder
Keduanya berjalan bersisian menuju area parkir. Angin siang menerpa wajah mereka, namun langkah mereka tak goyah. Saat sampai di depan mobil masing-masing, mereka berhenti.Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kata yang langsung keluar. Hanya diam. Tapi bukan diam kosong.“Apakah Tuan Federick kembali ke rumah sakit?” tanya Vincent seraya menoleh singkat ke arah pria yang tengah membuka pintu mobilnya.“Iya, aku harus menjemput Maia. Dia kutinggalkan begitu saja di sana,” jawab Federick, suaranya terdengar sedikit menyesal.“Baiklah jika begitu, aku harus kembali ke perusahaan dan ke restoran baru milik Nona Elena,” jelas Vincent sambil membenahi jasnya yang sempat kusut.“Baik, jika begitu kita berpisah di sini. Selamat jalan, Vincent. Lancar selalu.”“Begitu juga dengan Anda, Tuan,” sahut Vincent, memberikan sedikit anggukan hormat sebelum Federick menutup pintu mobilnya.Federick pun segera melangkah menuju kendaraan pribadinya, membuka pintu, masuk, dan dalam sekejap mobilnya melaju
Karl tersenyum hangat. Ia mendekat, mengusap rambut Elena perlahan, lalu menatap matanya dalam-dalam, seakan tak ada lagi siapa pun di ruangan itu selain mereka berdua.“Bersabarlah dulu sebentar, Sayang. Kita selesaikan dulu masalah kebakaran restauran kamu. Satu atau dua bulan ke depan, semua pasti siap. Aku janji.”Elena mengangguk pelan. “Baik.”Mata Karl berbinar, dan ia pun bertanya dengan nada lebih ringan, mencoba mengangkat suasana, “Tema bagaimana yang kau inginkan untuk pernikahan kita nanti?”Elena terdiam beberapa saat, mengalihkan pandangannya dari Karl dan memutar kepala perlahan ke arah Maia yang masih berdiri tidak jauh dari ranjang.Tatapannya serius, mengiris keheningan dengan nada datar namun jelas, “Maia, bagaimana perkembangan kasus restoran kita?”Maia tersentak kecil. Ia tidak menyangka pertanyaan seberat itu akan muncul saat atmosfer sebelumnya masih hangat membahas pernikahan.Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menata jawaban, “Pindahan sudah beres… mengena
Pagi hari yang cerah menyambut dengan sinar lembut yang menembus celah tirai. Udara kamar inap menjadi lebih hangat, dan aroma makanan menyebar perlahan.Wajah Elena terlihat jauh lebih segar. Pucat memang masih tersisa, tapi ada semburat kehidupan yang kembali ke pipinya. Karl duduk di sampingnya, seperti sejak tadi malam, tak pernah benar-benar meninggalkan.Dengan penuh perhatian, Karl menyuapi Elena yang kini bersandar santai di atas bantal besar. Ia menatap wanita itu seolah Elena adalah harta paling berharga yang tak boleh tergores sedikit pun."Makan yang banyak, kau tahu, makanan ini aku sendiri yang buat!" ucap Karl dengan bangga, mengangkat sendok seperti seorang koki profesional yang baru saja menciptakan mahakarya.Elena mengerjap pelan, mengernyit kecil. "Sejak kapan kau bisa masak, Karl?""Sejak kau terbaring di sini," jawab Karl enteng, tersenyum.Namun Elena menyipitkan matanya, seakan tak mudah percaya."Tapi masakan ini... rasanya seperti dari restoranku. Aku tidak p