Malam telah larut, namun lampu di ruang tengah masih menyala dengan temaram. Karl duduk di atas sofa, bahunya sedikit merosot ke belakang, kepalanya bersandar pada sandaran kursi dengan mata yang menatap kosong ke arah langit-langit.Entah sudah berapa lama ia duduk di sana, membiarkan pikirannya tenggelam dalam lautan pemikiran yang tak berkesudahan.Langkah kaki yang ringan dan teratur terdengar mendekat. Karl menoleh pelan saat sosok perempuan yang begitu dikenalnya berhenti di hadapannya.“Kau sudah pulang, Karl?” suara lembut Elena memecah kesunyian, matanya menatap penuh kehangatan meski sedikit mengantuk.Karl tersenyum tipis, menyambut kehadiran perempuan itu dengan tatapan lembut. “Aku mengganggu tidurmu?” tanyanya, suaranya rendah namun hangat.Elena menggeleng pelan. Rambut panjangnya yang sedikit berantakan karena tidur masih tergerai di bahunya. “Tidak. Aku haus dan hendak mengambil minum lalu melihatmu sedang duduk di sini.”Karl kembali tersenyum, kali ini lebih halus,
"Kenapa kau masih mempertanyakan perasaanku untukmu, Elena? Apa kau seragu itu padaku?" tanyanya dengan suara yang lebih pelan dari biasanya, nyaris seperti bisikan yang tenggelam dalam derasnya hujan di luar sana.Elena menatapnya tanpa gentar, meskipun dadanya sesak oleh emosi yang selama ini ia pendam.Ia telah berulang kali bertanya pada dirinya sendiri—apa benar Karl mencintainya? Ataukah ia hanya sebatas keinginan yang tak pernah terungkap dalam kata-kata?"Apa selama ini kau pernah menyatakan cinta padaku? Tidak pernah, Karl," jawabnya, suaranya getir namun tetap tegas."Kau hanya memintaku tetap di sampingmu, memintaku agar menuruti semua perintahmu, menjadi tawananmu."Kata-kata itu akhirnya meluncur dari bibirnya, setelah sekian lama ia hanya menyimpannya dalam hati. Elena menarik napas dalam-dalam, seolah mencoba menenangkan gejolak di dadanya.Karl terdiam. Angin malam yang menyusup dari celah jendela yang sedikit terbuka seakan ikut menyelimuti kesunyian yang tiba-tiba h
Pernyataan mengejutkan itu membuat Elena terdiam. Seakan waktu berhenti berputar, bibirnya membeku tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun.Matanya menatap Karl dengan sorot tak percaya, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan pria itu.“Kau … benar-benar membuatku terkejut, Karl,” suaranya bergetar, hampir seperti bisikan. “Aku tidak menyangka jika selama ini kau juga mencintaiku, bahkan sejak lama.”Ada ketidakpastian dalam nada suaranya, seolah perasaannya sendiri tengah bergolak antara keterkejutan dan kesedihan yang mendalam. Betapa bodohnya ia, tidak menyadari apa yang sebenarnya ada di depan matanya selama ini.“Andai saja aku tahu itu lebih awal, pernikahanku dengan Gio mungkin tidak akan pernah terjadi.” Ucapannya sarat dengan penyesalan. Ada luka lama yang mendesak keluar dari balik suaranya.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Elena, jemarinya yang hangat mencoba mengirimkan ketenangan melalui sentuhan itu. Mata hitamnya menatap lekat,
Usia kandungan Elena telah memasuki dua bulan. Meski rasa bahagia mengaliri hatinya, kehamilan ini juga membawa tantangan tersendiri.Morning sickness kerap kali menyergapnya setiap pagi, membuat perutnya terasa mual hanya karena mencium aroma tertentu.Namun, Karl selalu sigap berada di sisinya, memastikan bahwa ia mendapatkan makanan yang tidak membuatnya ingin muntah.Tak hanya itu, pria itu bahkan rela bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan yang lembut di perut serta segelas susu hangat yang penuh nutrisi untuknya.Pagi ini, Elena menghampiri Karl yang tengah berdiri di depan cermin, mengenakan jam tangan di pergelangan kirinya.Sorot matanya teduh, namun tetap memancarkan ketegasan yang menjadi ciri khasnya."Karl, bisakah kau temani aku ke rumah sakit hari ini?" tanyanya dengan suara lembut.Karl menoleh, bibirnya sedikit melengkung membentuk senyum kecil. "Tentu saja. Aku baru saja hendak mengingatkanmu bahwa hari ini jadwal cek kandungan."Elena mengulas senyum. Hatinya me
Gio melangkah cepat menuju ruang kerja Elena. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup rapat, dan kedua tangannya terkepal.Napasnya memburu, seolah ada bara api yang siap meledak dalam dadanya. Tanpa ragu, ia menghempaskan daun pintu dengan kasar.Brak!Pintu terbuka lebar, menghantam dinding dengan keras, menggemakan suara yang memenuhi ruangan.Elena tersentak, matanya membulat dalam keterkejutan. Jemarinya yang tengah merapikan file-file di atas meja seketika berhenti, menggantung di udara.Sejenak, ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debaran dadanya yang mendadak berpacu.Tatapan mereka bertemu. Mata Gio membara, penuh kemarahan dan tuntutan. Sementara Elena, meskipun terkejut, tetap berusaha mempertahankan ketenangannya.“Ada apa lagi kau kemari, Gio?” Suaranya terdengar datar, namun jelas mengandung ketidaksenangan.Gio melangkah mendekat, napasnya memburu. Dalam sekali tarikan napas, ia menghunuskan pertanyaannya seperti belati tajam yang menusuk tanpa ampun.“Jawab d
"Berani-beraninya kau mengatakan itu padaku!"Gio kembali mengangkat tangannya, hendak memukul Elena kembali.Elena memejamkan mata, bersiap menerima tamparan yang kemungkinan besar akan membekas di pipinya.Tapi hantaman itu tak pernah datang. Sebuah genggaman kuat menahan pergelangan tangan Gio di udara.Karl.Tatapan pria itu tajam, penuh kebencian. Dengan gerakan cepat dan kasar, dia memuntir tangan Gio ke belakang hingga terdengar bunyi gemeretak dari sendi pria itu."AARGH!!" Gio menjerit kesakitan, tapi Karl tak peduli.Dengan kekuatan penuh, Karl menyeret tubuh Gio keluar dari ruangan itu, membuat Elena terperangah dengan mata membola.Tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena melihat bagaimana Karl—yang biasanya lebih tenang—kini diliputi amarah yang siap meledak."Masih berani kau datang kemari, hah?!" Karl meludahkan kata-katanya dengan nada penuh amarah.Tanpa menunggu jawaban, tinjunya melayang.BUGH! BUGH!Rahang Gio terhuyung ke samping, darah mulai mengal
Mata Ericka langsung membola. Ia bahkan sempat berpikir bahwa dirinya salah dengar."Apa? Elena … hamil?" suaranya meninggi, penuh keterkejutan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu."Hamil anak siapa? Jangan bilang selama masih menjadi istri Gio, dia bermain gila dengan Karl?"Jesika tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Tidak," ucapnya dengan nada meyakinkan, meski itu adalah kebohongan yang sudah ia rancang dengan sempurna."Elena sedang mengandung bayi Gio. Tapi, dia meminta pertanggungjawaban pada Karl. Sebab dia tahu, perusahaan Gio sedang di ambang kehancuran."Wajah Ericka memerah, matanya menyala penuh amarah. Tangannya mengepal begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih."Kurang ajar!" umpatnya, napasnya memburu. "Berani-beraninya wanita gila itu meminta Karl bertanggung jawab padahal bayi itu bukan miliknya!"Jesika berpura-pura menghela napas panjang, lalu menatap Ericka dengan sorot mata menusuk, seakan-akan ia adalah teman yang memahami penderitaan Ericka."Mak
Ericka melangkah lebih dekat, matanya menyipit tajam saat menatap Alma. Ia tidak suka menunggu, apalagi jika itu menyangkut masa depannya bersama Karl."Aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan setelah ini, kan? Aku dan Karl akan tetap menikah, kan?" suaranya dipenuhi tuntutan, seolah ia tidak akan menerima jawaban selain "ya."Alma tetap diam. Tatapannya menusuk ke arah Ericka, seakan menimbang sesuatu di dalam kepalanya. Ia paham ambisi Ericka terhadap Karl, tapi baginya, ada hal yang lebih penting saat ini.Melihat Alma tidak segera menjawab, Ericka menggertakkan giginya, mulai kehilangan kesabaran. "Bibi. Kenapa kau diam saja? Kau akan menikahkan aku dengan Karl, kan?" tanyanya lagi, kali ini lebih menekan.Alma akhirnya menghela napas panjang, lalu menatap Ericka dengan ekspresi datar namun penuh arti."Tentu saja," katanya akhirnya. "Tapi, untuk saat ini fokusku adalah memisahkan wanita sialan itu dari Karl. Aku tidak rela memiliki menantu
Tidak ada jawaban, hanya jeritan bahagia Elena yang membuat Maia terkejut. "Kau bahagia sekali, El. Ada apa di sana, kau dalam keadaan baik-baik saja dan sehat 'kan?"Elena langsung berteriak begitu keras hingga suara bahagianya terdengar melebihi jangkauan. Maia dengan cepat menjauhkan ponselnya dari telinga, namun setelah beberapa detik, ia mendekatkannya lagi, penasaran."Terbanglah ke Roma, Mai, jika kau ingin melihat keponakanmu lahir!" jerit Elena dengan kegirangan, suaranya pecah dengan kebahagiaan yang tak terkira.Maia terdiam beberapa saat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tubuhnya melompat kegirangan, seakan disambar petir. “Kau serius, El?” tanyanya, hampir tidak percaya."Heem," jawab Elena singkat namun penuh keyakinan.Di seberang sana, Maia terdiam sejenak, mencerna kata-kata sahabatnya. Takdir ternyata membawa mereka ke titik ini, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Kehidupan yang penuh dengan kejutan, dan kini sahabatnya, yang selama ini selalu ada u
Karl berdiri, menahan emosi. “Aku tidak peduli. Lakukan segera apa yang aku inginkan!”Namun suara lembut Elena memecah ketegangan, “Karl... jangan seperti itu dong. Biarkan semua berjalan normal, jangan memaksakan.”Karl menoleh dan menatap Elena yang kini sudah duduk di ranjang, wajahnya tenang, namun matanya penuh harap.Setelah perdebatan panjang dan beberapa pembicaraan tambahan, akhirnya pihak maskapai menyetujui perubahan jadwal dengan syarat tertentu. Karl menyetujui semuanya.Senyum puas mengembang di wajah Elena. Ia segera berdiri dan memeluk suaminya. “Yey, akhirnya bisa ke Roma... Yang baik dan nurut ya, Sayang,” bisiknya sambil mengusap perutnya yang masih rata namun telah membawa kehidupan.Karl membalas pelukannya, kemudian menatap perut Elena dengan perasaan campur aduk. “Perjalanan ini cukup jauh dan melelahkan, Sayang. Apakah tidak berbahaya?”Elena menggeleng dengan senyum penuh keyakinan. “Aku dalam keadaan sehat. Dokter juga bilang ini waktu yang masih aman. Dan k
Malam itu, langit dihiasi bintang dan bulan purnama menggantung dengan indah. Halaman belakang rumah Karl disulap menjadi pesta kecil nan hangat. Tema garden wedding mereka tampil sederhana namun elegan.Lampu-lampu gantung memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, bunga-bunga mekar di setiap sudut taman, dan aroma hidangan lezat memenuhi udara malam.Karl dan Elena berdiri di tengah-tengah, tangan saling menggenggam, mata saling menatap dalam. Tidak butuh pesta megah, karena cinta mereka telah cukup menjadi pusat perhatian.Di sisi lain, Maia berdiri dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Federick mendekat, berdiri di sampingnya. Ia tidak berkata banyak, hanya sesekali memandang Maia dengan sorot mata yang penuh misteri.Di antara tawa, doa, dan janji yang terucap malam itu, cinta Karl dan Elena pun diikat dalam sakralnya komitmen.Tanpa dendam masa lalu, tanpa luka yang menahan—hanya ada harapan, keteguhan, dan perjalanan baru yang segera dimulai.“Kau sangat cantik, El
“Sudahlah, kapan kalian melangsungkan pernikahan? Rasanya sudah waktunya, apalagi setelah semua yang kalian lewati.”Elena terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Tunggu semua selesai dan aku sudah boleh pulang.”Maia tersenyum dan mengangguk kecil. Keduanya pun larut dalam percakapan ringan soal rencana pernikahan Elena dan Karl, bercanda tentang tema pesta, gaun pengantin, dan siapa saja yang akan diundang.Namun di balik semua itu, mata Maia masih menyimpan kebingungan atas kata-kata Federick sebelumnya.Sementara itu, di sisi lain kota, Karl dan Federick sudah sampai di kantor kepolisian. Mereka berjalan cepat melewati lorong-lorong panjang dan redup hingga tiba di depan ruang interogasi.Begitu matanya menangkap sosok Gio di balik kaca satu arah, napas Karl langsung berubah berat. Tatapannya menggelap, penuh kebencian. Gio terlihat santai, bahkan nyaris tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Ia menjawab pertanyaan penyidik dengan malas, acuh tak acuh, bahkan seseka
“Sejak kapan wanitaku harus menatapmu dengan kelembutan?” balas Karl, nadanya tenang tapi tegas, nada kepemilikan yang tak bisa ditawar.Federick menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal, menghela napas pasrah atas protes Karl. “Bukan begitu maksudku… setidaknya kembalilah ke mode awal, jangan setegang ini. Kau tampak seperti hendak menginterogasiku.”Elena hanya menyeringai. Lalu tanpa memberi sinyal lain, bibirnya bergerak, melontarkan pertanyaan, “Di mana Maia?”Seketika Federick menghembuskan napas panjang, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Senyuman manis mengembang di wajahnya, “Di hatiku.”Elena hanya melirik sambil mengangkat alis, tidak menanggapi rayuan kecil itu dan langsung masuk pada topik utama.“Apakah kabar yang aku dengar benar bahwa pelaku utama adalah Gio? Lalu bagaimana kabarnya?”Ia menghela napas panjang, lalu lanjut, “Apakah dia sudah tertangkap? Aku ingin dia merasakan dinginnya udara prodeo.”Karl yang duduk di sampingnya menatap Elena penuh kelemb
Panggilan pun berakhir. Gio berjalan masuk ke sebuah rumah kayu sederhana yang selama ini dia jadikan tempat persembunyian saat keadaan genting.Rumah itu tampak usang, dengan jendela tua yang berderit dan cat dinding yang mulai mengelupas. Dia masuk dengan langkah berat dan penuh amarah.“Ini semua gara-gara kau, Karl... Kalian harus hancur menggantikan aku!” gerutunya sambil melempar jaket ke lantai.Gio berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal, matanya menyala penuh dendam. Kariernya telah hancur, semua aset penting disita, dan perusahaan kebanggaannya kini berada di tangan Karl.Bahkan wanita yang dulu sangat ia inginkan, Elena, kini juga meninggalkannya.“Dasar wanita tidak tahu diuntung. Dulu saat aku berjaya, mendekat seperti ulet keket. Sekarang saat aku terpuruk, kau melesat laksana wurung walet! Sialan! Sungguh sial!”Suara pintu dibanting keras hingga seluruh kusen bergetar. Gio seperti kehilangan kendali. “Elena... harusnya kau masih milikku!”Tiba-tiba, ponselnya berder
Keduanya berjalan bersisian menuju area parkir. Angin siang menerpa wajah mereka, namun langkah mereka tak goyah. Saat sampai di depan mobil masing-masing, mereka berhenti.Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kata yang langsung keluar. Hanya diam. Tapi bukan diam kosong.“Apakah Tuan Federick kembali ke rumah sakit?” tanya Vincent seraya menoleh singkat ke arah pria yang tengah membuka pintu mobilnya.“Iya, aku harus menjemput Maia. Dia kutinggalkan begitu saja di sana,” jawab Federick, suaranya terdengar sedikit menyesal.“Baiklah jika begitu, aku harus kembali ke perusahaan dan ke restoran baru milik Nona Elena,” jelas Vincent sambil membenahi jasnya yang sempat kusut.“Baik, jika begitu kita berpisah di sini. Selamat jalan, Vincent. Lancar selalu.”“Begitu juga dengan Anda, Tuan,” sahut Vincent, memberikan sedikit anggukan hormat sebelum Federick menutup pintu mobilnya.Federick pun segera melangkah menuju kendaraan pribadinya, membuka pintu, masuk, dan dalam sekejap mobilnya melaju
Karl tersenyum hangat. Ia mendekat, mengusap rambut Elena perlahan, lalu menatap matanya dalam-dalam, seakan tak ada lagi siapa pun di ruangan itu selain mereka berdua.“Bersabarlah dulu sebentar, Sayang. Kita selesaikan dulu masalah kebakaran restauran kamu. Satu atau dua bulan ke depan, semua pasti siap. Aku janji.”Elena mengangguk pelan. “Baik.”Mata Karl berbinar, dan ia pun bertanya dengan nada lebih ringan, mencoba mengangkat suasana, “Tema bagaimana yang kau inginkan untuk pernikahan kita nanti?”Elena terdiam beberapa saat, mengalihkan pandangannya dari Karl dan memutar kepala perlahan ke arah Maia yang masih berdiri tidak jauh dari ranjang.Tatapannya serius, mengiris keheningan dengan nada datar namun jelas, “Maia, bagaimana perkembangan kasus restoran kita?”Maia tersentak kecil. Ia tidak menyangka pertanyaan seberat itu akan muncul saat atmosfer sebelumnya masih hangat membahas pernikahan.Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menata jawaban, “Pindahan sudah beres… mengena
Pagi hari yang cerah menyambut dengan sinar lembut yang menembus celah tirai. Udara kamar inap menjadi lebih hangat, dan aroma makanan menyebar perlahan.Wajah Elena terlihat jauh lebih segar. Pucat memang masih tersisa, tapi ada semburat kehidupan yang kembali ke pipinya. Karl duduk di sampingnya, seperti sejak tadi malam, tak pernah benar-benar meninggalkan.Dengan penuh perhatian, Karl menyuapi Elena yang kini bersandar santai di atas bantal besar. Ia menatap wanita itu seolah Elena adalah harta paling berharga yang tak boleh tergores sedikit pun."Makan yang banyak, kau tahu, makanan ini aku sendiri yang buat!" ucap Karl dengan bangga, mengangkat sendok seperti seorang koki profesional yang baru saja menciptakan mahakarya.Elena mengerjap pelan, mengernyit kecil. "Sejak kapan kau bisa masak, Karl?""Sejak kau terbaring di sini," jawab Karl enteng, tersenyum.Namun Elena menyipitkan matanya, seakan tak mudah percaya."Tapi masakan ini... rasanya seperti dari restoranku. Aku tidak p