Mendung menggelayut manja di langit pagi itu. Udara dingin perlahan membekap dan menyeruak di antara para pelayat yang datang ke area pemakaman. Tak ada air mata yang tampak mengiringi kepergian seorang wanita berparas cantik itu. perlahan, rintik turun membasahi bumi, mengisyaratkan bagaimana kewsedihan tengah menyelimuti orang-orang yang menghadiri pemakamannya.Aneska menggamit erat lengan Elvano yang berdiri sambil berpegangan pada kruk. Kacamata htam yang bertengger di hidungnya, mengaburkan gurat kesedihan yang membayangi selama prosesi pemakaman berlangsung. Sementara, di sebelahnya pria dengan manik mata biru itu menatap lurus gundukan tanah merah yang basah di depannya. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya, tampak gurat kekecewaan yang kentara.Bersama pelayat yang pergi meninggalkan area pemakaman, Elvano berjalan tertatih menuju mobil bersama Aneska. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya hingga sampai di dalam kendaraan.Aneska menggenggam erat jema
Shanka kembali muntah dan membasahi ranjang. Dia menangis karena kerongkongannya sakit. Sambil menahan lemas di tubuh, dia menatap orang tuanya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kita ke kamar mandi buat basuh tubuh kamu, ya? Biar Bunda yang bersihin ranjangnya.”Elvano memapah sang anak menuju kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantinya dengan baju yang bersih. Sementara, Aneska mengganti seprai dan segera membersihkannya. Lalu, membawa semua baju kotor itu ke tempat cuci sebelum kembali untuk melihat Shanka yang terbaring lemas di kamarnya.“Shanka bagaimana, Mas?”“Aku sudah memberi minyak angin dan mengurut punggungnya. Sepertinya sudah agak tenang. Mudah-mudahan dia bisa tidur setelah ini.”“Syukurlah kalau begitu.”Bertepatan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Aneska menoleh dan mendapati Bi Minah sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu mendekat dan tersenyum.“Ada apa, Bi?”“Di bawah ada orang yang mau terapi Tuan, Nyonya.”“Makasih, ya, Bi. Tolong buatkan minum
Kehidupan pernikahan Aneska dan Elvano makin penuh kehangatan usai semua halangan yang sempat menghadang menghilang. Tinggallah kebahagian yang tengah melingkupi. Shanka makin aktif dan pintar di sekolah, janin kembar yang ada dalam kandungan Aneska juga berkembang dengan baik dan sehat. Dua hal itu yang membuat Elvano makin menyayangi anak dan istrinya.Usai sembuh dari sakitnya dan pulih, Elvano kembali menyambangi perusahaan The Golden Grup dan mengawasi anak buahnya. Dia juga melebarkan usaha di beberapa bidang untuk menambah pundi-pundi rekeningnya.Hubungannya dengan berbagai relasi bisnis berjalan dengan baik, sehingga bisnis yang dijalankan Elvano mengalami kemajuan dengan pesat. Namun, dia tidak mau silau dengan semua kekayaan yang didapat. Pria itu selalu menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Semua itu tak luput dari perhatian Aneska yang selalu mengingatkannya.“Aku sudah engagk punya orang tua lagi, Mas. Aku merasakan b
“Papa mau kamu menikah dengan Elvano!” Aneska terkesiap mendengar kalimat yang terlontar dari pria yang menjadi cinta pertamanya itu. Ada banyak tanya yang bercokol dalam tempurung kepalanya, tetapi tak ada daya untuk sekadar mengeluarkan suara. Mulutnya terkatup rapat dan memilih untuk beranjak. Namun, kalimat berikutnya yang dilontarkan pria itu berhasil menghentikan langkah Aneska. “Kalau kamu tidak mau menikah dengan Elvano, Papa akan masuk penjara, Nes.” Aneska bergeming sesaat sebelum kembali menatap sang ayah. Dia kembali mengempaskan tubuh di sofa dan tersenyum getir. Gadis dengan rambut sepunggung itu tersenyum tipis sambil menggeleng. “Apa maksud Papa? Anes enggak ngerti, Pa?” Pria yang berusia hampir setengah abad itu menghela napas panjang sebelum bangkit untuk mendekati anak semata wayangnya. Dia merengkuh tubuh kurus sang anak dan mencium kepalanya. Namun, belum sempat membuka kata, terdengar suara pintu diketuk. “Biar Papa saja yang buka pintunya.” Aneska memaku
Aneska menatap lekat manik mata biru milik Elvano setelah mendengar ucapan yang terlontar dari bibirnya. Dia mengerjap pelan dan mencerna setiap kalimat yang terdengar rungunya. Melihat gadis itu masih bungkam, Elvano kembali mengulang ucapannya. “Menikahlah denganku, maka semua utang Andi akan aku anggap lunas!” Aneska menunduk dalam. Dia menganyam jemari sambil berulang kali menghela napas berat. Jujur, dia bingung harus mengambil keputusan bagaimana. Dia bergeming cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menatap Elvano. “Apakah tidak ada solusi lainnya, Pak? Jujur, saya masih belum ingin menikah.” “Apakah Andi tidak mengatakan apa pun kepadamu?” Melihat Aneska mengernyit heran, Elvano menggeleng lemah sambil tersenyum mengejek. “Andi sudah menyanggupi kalau tidak bisa mengembalikan uang perusahaan, maka kamu yang akan menjadi jaminannya.” “Maksudnya, Pak? Saya dijual Papa demi menutupi utang itu?” Melihat Elvano mengangguk, lemas sudah sekujur tubuh Aneska. Dia tidak menyan
“Apa yang kamu lakukan, Mas?” Aneska mengelap bibir setelah Elvano mencuri ciuman darinya dengan kasar. Dia menatap jijik sang suami yang tergelak di depannya. Dia terus menatap sang suami yang menyunggingkan senyum mengejek sebelum berjalan sempoyongan sambil menaiki tangga. Gadis itu menghela napas berat sebelum memasuki kamar dan kembali mengelap kasar bibirnya. Bayangan Elvano yang menciumnya kembali berkelebat di kepala, ditambah dengan bau alkohol yang tercium membuat gadis itu merasakan mual. Lelah mengeja sikap sang suami yang berubah, Aneska memilih segera merebah dan memejamkan mata hingga suara alarm terdengar tiga jam kemudian. Dia bergegas turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Dua porsi nasi goreng dengan telur mata sapi telah terhidang di meja bertepatan dengan Elvano yang terlihat menuruni tangga sambil mengaitkan kancing jas biru tuanya. “Sarapan dulu, Mas.” Aneska memasang senyum semanis mungkin untuk menyambut sang suami di meja makan
“Ada hubungan apa kamu sama dia, Mas?”Elvano tak menggubris ucapan Aneska. Dia meneruskan langkah sambil memapah wanita yang memakai dres di bawah lutut berwarna ungu muda. Wanita itu tampak pucat dan berjalan sambil memegang perutnya. Merasa diabaikan, Aneska mencekal lengan suaminya. “Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Dia siapa?” “Apa penting sekarang aku jawab pertanyaanmu? Dia sedang kesakitan.” “Tapi aku berhak tahu, Mas. Aku ini istrimu.” Elvano menggeram kesal sebelum menepis kasar tangan Aneska. Lalu, meneruskan langkah sambil memapah wanita dengan rambut sepunggung itu. Sekilas, Aneska bisa melihat tatapan penuh kemenangan yang diperlihat wanita itu saat berbelok sebelum menghilang di balik pintu kaca. Aneska menjerit dalam hati karena sakit melihat sikap sang suami yang begitu mengkhawatirkan wanita lain. Apakah dia juga bisa merasakan hal itu mengingat semua perkataan dan sikap Elvano yang begitu dingin, bahkan sudah ditunjukkan sejak pertama kali menikahinya. Aneska
“Kalau kamu mencintainya, kenapa mau menikahi aku, Mas?” “Mazaya terlalu sibuk dengan kariernya, sedangkan aku butuh istri dalam waktu cepat. Saat ada yang menawarkan anak gadisnya, salahkah kalau aku menerimanya?"Aneska menelan ludah yang terasa kelat di tenggorokan. Impian bisa membina rumah tangga bahagia seperti pasangan pengantin baru lainnya pupus sudah. Lelaki yang diharapkan bisa membawanya ke lembah kenikmatan, justru menusukkan belati tepat di hatinya. Aneska terguguk sambil mencengkeram erat baju bagian depannya. “Kenapa? Merasa tersakiti? Tapi itulah kenyataannya. Aku menikahimu hanya untuk mendapatkan hak waris dan peralihan saham The Golden Grup."Aneska segera menyusut air matanya sebelum menoleh kepada sang suami yang menatapnya sinis. Ada begitu banyak luka yang ditorehkan pria itu, tetapi Aneska meyakinkan diri bahwa semua itu hanya sementara. Elvano pasti akan berubah seiring berjalannya waktu. Ya, dia hanya perlu bersabar dan bertahan. “Apakah setelah mendapatka