“Pak,” sebut Arumi dengan mata terbelalak kaget.
“Itu tidak perlu. Jika ingin belikan, lebih baik untuk Luna saja.” Wanhan tak mendengarkan dirinya sama sekali, tetap menyuruh pegawai dengan lirikan mata. “Mari, Bu. Ikut dengan saya untuk memilih!” pinta pegawai. “Tidak perlu,” Wanhan langsung menolak. “Kamu saja yang pilihkan.” Kalau Arumi sampai ikut, jangankan mencoba pakaian memilihnya saja pasti tidak akan dilakukan. Wanhan tidak bisa memasrahkan pakaian pada Arumi. “Baik, Pak.” Pegawai tersebut mulai meninggalkan mereka bertiga. Arumi memandang Wanhan sedikit kesal. “Apa? Diberikan hadiah harusnya kamu senang, bukannya tidak tahu terima kasih begini,” sindir Wanhan pelan, tentu takut Luna ikut dengar. Arumi menarik napas. “Jangan keluarkan uang Bapak, saya tidak sanggup menerimanya.” Tidak ingin meladeni Arumi, Wanhan lebih memilih berkeliling untuk mencarikan pakaian yang cocok untuk Luna. “Luna ke mari! Ikut dengan ayah memilih baju.” Amat ragu Luna berjalan mendekati Wanhan, namun Luna mulai meninggalkan Arumi setelah mata menatap padanya. “Kenapa dia harus boros begitu untukku juga,” keluh Arumi pelan sembari mengikuti mereka berdua. Usai berbelanja, mereka bertiga makan bersama di sebuah restoran. Awal mulanya ingin menempati rooftop, memandang langit malam dipenuhi bintang. Namun, angin yang tak bersahabat membuat Wanhan mengurungkan niat itu. Hingga mereka hanya bisa duduk di dalam restoran. “Bunda, Luna tidak tahu cara makannya,” ujar Luna pelan. Wanhan yang mendengar hal itu, langsung bicara, “ayah akan menyuapi Luna.” “Tidak perlu, Pak. Bapak kan dari tadi belum makan, biar saya saja yang menyuapi Luna.” Wanhan mengalah dan membiarkan Arumi melakukannya. Sejujurnya dia telah makan bersama sang kakek, namun melihat pakaian lusuh istri dan anak membuat Wanhan berinisiatif mengajak keluar. Dari kejauhan, nampak seorang pria menajamkan mata demi bisa melihat sosok Arumi yang dikenal. “Wah, si murahan.” Lelaki bernama Satrio itu memasuki restoran, langkah begitu pasti dan berdiri di belakang Wanhan. Tangan Arumi langsung berhenti dari kegiatan menyuapi Luna, sementara putrinya terburu turun dari kursi hanya untuk bersembunyi di belakang tubuhnya. Wanhan menyadari perubahan mereka berdua langsung menoleh ke belakang. Dahi dia mengerut karena tidak mengenali lelaki yang sedang tersenyum sinis ke arah Arumi. “Sepertinya kamu berhasil menggaet pria kaya, ya?” Satrio memandangi penampilan Wanhan yang berkelas. “Kamu sebagai pria jangan mau dengan wanita murahan ini. Dia sering tidur dengan banyak pria, nominalnya pun murah,” lanjut Satrio dengan tangan menunjuk Arumi. Arumi tak tahan dengan Satrio yang datang-datang malah merendahkan dirinya. “Cukup!” Melihat Luna yang masih ketakutan membuat Wanhan berdiri dari duduk. “Arumi, bawa Luna ke dalam mobil.” Wanhan menyerahkan kunci mobil yang langsung ditanggapi oleh Arumi. Dirinya bawa Luna pergi, Satrio yang hendak menyusul kepergiannya langsung dicegah oleh Wanhan. “Siapa kamu? Berani sekali merendahkan Arumi.” Satrio tersenyum. “Aku? Aku ini mantan kekasihnya. Dia itu wanita malam, suka gonta-ganti pasangan. Hamil di luar nikah pula!” Wanhan menyeringai, dia paling kesal dengan lelaki bermulut ringan. Entah fakta atau bukan yang terucap, tapi Wanhan langsung memukul Satrio. “Sial!” gerutu Satrio. Lelaki tersebut bangkit dan ingin memukul balik Wanhan. Namun, satpam yang cekatan itu bergegas mendekat dan mencekal tubuh Satrio yang disadari telah mengacau tamu. “Tangkap dia sebelum aku yang tangkap dan membuatnya mendekam di jeruji besi,” ujar Wanhan dengan mata memandang menang. Satrio memberontak dari cekalan satpam karena melihat Wanhan yang mulai meninggalkan restoran. *** Tengah malam, Wanhan tak kunjung tertidur. Dia kepikiran omongan lelaki yang mengaku mantan Arumi, mengatakan kalau istri dia seorang wanita malam. Banyak lelaki yang keluar masuk dari tubuh Arumi. Hal itu membuat Wanhan tersenyum sinis. “Benar. Kakaknya saja wanita malam yang menggoda kak Valdi, Arumi tidak jauh beda.” “Aku yang lengah.” Wanhan lanjut meneguk habis satu gelas berisi alkohol yang baru dia isi lagi. Sementara itu, Arumi yang terbangun dari tidurnya berniat menuruni anak tangga untuk mengambil minum. Namun, ia menemukan Wanhan sedang minum-minuman di ruang tengah. Terburu Arumi berjalan mendekati untuk berkomentar. “Pak. Malam-malam Anda minum, bagaimana kalau Luna bangun dan mendapati kelakuan ayahnya?” Komentar itu membuat Wanhan menoleh dan menertawakan Arumi. “Siapa kamu? Berani mengomentari kelakuanku?” Arumi membisu karena menyadari Wanhan telah dikuasai oleh alkohol. Arumi memilih melanjutkan langkahnya untuk mengambil minum. “Berapa tarif kamu semalam?” Namun, pertanyaan itu membuat tubuh Arumi membeku. “Maksud Bapak apa?” Wanhan mulai bangun dari duduk dengan bibir masih menertawakan Arumi yang berpura polos. “Sebagai wanita malam, kamu terbiasa mematok harga. Jadi, jangan berpura bodoh di depanku.” Mata Arumi berkaca, bukan hanya orang lain yang menuduh dirinya. Bahkan lelaki yang telah resmi menjadi suaminya pun, turut menghina dirinya. “Saya bukan wanita murahan,” elaknya cepat. Wanhan tersenyum sinis, tubuh dia makin mendekati Arumi. Alkohol yang sepenuhnya menguasai, membuat Wanhan kehilangan kendali dan membawa Arumi ke kamar milik dia. “Pak! Kenapa Anda membawa saya ke sini?” Jelas Arumi berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan Wanhan. Namun, tubuhnya disudutkan pada dinding dengan Wanhan menghimpitnya. “Kamu dinikahi dengan mahar yang besar, cukup untuk disentuh beberapa malam, kan?” Arumi sedikit menghindar karena aroma mulut Wanhan yang tidak mengenakan menurutnya. Namun, Wanhan mencengkram dagunya dan mencium paksa. “Pak! Sadarlah!” Arumi memukuli dada suaminya. Namun, Wanhan sama sekali tak ada niatan untuk berhenti. “Diamlah! Luna bisa mendengar suaramu.” Wanhan ingin tahu, seberapa murahannya Arumi di bawah sana. Konon, banyak lelaki yang pernah mencicipi. Wanhan selaku suami tidak boleh kalah. Wanita malam yang tidak pernah disentuh suami sendiri, menurut Wanhan itu terlalu lucu. “Pak kendalikan diri Anda!” Wanhan menyeret Arumi ke atas ranjang dan mencoba melepaskan paksa celana miliknya. Arumi menjerit atas kelakuan dari suaminya ini. Ketidak sabaran membuat dia membungkam mulut Arumi agar tidak bersuara. Tangan dia yang lain begitu cekatan menurunkan celana sendiri dan menuntun di bawah sana untuk bersatu dengan Arumi. Wanhan mengerutkan dahi, Arumi yang susah ditembus dalam sekali coba. “Bukankah kamu wanita malam?” Perlahan Wanhan melepaskan tangan dari mulut Arumi. Terdengarlah isak tangis pelan dari sang istri. Rasa tidak percaya membuat Wanhan ingin mencoba sekali lagi. Namun, Wanhan berakhir dengan rasa bersalah ketika tangis Arumi makin terdengar kesakitan. Terlebih darah segar yang mengalir menodai ranjang. “Arumi,” sebut Wanhan dengan suara pelan.Wanhan memandang mata Anggara dengan sedikit terkejut. "Maksud Kakek apa?"Anggara menghela napas kesal. "Kakek melihat dengan mata kepala sendiri! Arumi membicarakan kandungannya dengan lelaki lain."Wanhan mengernyitkan dahi. "Apakah dia tinggi dan pakaiannya kemeja motif?"Seingat Wanhan, lelaki yang sok baik dan akrab dengan Arumi hanya Rehan seorang. "Bagaimana kamu bisa tahu?" Anggara terlihat kaget karena cucu sendiri malah tahu.Helaan napas Wanhan pun terdengar berat. Sudah dia duga, kalau hanya Rehan yang dekat dengan Arumi. Sementara Anggara justru terlihat makin marah."Kamu kenal lelaki itu, tapi kamu malah diam saja dan merelakan Arumi!"Wanhan hanya diam saja. Sekali pun tangan dia mengepal karena kesal, mendengar ada yang tahu soal kehamilan Arumi selain keluarga. Terlebih orangnya lelaki yang menyukai istri dia."Berhubung Kakek baik saja dan ditangani dokter, aku akan kembali pulang," Wanhan langsung pamit.Anggara kaget mendengar omongan dari cucu kesayangan."Eh!
"Jadi, Luna dijemput oleh kak Airin dan diajak pergi?"Setelah suasana tenang, Arumi duduk di ruang tengah dengan Luna di pelukannya. Wanhan yang duduk di depan mereka berdua mengangguk pelan.Arumi memandang sembari mengusap kepala Luna dengan lembut. "Luna dipaksa atau ikut sendiri?""Ikut sendiri," sahut Luna sembari bersembunyi di tubuhnya."Maaf ya, Bunda."Jemari Arumi masih mengusap. "Tidak apa. Tapi, lain kali harus tunggu bibi atau paman sopir kalau mau ikut sama tante, ya."Kepala Luna mengangguk pelan. Wanhan memandang padanya yang bisa dengan tenang saat bicara. "Ayah sudah minta maaf sama Luna? Begitu pun sebaliknya.""Sudah," sahut Luna dan Wanhan hampir bersamaan.Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Menurutnya Airin berhak jika ingin bertemu dengan Luna, toh wanita itu ibu kandung dari Luna. Bedanya Airin pasti ada tujuan tertentu sampai menemui Luna, seperti halnya menginginkan uang lebih banyak. Arumi paham kenapa Wanhan bisa sampai marah."Nah, sekarang Lun
Matahari yang mulai bersiap untuk tenggelam satu jam lagi, terlihat Arumi memasuki mobil milik Wanhan yang terparkir cukup jauh dari kantor.Namun, Arumi merasa ada yang tidak beres dengan suaminya. Biarpun Wanhan mulai mengemudikan mobil, suaminya ini terlihat diam membisu dengan raut wajah yang menahan amarah."Ada apa, Mas? Apa di kantor sedang ada masalah?" Arumi langsung bertanya.Wanhan menoleh. "Tidak ada."Jawaban singkat dan raut wajah yang masih belum berubah membuat Arumi yakin, kalau suaminya ini sedang kesal."Apa aku yang buat masalah?""Kamu tidak buat masalah apa pun."Arumi jadi heran. "Kalau bukan masalah di kantor, bukan karena aku juga. Terus kenapa Mas kelihatan kesal begini?"Wanhan pun melirik wajah sendiri di spion. Memang kemarahan dia tidak bisa disembunyikan. Wanhan menarik napas dan berusaha untuk menenangkan diri."Aku tidak kesal atau marah kok, Arumi."Kepala Arumi mengangguk. "Baiklah."Meski penasaran, tapi Arumi tidak mungkin terus mendesak Wanhan unt
"Ya?" Wanita tersebut berusaha mencerna ucapan dari Wanhan. "Maksud Bapak, Arumi bersuami dan sudah menikah?" Kepala Wanhan mengangguk membenarkan. Pandangan wanita tersebut tertuju pada Wanhan dengan pemikiran yang buruk. "Arumi sedang mengandung dan sudah bersuami, lalu Bapak masih mendekatinya?" Wanita tersebut bertanya dengan hati-hati. "Itu anakku." Pengakuan itu berhasil membuat ketua divisi Arumi menahan napas sejenak. Merasa dugaan yang buruk ternyata benar adanya. Arumi wanita yang murahan. Sudah tahu bersuami, tapi masih berselingkuh dengan atasan sendiri di kantor. Melihat karyawan dia yang hanya diam, tak memberikan reaksi terkejut membuat Wanhan berbicara lagi. "Sepertinya kamu masih belum paham ya." "Soal apa, Pak?" Wanhan menarik napas. "Aku suami Arumi itu, jadi sangat wajar kalau aku yang menghamilinya." Begitu mendengar pengakuan lagi, wanita tersebut barulah membulatkan mata dengan menunjukkan raut wajah yang terkejut luar biasa. Bahkan tangan sempa
"Bapak sudah tidak waras, ya?"Datang-datang Dani langsung mengeluhkan kelakuan Wanhan. Sampai Wanhan yang semula sibuk bekerja, terpaksa mengalihkan pandangan pada sang sekretaris."Kamu punya adab, kan? Sekali pun pintu terbuka, kamu wajib mengetuknya dahulu," protes Wanhan.Bukannya mendengarkan dan intropeksi, Dani justru menghela napas kemudian mengeluarkan ponsel."Bapak minta saya untuk bertemu lagi dengan kakaknya Arumi dan memberinya uang.""Bagaimana mungkin saya ingat untuk mengetuk pintu?"Wanhan sepenuhnya berhenti dari kegiatan dia membuka halaman demi halaman dokumen. "Aku hanya menyuruh kamu seperti biasanya, kenapa masih saja mengeluh?"Dani langsung menarik napas panjang. "Masalahnya, uang yang Bapak berikan itu besar. Hampir 200 juta, sebenarnya apa yang sudah dia lakukan sampai Bapak seloyal ini?" keluh Dani panjang lebar.Mulut Wanhan membisu sejenak. Dia tatap sekretaris yang mungkin seharusnya tahu."Dia sudah tahu soal hubunganku dengan kak Valdi," sahut Wanh
"Kalau bukan perumpamaan, sudah saya tambah beras supaya tidak jadi bubur," sahut Dani membuat Wanhan melirik. "Oh ya, hari ini jangan lupa ada jadwal makan dengan pak Anggara." Dani tiba-tiba saja mengingatkan hal yang ingin Wanhan lupakan. Wanhan menarik napas kesal. "Kenapa kamu harus mengatakannya sekarang sih?" Dani mengerutkan dahi, melihat atasan yang malah marah diingatkan. "Kalau saya tidak bicara sekarang, saat Bapak sibuk justru lebih tidak mendengarkan." Lirikan Wanhan menjadi tajam. Sekretaris dia benar-benar butuh pendamping yang memikat hati pria lain sekali pun hanya diam, supaya Dani ikut merasakan seperti apa kesalnya hati dia. ** Wanhan makan malam bersama sang kakek dengan mulut membisu, kalau ditanya baru sesekali jawab. "Sebenarnya kamu kenapa sih? Seperti wanita yang lagi haid saja," sindir Anggara saking herannya. Wanhan melirik sejenak, kemudian meletakkan alat makan karena sudah selesai. "Aku sedang sibuk-sibuknya di kantor, Kakek malah m
Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Berusaha ia cari kebohongan di mata suaminya, namun tak ditemukan olehnya. Hanya ada keseriusan yang Wanhan tunjukkan."Bu, aku rasa Arumi lelah," ujar Wanhan tiba-tiba setelah suasana hening."Aku akan bantu Arumi kembali ke kamar."Mendengar maksud dari sang menantu yang ingin bicara berdua dengan Arumi, membuat Aisyah langsung mengerti dan segera bangun dari tempat duduk."Tentu saja Nak Wanhan. Kalau begitu ibu melihat Luna dulu."Jemari Wanhan terulur ke arahnya. Mulanya Arumi merasa ragu, namun pada akhirnya ia mulai meraih suaminya dan bangun dibantu oleh Wanhan."Aku tidak lumpuh, Mas," ujarnya karena berjalan pun tangan masih dituntun oleh Wanhan."Diam."Arumi menurut dan langsung membisu. Namun, Wanhan yang menyadari ucapan dia sendiri telah salah, Wanhan langsung mengeratkan tangan yang menggandeng Arumi."Kamu tidak lumpuh, kok. Aku cuma mau gandeng kamu sampai kamar saja."Mata Arumi memandang pada suaminya yang terlihat damai h
Arumi membulatkan matanya. "Buat apa ke klinik, Mas?" Wanhan mengulurkan tangan untuk digapai olehnya. "Periksa, barangkali memang kamu lagi hamil," sahut Wanhan. Arumi meraih tangan suaminya dan dituntun untuk keluar dari area kamar mandi. Terlepas benar tidaknya Arumi mengandung, Wanhan hanya tidak ingin istri tergelincir karena lantai yang barangkali licin. "Aku tidak hamil, Mas. Hanya masuk angin saja, serius," ujar Arumi terdengar kekeh. "Apa salahnya periksa, Arumi?" Dorong ibunya. Sementara Luna sudah tersenyum senang semenjak tadi. Sangat berharap benar-benar memiliki seorang adik. Melihat Arumi yang hanya diam, terlihat tidak ingin pergi dan memeriksakan diri membuat Wanhan angkat bicara. "Kamu sudah telat Arumi, masih tidak mau periksa?" Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Dirinya sedikit terkejut karena suaminya ternyata tahu kapan tanggal datang bulannya. Memang tidak dipungkiri, Arumi sadar namun pemikirannya justru menganggap paling hanya te
Bibir Arumi mengulas senyum sedikit. Dirinya tahu, siapa orang yang dimaksudkan oleh Wanhan. Sosok yang membungkam para karyawan duluan sebelum diperintah. Tentu saja orangnya Dani, sosok yang sangat tidak ingin pernikahannya dengan Wanhan diketahui. "Jadi, kakakmu yang buat kamu basah saat makan siang?" Arumi sempat menjawab saat Wanhan bercerita di tengah hubungan badan mereka barusan. Kepala Arumi mengangguk mengiyakan. Wanhan menarik napas, merasa kalau kakak dari Arumi makin lama makin ngelunjak. "Aku akan menyuruh Dani untuk menemui kakakmu itu," putus Wanhan. Mata Arumi membulat. "Jangan, Mas!" Dirinya langsung saja melarang, tentu saja Arumi seperti ini bukan tanpa alasan. "Kalau Mas suruh pak Dani, maka ujungnya Mas bakal memberi uang," ujarnya. Wanhan mengerutkan dahi. "Lantas, menurut kamu aku harus bagaimana, Arumi?" Bibir Arumi langsung membisu, dirinya juga bingung harus menghadapi kakaknya dengan sikap seperti apa. Kalau menuruti kemauan Airin, maka Wanhan h