Share

Menjadi Tawanan nya

BAB 2

Livy menggeleng berusaha berteriak tetapi mulutnya disumpal dan tangannya terikat ke belakang. Mobil yang mereka tumpangi melaju sangat cepat. Tiba-tiba saja Ia mengantuk berat, Ia baru menyadari bahwa mereka memberi obat tidur di kain yang digunakan untuk menyumpal mulutnya. Obat itu mulai bereaksi.

Saat terbangun, Ia sudah duduk di kursi dengan tangan dan kaki terikat. Ia juga melihat lelaki yang kakinya tertembak berada di ruangan yang sama. Darah berceceran di lantai karena luka lelaki itu masih menganga. Seorang lelaki berperawakan tinggi besar masuk ke ruangannya.

"Siapa anak ini?" tanya lelaki itu sembari menunjuk Livy dengan dagunya.

"Ia ada di sana bersamanya, mungkin sedang menolongnya, Arthur," jawab lelaki lainnya yang Livy ingat menyetir mobil.

"Tidak mungkin, di zaman seperti ini tidak ada orang yang sudi berhenti di pinggir jalan kecuali petugas," decak Arthur tidak percaya.

"Kukira juga begitu," tanggap lelaki lainnya yang Livy tahu membekap dirinya.

"Kita tanya saja anak itu, aku yakin Ia tidak bisu," celetuk Bryan karena bosnya dan kedua temannya sama-sama banyak basa-basi. Ia mencabut sumpalan kain di mulut gadis itu.

"Hei, siapa namamu?" tanya Arthur ketus, Ia merutuki mengapa tidak berpikir seperti Bryan.

"Livy," gumam Livy pelan.

"Kau ada hubungan apa dengan anak ini? Kau temannya?" tanya Arthur lagi.

"Tidak, aku melihatnya ada di pinggir jalan. Memangnya salah kalau aku menolongnya?" ujar Livy kesal karena orang-orang di hadapannya terus-terusan bertanya.

Handphone Livy berdering sangat nyaring tanda ada yang menelponnya. Bryan merogoh saku celana gadis itu. Ia melihat siapa penelponnya dan melihat pesan di sana.

"Katakan bahwa ban motormu bocor," ucap Bryan. Di sudut lain, Archie mengambil pistol di pinggangnya dan membuat Livy bergidik ngeri. Mereka pasti sedang mengancamnya supaya Ia mengatakan sesuai yang mereka inginkan.

"Hallo," ucap Livy dengan panik. Temannya pasti menanyakan karena Ia belum juga sampai di tempat yang mereka sepakati.

"Ban motorku bocor, kita batal aja gimana. Esok 'kan masih ada waktu," ucap Livy sambil memejamkan mata. Ia tidak bisa berbohong, tetapi Ia juga tidak mau peluru itu bersarang di kepalanya saat ini.

"Archie, amankan motor itu. Kau pasti tahu di mana Ia menaruhnya," ujar Arthur memberi perintah. Archie pun bergegas melaksanakan apa yang dikehendaki Arthur.

"Kau tidak perlu mengamankan motorku. Lepaskan saja aku, aku akan kesana sendiri," ujar Livy tetapi justru membuat Arthur menyeringai.

"Kau pikir kami akan repot-repot membawakan motormu ke sini?" ucap Arthur dengan sinis. Livy pun bingung dibuatnya.

"Jangan berpikir kami akan dengan mudah melepasmu setelah Kau tahu semuanya tentang kami," ucap Arthur. Ia menyentuh dagu Livy dengan ujung jarinya.

"Aku tidak tahu siapa kalian. Hanya saja aku yakin kalian bukan orang baik-baik," ucap Livy membuat Arthur tertawa terbahak-bahak.

"Anak pintar, sekarang pikirkan bagaimana hidupmu kedepannya nanti," ucapnya sembari mengacak-acak rambut Livy dengan tangannya.

Mendengar hal itu, Livy mendapat sinyal bahwa orang-orang yang membawanya sangat berbahaya. Livy membayangkan jika dirinya akan mati mengenaskan atau hidup dengan keadaan tersiksa sepanjang waktu. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan orang-orang ini. Niat baiknya untuk menolong orang lain malah berujung malapetaka.

"Urus dia, Fano," perintah Arthur sembari menunjuk lelaki buronan mereka yang sudah mulai sadar.

Stefano dan Bryan pun menyeret lelaki itu dengan kasar ke ruangan lain. Livy terkejut melihat perlakuan mereka yang tidak peduli pada erangan lelaki itu.

"Apa yang akan terjadi padanya?" gumam Livy dengan bibir bergetar.

"Kau akan tahu nanti," jawab Arthur sembari mengangkat alisnya. Ia menilai bahwa gadis itu memiliki tingkat kepedulian yang lumayan.

"Mengapa Kau menolongnya?" tanya Arthur sembari menunjuk pintu, mengingatkan tentang lelaki yang baru saja diseret keluar.

"Aku memang suka menolong," sahut Livy asal. Ia heran dengan lelaki di hadapannya, bukankah menolong orang lain merupakan hal yang manusiawi?

Arthur kembali tertawa mendengar jawaban Livy yang dianggapnya klise. Ia terkesan dengan sikap anak itu, tetapi tetap waspada karena bisa saja Livy memiliki hubungan dengan lelaki buronannya. Atau bahkan Livy punya hubungan dengan D'Fantazio.

"Kau kerja di mana?" tanya Arthur sembari menebak di dalam hati bahwa Livy mungkin bekerja di D'Fantazio.

"Aku masih kuliah," jawab Livy singkat.

Jawaban Livy membuat Arthur tidak penasaran lagi mengapa Livy bersikap sepolos itu. Ternyata Ia hanyalah gadis belia yang masih kuliah. Dari wajah, perawakan, dan cara bicaranya, Livy nampak tidak memiliki beban dan masalah berat dalam hidupnya.

"Kau tahu D'Fantazio Fuel?" tanya Arthur mencoba memancing dengan cara lain. Ia khawatir dugaannya tentang kepolosan gadis itu salah.

"Perusahaan bahan bakar minyak?" tanya Livy ragu.

"Ya, tentu saja," sahut Arthur sembari menatap wajah Livy lekat-lekat.

"Aku sedang menyelidiki perusahaan itu," gumam Arthur. Ia menyesap minuman di gelas anggurnya.

"Perusahaan sebesar itu, untuk apa Kau selidiki?" tanya Livy terheran-heran.

"Untuk merebut keuntungan," jawab Arthur tanpa beban sambil menyeringai.

Mendapati jawaban Arthur, Livy heran sekaligus penasaran tentang lelaki di hadapannya. Lelaki itu berkata bahwa Ia akan merebut keuntungan, bukan hanya mengambil keuntungan. Livy pun tahu bahwa D'Fantazio Fuel adalah salah satu perusahaan raksasa di tanah air ini.

"Kau seorang pebisnis,Atau mafia? tanya Livy tidak berani menyuarakan pertanyaan keduanya. Arthur hanya mengangguk.

"Lelaki yang Kau tolong barusan adalah salah satu karyawan di sana. Di profil akunnya, Ia adalah salah satu manajer, tetapi Ia mengaku hanya karyawan biasa kepadaku," papar Arthur menjelaskan lelaki yang diculiknya tanpa diminta.

Livy terkesiap, Arthur menculik lelaki itu untuk diperas informasinya tentang D'Fantazio. Tidak menutup kemungkinan jika lelaki itu akan dibunuh setelahnya.

Livy semakin yakin bahwa Arthur bukanlah orang biasa, Ia adalah penjahat kelas kakap. Arthur seorang mafia.

Archie muncul tepat setelah Arthur selesai menjelaskan tentang lelaki itu kepada Livy.

"Beres, Arthur. Rupanya motor itu tidak dilengkapi GPS," ujar Archie.

"Bagus, kita tidak perlu menghilangkan jejak," sahut Arthur membuat Archie heran. Arthur sangat jarang mengapresiasi kinerja anak buahnya. Pimpinan mafia itu lebih sering mengomel dan menghardik.

"Tetapi masih ada satu yang Kau lupakan," ucap Archie membuat Arthur mengerutkan dahi. "Gadis itu masih punya handphone," ujar Archie sembari menunjuk Livy.

"Jangan ambil handphone-ku! Itu pemberian mendiang kakekku," teriak Livy tidak terima namun Archie tetap mengambilnya secara paksa.

"Aku bisa memberimu handphone yang harganya puluhan kali lipat dari itu. Kalau Kau mau menurut padaku," ucap Arthur memiringkan wajahnya.

"Aku tidak peduli. Aku hanya mau handphone-ku," teriak Livy.

Ia memberontak dan berusaha keras untuk melepaskan diri dari ikatannya di kursi. Kakinya berhasil terlepas dan secepat kilat Ia menendang tulang kering Arthur, membuat Arthur mendesis kesakitan. Archie yang khawatir Livy bertindak membahayakan Arthur, langsung mencabut pistol dari ikat pinggangnya. Ia mengarahkannya ke depan wajah Livy.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status