Damar membuka pintu lebih lebar, matanya menyipit, seolah menikmati detik-detik tegang di antara mereka. “Masuklah. Kamu ingin bicara kan? Biar lebih nyaman di dalam.”Sarah mengangkat dagu, sorotnya tajam. Ia tahu undangan itu penuh jebakan, tapi mundur bukan pilihan. Ia melangkah masuk dengan langkah mantap.Begitu pintu menutup di belakangnya, aroma alkohol dan asap rokok menusuk hidung. Apartemen itu tidak serapi bayangan Sarah. Botol kosong berjejer di meja, dan di sofa, Darius duduk santai dengan kaos abu-abu longgar.Ketika mendengar suara langkah masuk, Darius menoleh cepat. “Oh, pesanan makanan sudah—” ucapannya terhenti begitu melihat Sarah. Matanya melebar. “Sarah?”Sarah menatapnya dingin. Ia tidak mengucapkan salam, hanya berjalan lurus ke ruang tengah.“Kenapa kamu ke mari?” tanya Darius, suaranya ragu bercampur terkejut.Damar menutup pintu, lalu menyahut dengan nada ringan. “Katanya, dia punya hal yang sangat penting. Makanya malam-malam begini datang.”Darius menoleh
Udara malam terasa semakin dingin menusuk tulang, namun dada Sarah justru terbakar panas. Ia berdiri kaku di depan gerbang kantor polisi, menatap lurus pada Abriptu yang berjaga. Mata Sarah berkaca-kaca, tapi sorotnya menyala penuh perlawanan.“Mbak, saya sudah bilang … jam segini bukan jam besuk tahanan. Tolong pulang. Kalau mau ketemu, besok datang di jam yang sudah ditentukan,” suara polisi itu terdengar kaku, mencoba tetap tenang meski jelas rautnya terguncang oleh keberanian Sarah.Sarah melangkah maju, nadanya meninggi. “Besok? Bagaimana kalau besok sudah terlambat?! Bagaimana kalau kalian sudah habisi dia malam ini juga?! Aku tahu kalian intimidasi Adit dan Tigar, aku tahu kalian pukuli mereka supaya mereka ngaku! Jangan pikir aku bodoh!”Polisi itu tersentak, wajahnya tegang. “Mbak, hati-hati dengan ucapanmu. Kami hanya menjalankan aturan!”“Apa kalian sebut aturan itu dengan menyiksa orang tak bersalah?!” sergah Sarah, dadanya naik-turun. “Aku tidak akan pergi sebelum lihat k
Bondan menatap Sarah dan Jesica dengan wajah berat. Napasnya terdengar jelas, panjang dan penuh tekanan.“Sebaiknya kita ajukan masalah ini ke pengawas kepolisian. Ada divisi propam yang seharusnya bisa mengawasi perilaku aparat. Tapi …” ia menahan kalimatnya sesaat, “… prosesnya panjang, berbelit, dan rawan dihambat. Kalian harus siap kalau hasilnya tidak instan.”Sarah menelan ludah. “Berarti, Adit akan tetap di sel?” suaranya parau, hampir pecah.“Dan Tigar juga?” Jesica menambahi dengan wajah merah padam karena emosi.Bondan mengangguk pelan. “Untuk sementara, iya. Tapi percayalah, saya akan pakai semua jalur yang ada. Kita tidak bisa menyerah.”Jesica mendesah keras, tangannya menutup wajah. “Ya Tuhan … kenapa harus mereka?”Sarah mengusap air matanya dengan punggung tangan. Lalu, dengan suara serak ia berkata, “Bondan, kami percayakan semuanya padamu. Kau orang yang paling kami andalkan saat ini. Aku mohon … jangan biarkan Adit hancur di sana.”“Aku juga,” timpal Jesica cepat. “
Bondan menggeleng, wajahnya tetap dingin. “Maaf, Pak Kompol. Itu bukan bukti kuat. Identitas visual harus jelas, dan tidak ada satupun barang bukti lain yang mendukung tuduhan itu. Menurut KUHAP, penahanan seseorang harus berdasarkan bukti yang cukup, bukan asumsi. Oleh karena itu, kami ajukan penangguhan penahanan.”Ia menggeser map, mengeluarkan berkas-berkas resmi yang sudah ditandatangani. “Di sini ada jaminan, baik materi maupun pribadi, yang siap bertanggung jawab jika mereka benar-benar terbukti bersalah. Namun saat ini, menahan mereka jelas tindakan yang sewenang-wenang.”Sarah menatap penuh harap. Jesica mengepalkan tangan di pangkuannya, menahan gejolak.Namun Sambo hanya terkekeh pelan. Ia mengambil sebatang rokok dari saku, menyalakannya santai, lalu menghembuskan asap tepat ke udara.“Maaf, Pak Bondan …” ia menekankan kata ‘maaf’ dengan nada sarkastis, “tidak ada penangguhan penahanan untuk kasus ini. Kami sudah sesuai prosedur. Mereka memang kriminal.”“Tapi hak klien s
Pagi baru saja menjelang. Sinar matahari masih malu-malu menembus tirai tipis jendela kamar Sarah. Namun hatinya langsung diguncang begitu nada dering ponsel memecah keheningan.Nama Jesica tertera di layar. Sarah buru-buru menggeser ikon hijau. “Halo, Jes …?”Suara Jesica bergetar, nyaris terisak. “Sarah … Tigar! Tigar ditangkap polisi pagi-pagi buta! Dia sempat telepon aku sebentar sebelum hapenya direbut!”Sarah terperanjat, tubuhnya seakan tersengat listrik. “Apa? Ditangkap?!” Nafasnya terputus-putus, jantung berdegup kacau. “Astaga … ini keterlaluan!”“Aku dengar jelas dia teriak kalau dituduh ada di rekaman video itu!” Jesica menekan suaranya, penuh geram. “Ini jelas-jelas jebakan! Sama kayak Adit!”Sarah meremas ponselnya erat. Dadanya sesak membayangkan wajah Adit yang semalam ia tinggalkan dalam sel penuh luka, kini ditambah Tigar yang ikut jadi korban. “Jes, tenang. Aku langsung hubungi Bondan. Kita harus segera ke kantor polisi!”Tak menunggu jawaban, Sarah menutup sambu
Udara pagi buta masih dingin. Jalanan depan kos-kosan Tigar sepi, hanya sesekali terdengar suara motor lewat. Jam baru menunjukkan pukul 04.45.Di dalam kamar kosanya yang tidak terlalu lebar, Tigar masih terlelap. Jesica semalam menemaninya sampai larut, lalu pulang ke rumah besarnya menjelang tengah malam. Mau menginap di kosan ini tapi takut digerebek warga. Ia merasa sedikit lega setelah obrolan panjang bersama Jesica, meski bayangan Adit yang ditangkap masih menghantui pikirannya.Suara ketukan keras tiba-tiba memecah hening. Tok! Tok! Tok! Disusul suara berat dari luar. “Buka pintu! Polisi!”Tigar terperanjat. Matanya masih sayup, tapi jantungnya langsung berpacu kencang. Ia meraih kaos lusuh di kursi lalu cepat-cepat mengenakannya. Dengan langkah waspada, ia mendekati pintu.“Siapa?” teriaknya.“Polisi. Kami membawa surat penangkapan. Segera buka!”Alis Tigar berkerut. Panik mulai menjalar, tapi ia menahan diri. Ia tahu, kalau polisi yang datang sepagi ini, pasti bukan kabar