Malam terasa semakin hening. Suara jangkrik di sudut taman terdengar jelas, menyelip di antara obrolan Adit dan Sarah yang masih duduk bersebelahan di bangku kayu panjang. Lampu taman berpendar redup, menciptakan cahaya kekuningan yang membungkus mereka berdua.Sarah menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ya … besok kita memang harus ke kantor polisi lagi, Dit. Aku ngerasa kayaknya ada yang nggak beres.”Adit menatapnya serius. “Aku juga ngerasa gitu. Dari awal, sikap polisi terlalu tenang. Padahal jelas-jelas videonya itu bukti nyata. Masa nggak ditindaklanjuti?”Sarah mengangguk, wajahnya tegang. “Kalau dibiarkan, Damar dan Darius bisa makin leluasa. Dan aku … aku nggak mau kita terlambat.”Keduanya terdiam sejenak. Angin malam meniup pelan helai rambut Sarah hingga jatuh menutupi wajahnya. Adit refleks meraih dan menyibakkannya ke samping, lalu tersenyum tipis.“Eh, ngomong-ngomong … di mana Hardian sekarang?” tanya Adit tiba-tiba.Sarah menoleh, sedikit terkejut dengan pe
Malam sudah turun dengan tenang. Di kosan sempit itu, Adit baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, kaos oblong menempel rapi di tubuh. Aroma sabun mandi masih melekat. Di meja kecil, sudah ada piring kosong sisa makan malam, nasi goreng bungkus yang ia beli di warung depan.Ia berniat menghabiskan malam dengan santai. Tangannya meraih remote televisi, hendak menyalakan saluran olahraga. Tapi tepat saat ibu jarinya menekan tombol power, layar ponselnya menyala.Nama itu membuat bibirnya terangkat otomatis. Sarah.Seulas senyum hangat menutup segala lelah yang menempel di tubuhnya. Adit buru-buru mengangkat.“Malem Sayang ….” Suaranya terdengar ringan.“Malem juga Adit.” Suara Sarah terdengar lembut di seberang, meski samar ada nada terburu-buru.“Kok nggak pake Sayang sih? Sayangnya mana nih? Apa aku udah nggak jadi kesayangan lagi?” Adit mulai ngegombal. “Sayangnya ngga pernah ketinggalan. Kan udah tinggal selamanya di hati aku,” jawab Sarah sembari tersenyum tipis
Bela masih menempel pada tubuh Hardian. Napasnya terengah, matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya menekuk senyum aneh. Seolah ada sisi lain dalam dirinya yang mengambil alih, yang jauh dari kelembutan biasanya. Tangannya bergerak, meraba dada Hardian, lalu turun ke perutnya, gerakan yang membuat tubuh laki-laki itu tegang.“Bel, hentikan …,” suara Hardian parau, wajahnya penuh keraguan. “Aku … aku nggak bisa.”Bela justru terkekeh lirih. Nada tawanya tipis, getir, namun terdengar seperti sebuah ejekan. “Kamu bisa … jangan bohong sama tubuhmu sendiri, Hardi. Aku tahu kamu juga butuh aku … sama seperti aku butuh kamu sekarang.”Ia mendorong Hardian perlahan hingga bersandar pada sandaran ranjang. Lalu tubuh Bela naik, duduk di pangkuannya, hanya dibatasi bra tipis dan celana pendek ketat. Gerakan itu membuat tubuh Hardian bergetar hebat. Ia mencoba menahan, jemarinya menempel pada sprei seolah mencari pegangan, tapi rasa hangat dan desakan dari tubuh Bela benar-benar menguji kewarasannya.
Ketika Adit berada di ruangan Yuli, di waktu yang sama pula, di dalam kamar yang cukup luas, suara dentuman playstasion dari televisi terdengar mengisi ruangan. Hardian duduk di ranjang, kedua kakinya tetap lurus, dan joystick di tangannya, sementara Bela duduk bersila di sampingnya. Tawa mereka pecah ketika karakter yang dikendalikan Bela jatuh ke jurang dalam permainan.“Ya ampun, Bel, kamu itu refleksnya lambat banget!” Hardian menepuk paha sambil tertawa terbahak.Bela mencebik, lalu merebut joystick dari tangannya. “Hei, jangan ngeledek. Aku tadi cuma nggak siap aja. Coba sekarang, aku pasti bisa menang.”Hardian mengangkat tangan tanda menyerah. “Oke, oke. Tunjukin kemampuanmu.”Permainan berlanjut, dan benar saja, Bela kali ini lebih fokus. Setiap gerakannya cepat dan tepat. Hardian sampai ikut bersorak setiap kali Bela berhasil mengalahkan musuh. Mereka tertawa, saling ejek, lalu terdiam sejenak saat layar game menampilkan kemenangan Bela.“Liat? Aku bilang apa, aku bisa menan
Ruang kerja yang luas ini terasa ramai dengan bunyi ketikan keyboard dan dentingan notifikasi email. Aroma kopi instan bercampur pendingin ruangan yang dingin menusuk. Meski pikirannya masih dibayangi percakapan pagi tadi dengan Sarah, Adit memaksa dirinya untuk fokus pada layar laptop. Ia mengetik laporan media partnership, berusaha menenggelamkan keresahan di balik rutinitas.Namun ketenangan itu pecah ketika sebuah suara berat memanggil dari samping. “Dit, lu dipanggil sama Yuli.”Adit menoleh. Anton berdiri dengan map di tangan, wajahnya datar tapi terdengar sedikit ragu. Lalu buru-buru meralat, “Eh, maksud gue, Bu Yuli.”Adit mengerjap. “Sekarang?” tanyanya dengan nada tak yakin.Anton mengangguk singkat. “Iya. Katanya penting.”Percakapan singkat itu tak luput dari pengamatan seseorang. Erni, yang duduk beberapa meja di belakang, sempat menoleh dari layar komputernya. Senyum sinis merekah di wajahnya, tatapan penuh sindiran.‘Yuli … Yuli. Masih aja kamu penasaran sama Adit,’ b
Rooftop kantor MIMPI MEDIA terasa sepi. Angin pagi berembus ringan, membawa aroma dingin bercampur samar wangi cat dinding yang baru mengering. Dari ketinggian itu, Adit bisa melihat jalanan ibu kota mulai padat, deru kendaraan bersahutan bagai orkestra kehidupan yang tak pernah berhenti.Ia duduk di kursi besi yang menghadap ke pagar pembatas, menunduk sambil memegangi ponselnya. Nafasnya berat, pikirannya kalut. Wajah Bu Rini dan tatapan tajam Lala masih terbayang jelas di kepalanya. Seolah-olah mereka menuduhnya diam-diam, padahal Adit sendiri sama sekali tidak mengenal sosok Aji.Belum sempat ia mencari kontak Sarah di layar, dering telepon masuk. Nama itu muncul begitu saja—Sarah. Jantung Adit berdegup lebih cepat. Ia buru-buru menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.“Halo, Sarah ….” Suaranya serak, nyaris tenggelam oleh desir angin.Di seberang, suara Sarah terdengar lirih namun penuh kecemasan. “Gimana di sana? Apa yang terjadi? Kenapa Yuli memintamu datang pada