Share

Terendus lebih jelas

Author: Risya Petrova
last update Last Updated: 2025-08-01 22:11:58

Aroma roti bakar yang menguar perlahan kembali mencairkan ketegangan di ruang tengah. Lampu temaram menyinari wajah Sarah yang kini tampak sedikit lebih tenang.

Di sampingnya, Adit duduk sambil menyeruput teh hangat yang ia tuang sendiri dari teko kaca. Ia memandang Sarah dengan lembut.

“Kalau kamu benar-benar yakin ... aku juga yakin,” kata Sarah pelan, hampir berbisik. “Aku serahkan semuanya ke kamu, Dit. Aku capek kalau harus jalan sendiri. Damar ngapain coba naruh kemera perekam di atas lemari liswar? Dia bener-bener kayak mau jebak aku kan ….”

“Jebak kita tepatnya. Tapi itu gagal.” Adit tersenyum tipis. “Kamu nggak sendiri, Sarah. Kita di sini bareng. Dan kali ini, aku janji akan jaga kamu dan Hardian sampai akhir.”

Mereka diam sejenak, membiarkan malam membungkus keduanya dalam keheningan yang tidak canggung. Sarah menggigit roti bakarnya, dan Adit mengunyah dengan santai sambil sesekali mencuri pandang ke wajah perempuan di sampingnya.

“Kenapa liat-liat?” tukas Sarah sembari t
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Malam ini pakai yang 'asli' saja

    “Aku sudah dengar,” potong Sarah cepat. “Aku dengar nggak ada kata-kata, cuma lihat kalian saling peluk. Itu aja udah cukup untuk bikin kepalaku penuh tanya.”Adit menatap Sarah, mencoba membaca emosi di balik nada suaranya. “Bel lagi nggak stabil. Dia … semacam—”“Semacam apa?” Sarah mendesak, nada suaranya meninggi sedikit, meski tetap berusaha terkendali. “Aku empati dengan keadaan Bela. Mangkanya aku ngasih dia pekerjaan ringan yang cuman ngingetin Hardian minum obat, walau aku tau, Hardian udah gede, dia pasti ingat jam minum obatnya sendiri. Pake alarm hapenya.… Aku kasihan sama Bela, mangkanya aku kasih dia kerjaan ini. Tapi aku nggak akan terima kalau kalian berhubungan sangat akrab apa lagi dekat banget kayak tadi. Kamu pasti ngerti kan perasaanku yang tiba-tiba lihat kalian seperti … seperti itu …," sambungnya dengan suara nyaris terbata.Adit menunduk sebentar, mengatur napas. “Bela kambuh, Sarah. Aku cuma berusaha nenangin dia.”“Dengan pelukan?” Sarah mengangkat alis, ma

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Pelukan mesra

    Bela menatap Adit lama, napasnya masih memburu. “Kamu yakin, Dit, balasan itu bakal datang? Aku nggak percaya. Orang yang sudah menghancurkan masa kecil kita akan kena batunya … Akan kena batunya. Karma nggak selalu tepat waktu. Malah kadang … nggak datang sama sekali.” Suaranya pecah di ujung, tapi bukan karena ingin menangis, tapi lebih karena frustrasi yang menekan dadanya.Adit menghela napas pelan. “Bela, kita nggak bisa nyerah cuma karena takut dia lolos. Kita main cerdas, bukan nekat.”Bela menunduk, jemarinya masih menggenggam udara kosong, lalu perlahan menatap pisau di tangan kanan Adit. “Kalau kamu lepasin pisau itu sekarang, aku nggak janji aku nggak akan ngambilnya lagi.”Nada suaranya datar, tapi mata Adit menangkap riak gelap di sana. Tatapan mata yang bercampur amarah, ketakutan, dan dorongan impulsif.Adit melirik pisau yang masih ia pegang, lalu tatapannya jatuh ke asahan di tangan kiri Bela. Kombinasi itu cukup membuat perutnya mengeras. “Bel …,” ucapnya perlahan, s

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Satu langkah lagi

    “Bela, kamu ngapain di sini?” tegur Adit cepat, nada suaranya tegas tapi tak terlalu keras, sambil menyambar pisau besar itu dari tangan Bela. Suara gesekan logam antara pisau dan asahan terhenti mendadak. Tangan Adit terulur cepat, meraih gagang pisau dan memutar pergelangan, memisahkannya dari genggaman Bela. “Tadi aku pikir, Damar atau … ada orang jahat!”"Sini kembaliin pisauku. Kamu datang-datang ya ...," ujar Bela tegas. "Stt ... jangan berisik Bel. Ini sudah tengah malam. Jangan sampai orang rumah lainnya bangun gara-gara suara kamu."“Aku nggak main-main, Dit,” ujar Bela, suaranya datar tapi terbungkus ketegangan dan emosi membara. “Aku … akan menghabisi orang itu.”Adit menatapnya lama, alisnya berkerut. “Orang itu? Siapa maksud kamu?"Bela menelan ludah, matanya menatap kosong sejenak sebelum fokus lagi pada Adit. “Orang yang udah menghancurkan masa kecilku. Masa kecilmu juga.”Kata-kata itu seperti hantaman dingin di dada Adit. “Bela … kamu lagi kambuh, ya? Kamu nggak min

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Suara samar

    Sarah baru saja sampai di lantai atas, tapi tiba-tiba ia mengerutkan wajah, menahan sesuatu yang jelas-jelas bukan sekadar rasa lelah. Sebelah tangannya mencengkeram tongkat penopang, sementara kaki kanannya sedikit tertekuk ke belakang, mencoba mengurangi tekanan.Adit yang berjalan di sebelahnya langsung sigap memegangi lengannya. “Hei, kenapa? Kakinya sakit lagi?” tanyanya cepat, matanya menatap khawatir.Sarah menghela napas, mencoba menahan rasa nyeri itu. “Nggak apa-apa … cuma agak nyut-nyut,” jawabnya, meski jelas dari nada suaranya ia sedang berbohong.Adit menggeleng, nadanya setengah mengomel, padahal aslinya peduli. “Sar, kamu keseringan jalan. Padahal kaki kamu itu masih belum pulih bener. Harusnya istirahat lebih banyak, bukannya keliling naik-turun tangga terus.”Sarah mendesah panjang. “Aku nggak bisa, Dit. Kalau cuma diem di kamar, rasanya … kayak nggak hidup. Aku nggak tahan benar-benar diam.” Ia tersenyum kecil, tapi senyum itu rapuh.Adit menatapnya lama. “Ya, tapi

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Nggak mungkin

    Hardian menatap Bela lama. Kata-kata gadis itu seperti batu yang dilempar tepat ke dadanya. Sulit ia cerna. Terlalu berat untuk langsung dipercaya.“Bela … kamu yakin?” suaranya terdengar pelan, tapi tegang. “Kamu yakin banget orang itu Papaku?”Bela terdiam. Ada keraguan kecil yang mencuat. Bukan pada ingatannya tentang kejadian itu, tapi pada kepastian sosoknya. Sponsor itu dulu masih muda, wajahnya belum setua sekarang. Namun garis wajahnya … senyumnya … caranya memandang … semua terlalu mirip dengan Damar. “Aku … nggak bisa seratus persen yakin,” ucapnya akhirnya, “tapi kemiripannya nggak mungkin cuma kebetulan, Hardian.”Hardian menggeleng. “Nggak, Bela. Kamu … kamu pasti salah orang. Papaku nggak mungkin—” “Hardian, dengar aku dulu—”“Bela, hentikan!” potongnya. Nada suaranya meninggi, bukan marah, tapi seperti seseorang yang terpojok dan berusaha memagari keyakinannya sendiri.Sejenak, hanya napas mereka yang terdengar. Hardian memejamkan mata, lalu membuka kembali. “Tolong

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Sentuhan hangat Bela & fakta

    Hardian membeku.Tubuhnya menegang ketika merasakan bibir Bela yang tiba-tiba menempel di bibirnya. Kejutan itu membuat napasnya tertahan, dan untuk sepersekian detik, ia hanya terpaku. Otaknya memerintahkan untuk mundur, tapi jarak di antara mereka terlalu dekat, dan tatapan Bela tadi penuh luka sekaligus permohonan. Membuat gerakan Hardian jadi melambat.Ia mengangkat tangannya, mendorong pelan bahu Bela. “Bela …,” suaranya serak, separuh protes, separuh bingung, dan sebagian lagi tetap berusaha berpikiran lurus. Tahan godaan yang ada di depan matanya ini.Tapi Bela tidak mundur. Gadis itu malah sedikit memiringkan kepalanya, menekan ciuman itu lebih dalam. Ada sesuatu di sana. Bukan sekadar sentuhan bibir, tapi seperti sebuah teriakan sunyi yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.Pertahanan Hardian, sebagai seorang pria normal, mulai retak. Keinginannya untuk menolak terhimpit oleh dorongan instingtif yang membisikkan bahwa Bela sedang mencari pegangan. Dan anehnya, ia ingin me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status