Alejandro duduk di sebuah tempat yang sepi, dengan mata yang tajam menatap pria di depannya yang terlihat gugup. “Cukup! Hanya ini yang kuperlukan,” ucap Alejandro tegas.
“Pergilah!” titah Alejandro seraya menyerahkan segepok uang yang membuat mata pria itu berbinar sejenak, sebelum berubah menjadi kecewa saat diusir begitu saja. Setelah pria itu pergi, Alejandro dengan cepat membuka map tebal berisi dokumen-dokumen yang baru saja dia terima. Jari-jarinya yang panjang mengelus lembar demi lembar, matanya menyelami setiap kata yang tertulis tentang Delgado. Setiap laporan, foto, dan catatan kecil tentang pria yang menghantui pikirannya itu ditelitinya dengan seksama. Akhirnya, Alejandro menemukan halaman yang menarik perhatiannya. Sebuah foto lama yang memperlihatkan Delgado dan Xaviera, tertawa bersama di sebuah acara sekolah. Mereka tampak muda dan ceria. Di sudut halaman, tertulis catatan bahwa mereka berdua adalah teman baik selama masa sekolah. Ya, dokumen yang baru saja Alejandro terima berisi tentang semua informasi mengenai Delgado. Pria yang sebaya dengan Xaviera itu membuat Alejandro penasaran setengah mati, hingga nekat menyewa orang untuk mencari tahu segala hal tentangnya. Alejandro menarik napas lega, seraya tersenyum sinis. “Hanya sebatas teman rupanya,” gumamnya pelan. Alejandro kemudian mengeluarkan korek dari saku celananya dan tanpa ragu membakar dokumen tersebut. Rasa penasarannya telah terobati dan Alejandro pun merasa sudah puas, ia lalu memilih kembali ke perusahaannya. Hanya berjalan kaki, tidak menggunakan mobil atau alat transportasi apa pun, karena memang jaraknya yang tidak begitu jauh. Di saat semua karyawan termasuk Xaviera telah meninggalkan perusahaan, Alejandro justru masih berada di ruangan pribadinya. Pekerjaan yang malam ini dilakukannya tak lain dan tak bukan adalah memantau kegiatan sekertasinya sendiri—Xaviera. Di kursi kebesarannya, Alejandro duduk bersandarkan punggung, matanya tak lepas dari layar laptop yang menampilkan beberapa rekaman CCTV tersembunyi yang terpasang di apartemen Xaviera. Alejandro memastikan tak ada yang mengganggu momen pribadinya ini. Ruang kantornya sunyi, hanya suara desiran AC yang terdengar. Wajahnya menunjukkan ekspresi puas dan obsesi yang dalam saat melihat Xaviera beraktivitas sehari-hari di apartemen. “Mari kita lihat apa yang kau lakukan hari ini, nona Xaviera.” Dalam kesunyian itu, suara berat Alejandro menggema. Dari melepaskan blouse yang dipakainya seharian imi, hingga adegan Xaviera yang berdiri di bawah kucuran shower, semuanya terpantau jelas. Tangan Alejandro terulur ke depan, seakan ingin menyentuh gambar Xaviera dari balik layar. Bibir Alejandro mengukir senyum tipis. Entah kapan terakhir kalinya bibir itu tersenyum, mungkin ini adalah kali pertama setelah beberapa bulan, atau bahkan hampir satu tahun lamanya. Matahari sudah terbenam tapi Alejandro masih terpaku, menikmati setiap detil gerakan Xaviera yang tidak menyadari sedang diawasi. “Hari ini sungguh panas. Kulitku rasanya seperti terbakar.” Xaviera, yang keluar dari kamar mandi dengan tubuh dan rambut terbalut handuk, berucap dengan nada kesal. Di kantor, Xaviera memang dikenal sebagai pribadi yang tenang dan tidak banyak bertingkah. Namun lihatlah ketika sedang di rumah dan sendirian seperti sekarang, wanita itu bergerak sangat aktif dengan meloncat ke sana dan sini sambil mengibas rambutnya yang basah dengan bibir tak berhenti mengikuti alunan musik di kamarnya. Sejujurnya, Xaviera adalah sosok wanita yang ceria. Namun Xaviera bisa membedakan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Di kantor, ia harus bersikap profesional selayaknya sekertaris pada umumnya. Dan jika di luar, Xaviera bisa menjadi dirinya sendiri. Seperti sekarang contohnya. “It's time for rock.” Xaviera berteriak. Tak hanya itu, ia mengambil hairdryer dan mengarahkannya ke depan bibirnya, menjadikan alat pengering rambut itu sebagai mikrofon. “Akh, kepalaku pusing.” Terlalu banyak menggoyangkan kepalanya, membuat Xaviera merasa pening. Langsung saja ia mematikan musiknya dan duduk dengan napas tersengal-sengal. “Seperti anak kecil,” kata Alejandro sambil mengangkat satu alisnya. Selesai dengan urusan rambutnya, Xaviera berjalan menuju lemari pakaiannya. “Kapan aku membeli ini?” Tangan Xaviera merambat mengambil salah satu pajamas kimono berbahan satin, berwarna peach. Kening Xaviera berkerut, tanda dirinya mencoba mengingat memori belakangnya. Sayang sekali ia tidak dapat mengingat apa pun, isi otaknya sudah penuh dengan pekerjaannya. “Ah, sudahlah,” ucapnya tak ingin memperpanjang masalah. “Mari kita pakai!” seru Xaviera girang. Saat hendak melepaskan handuknya, Xaviera tiba-tiba saja berhenti bergerak. Kepala Xaviera tertoleh ke belakang dan raut wajahnya terlihat marah. “Kau!” tunjuk Xaviera, tanpa tahu di tempat lain Alejandro sedang menahan napasnya. “Kau tutup mata! jangan mengintip, ya!” racau Xaviera, yang kata-katanya ditujukan untuk fotonya bersama seorang pria. Foto yang terbalut bingkai kecil dan terpajang di sudut kamar itu, menampilkan seorang pria tampan yang memeluk dan mengecup pipi Xaviera dari belakang. “Kau tidak boleh nakal!” kata Xaviera lagi, kali ini suaranya terdengar lebih santai. “Aku yang nakal, nona.” Di tempat lain, Alejandro menyahut. Tak ada ekspresi ketakutan yang Alejandro tampilkan, padahal arah yang ditunjuk Xaviera berada tepat pada kamera tersembunyi yang dipasangnya. Tepat ketika melihat Xaviera melepaskan handuknya, seringai muncul di wajah Alejandro. Napas Alejandro tercekat di tenggorokan, ketika menyaksikan Xaviera yang kembali beraksi dengan melakukan pose seksi sambil berpakaian di depan cermin. “Bukankah aku lebih pantas sebagai model, daripada wanita kantoran?” monolog Xaviera, yang saat ini meletakkan satu kakinya pada kursi, sambil menggigit jari telunjuknya, sementara tangannya yang lain memainkan rambutnya. “Haruskah aku berhenti bekerja dan mencoba casting sebagai model?” “Tidak boleh!” jawab Alejandro spontan. Mata Alejandro membara, napasnya berat, mungkin ia marah setelah mendengar Xaviera bergumam seperti itu. “Kau hanya boleh bekerja denganku, Xaviera. Hanya padaku kau boleh tunduk patuh, tidak dengan orang lain, siapa pun itu termasuk kekasihmu,” kata Alejandro terdengar seperti mengancam. “Oh, ingatlah satu hal, Xaviera! Usiamu sekarang sudah 28 tahun, terlalu tua untuk memulai karier model. Aku memang cantik, tubuhku indah, aku bisa berpose apa pun, tapi pastinya tidak ada yang mau menerima dirimu. Apalagi kau tidak memiliki pengalaman apa pun.” Sebelumnya sibuk memuji diri sendiri, sekarang Xaviera justru merendah. “Itu benar, nona. Kau tidak boleh pergi dariku. Hanya aku yang boleh memberikanmu perintah. Dan ingat, selamanya, kau tidak boleh pergi dariku!” bisik Alejandro yang kembali menyandarkan punggungnya dengan rileks di kursinya. Ketika layar menunjukkan Xaviera yang mulai bersantai di ruang tengah apartemennya, Alejandro pun menarik napas dalam, membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam ke dalam dunia rahasia yang telah dia ciptakan. Di sini, di ruang kerja yang remang dan sepi, Alejandro merasa dia dan Xaviera berbagi ruang yang sama, meski pada kenyataannya jauh berbeda. “Besok hari libur, rasanya senang sekali.” Mengingat ini adalah hari terakhir bekerja di minggu tersebut, membuat Xaviera sangat senang. “Aku benci hari libur.” Alejandro justru sebaliknya. “Selama dua hari ke depan aku bisa bebas tanpa si gila Alejandro,” ucap Xaviera lagi, tanpa tahu sang pemilik nama mendengarnya. “Si gila Alejandro? jadi, itu julukan baru yang kau berikan untukku, nona yang ceria?” monolog Alejandro, lalu mendekatkan dirinya pada layar laptopnya. Dalam benaknya, Alejandro tidak merasa bersalah sedikit pun atas perbuatannya. Memiliki kontrol atas Xaviera seperti ini adalah kepuasan tersendiri bagi pria dengan pandangan mata elang itu—sebagai penguasa yang memegang kendali atas segalanya yang dia anggap berharga. Obsesi Alejandro terhadap Xaviera telah menutupi segala rasa etika dan moral yang seharusnya ada pada seorang pemimpin perusahaan besar. Gairah dan semangat yang hanya bisa dibangkitkan oleh sosok Xaviera, membuat Alejandro nekat melakukan kegilaan tersebut. Hal ini bermula sejak tiga tahun lalu. Saat itu, Xaviera datang ke NOWZ COMPANY untuk melakukan interview sebagai sekertaris dan tak sengaja menabrak Alejandro. Pertama kalinya bertatapan dengan Xaviera membuat Alejandro merasakan sensasi yang berbeda yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Tanpa pikir panjang, Alejandro langsung memerintahkan bawahannya untuk menerima Xaviera sebagai sekertasinya. Alejandro tak peduli dengan latar belakang, pendidikan, dan pengalaman Xaviera, Alejandro bahkan mengacuhkan kandidat lain yang memiliki potensi lebih besar, hanya demi Xaviera. Awalnya memang hanya perasaan tertarik antara lawan jenis, namun semakin lama justru berubah menjadi obsesi gila. Alejandro, yang selama hidupnya selalu menolak kehadiran wanita termasuk si cantik Isabel, justru memiliki kelainan terhadap sekertasinya sendiri. Dari situlah Alejandro mulai mencari tahu segala hal tentang Xaviera, mengikuti setiap langkah Xaviera, tidak memperbolehkan Xaviera tunduk dengan orang lain, alias selain dirinya. Dan yang paling gila adalah diam-diam memasang 7 kamera tersembunyi di apartemen Xaviera. Aksinya itu terhitung sudah berjalan selama dua tahun. “Semakin lama kau semakin menarik perhatianku.” Kini, tangan Alejandro tertuju pada salah satu rekaman CCTV di mana Xaviera berada. Wanita yang menarik sisi lain dalam dirinya itu sedang asik makan, tanpa pernah tahu ada dirinya yang tersiksa seorang diri di sana. “Kau sangat cantik, seperti peri dalam dongeng. Saking cantiknya dirimu, membuatku ingin mematahkan sayapmu, membuatmu tidak bisa terbang ke mana pun, lalu mengurungmu hanya untukku seorang.”“Kau semakin berani ya, Xaviera?” Alejandro berucap pelan, sambil dirinya bertumpu kedua tangannya. Tatapan Alejandro tertuju pada Xaviera yang terekam sedang berada di salah satu ruangan. “Kau tidak membalas pesan-ku, kau menolak telepon-ku, dan kau tidak mempedulikan ancaman-ku. Dari mana kau dapat keberanian sebesar itu, Xaviera?”Alejandro merasa kesal dengan tindakan yang Xaviera pilih. Alejandro paling tidak suka diabaikan, terlebih lagi oleh Xaveria, namun Xaviera justru melakukannya. “Mari kita lihat apa kau juga akan melakukan hal yang sama kali ini?” Alejandro, dengan seringai khasnya, mengambil selembar foto yang kemudian ia masukkan di dalam sebuah amplop putih beserta selembar kertas tulisan tangannya.Keluar meninggalkan ruangan kegemarannya, Alejandro menemui sopir pribadinya. “Antarkan ini. Ingat, kau hanya perlu meletakkannya di depan pintunya dan jangan sampai ada satu orang pun yang mengetahui kedatanganmu!”“Baik, Mr. Alejandro.” Pria berusia lanjut yang sudah be
Xaviera menutup matanya, menikmati kenyamanan yang disajikan untuknya. Bukan hanya karena udara pagi hari yang terasa menghangatkan tubuhnya, namun juga pelukan Gabriel yang sangat menenangkan. Saking nyaman dengan posisinya, Xaviera sampai menutup mata. Semua masalah dan beban berat yang akhir-akhir ini dipikulnya seorang diri, sejenak Xaviera lupakan. Di sana, di balkon kamar, hanya ada Gabriel dan Xaviera, ditemani dengan cinta yang setiap harinya semakin tumbuh. “Mi amor, ada yang ingin aku tanyakan padamu,” ujar Gabriel, sambil mengecup lembut dahi Xaviera. “Hem, tanyakanlah.” Xaviera memang merespon, namun tidak mengubah posisinya sedikit pun. “Ini tentang rencanamu yang ingin berhenti dari pekerjaanmu. Apa bos-mu itu setuju?” Padahal Xaviera berusaha sekuat tenaga melupakan nama Alejandro dan segala hal yang berhubungan dengannya, namun Gabriel justru bertanya. Terkejut, Xaviera sontak membuka matanya. “Apa ada kompensasi yang harus kau ganti karena melanggar kontra
Xaviera duduk memeluk lututnya seorang diri di kamarnya. Setelah siang tadi meninggalkan NOWZ COMPANY dengan tanpa memberikan Alejandro jawaban, Xaviera masih merenungi pilihan yang ditawarkan padanya. Tidak ada yang lebih baik dari kedua pilihan itu, keduanya sama-sama menjerumuskan dan menyakitkan Xaviera. Bingung, takut, cemas dirasakannya dalam waktu yang bersamaan. Xaviera tidak menyadari berapa lamanya ia diam seperti patung seperti itu. Bahkan hingga malam harinya ketika Gabriel pulang, kedua telinga Xaviera seperti tertutup, sehingga tidak mendengar seruan Gabriel. “Mi amor ...” Panggilan lembut dan usapan di kepala yang Gabriel lakukan, membuat Xaviera gelagapan. “Kenapa kau terkejut sekali? Seperti melihat hantu saja.” Gabriel terkekeh pelan karena respon Xaviera. “Atau jangan-jangan kau mengira aku hantu, ya? Mana ada hantu setampan diriku.” Gabriel kembali bergurau, namun Xaviera tetap pada diamnya. Bola mata Xaviera yang jernih bergerak mengikuti langkah Gab
Kedua netra Xaviera yang berkaca-kaca masih terpaku pada layar tablet Alejandro. Meski video tersebut minim penerangan, namun Xaviera sangat mengenali kamarnya, tata letak dan barang-barang di kamarnya. “Ke–kenapa Anda bisa ada di sana?” ujar Xaviera dengan suara bergetar. “Kau tidak mengingatnya, Xaviera?” Alejandro balik bertanya. Ekspresi Xaviera membuatnya tersenyum licik. “Anda hanya perlu menjawabnya! Kapan ini terjadi?” Sesaat Xaviera terdiam, mencoba mengingat kejadian tersebut. Xaviera mencoba menyangkalnya. Jangankan bercinta, Xaviera bahkan tidak memiliki perasaan sedikit pun untuk Alejandro. Bagaimanapun juga Xaviera selama ini menganggap Alejandro hanya sebagai atasannya. Namun video itu? Bagaimana mungkin bisa terjadi? Dalam hati Xaviera merutuki dirinya. Semakin lama menyaksikan video tersebut, membuat Xaviera merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. 'Bagaimana mungkin aku bisa bercinta dengannya, tapi aku sama sekali tidak mengingatnya.' Xaviera bergumam
Xaviera yang duduk di depan meja riasnya, tiada bosannya memandang pantulan wajah Gabriel dari kaca di depannya. Pria yang menyandang sebagai tunangannya itu dengan sangat perhatian membantu mengeringkan rambutnya. “Kenapa melihatku seperti itu, hm?” ujar Gabriel, tentu ia menyadari tatapan Xaviera dan baru berani bertanya sekarang. “Kenapa kau mencintaiku?” Bukannya menjawab, Xaviera justru memberikan pertanyaan lain, yang membuat tangan Gabriel seketika berhenti bergerak. “Pertanyaan macam apa itu?” Xaviera menggeleng pelan. “Aku hanya penasaran,” jawabnya dengan senyum yang tak lekang di wajah cantiknya. Gabriel meletakkan hairdryer yang sudah dimatikannya tersebut, lalu berlutut di hadapan Xaviera. “Aku tidak butuh alasan khusus untuk mencintai ciptaan Tuhan seindah dirimu.” Gabriel menatap mata Xaviera yang berbinar, penuh rasa penasaran yang tulus. “Setiap kali aku melihatmu, hatiku terasa hangat, seperti ada sinar matahari yang selalu mengikutiku,” ucap Gabriel dengan le
“Akh, kepalaku sakit.” Xaviera melenguh, tangannya merambat memijat pangkal hidungnya, berharap dapat mengurangi rasa tak nyaman yang menyerang kepalanya. “Gabi ...” Xaviera menatap pintu kamarnya, berharap dapat melihat sosok Gabriel di sana, namun pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan kembali. Ponselnya yang berbunyi menandakan panggilan masuk, memecah keheningan kamar. Buru-buru Xaviera mengambilnya. Melihat nama Gabriel tertera di sana, membuat sudut bibir Xaveria terangkat.“Halo, Sayang.” Xaviera menyapa gembira, namun yang terdengar dari ponselnya bukanlah suara hangat Gabriel yang amat sangat disukainya, melainkan suara bising hingga membuat telinganya berdengung.“Sayang, apa kau masih di tempat kerjamu?” Perlahan senyuman Xaviera menghilang, ketika Gabriel mengatakan ia tidak bisa pulang cepat, lantaran pekerjaannya membutuhkannya. Diam-diam Xaviera menoleh ke arah balkon, melihat langit yang sudah gelap. “Ya sudah, tidak masalah. Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Fok