Share

Berpisah Untuk Memulai

Setelah kejadian Ibu yang jatuh, dan Bapak Bang Halim melamar di hari yang sama, semua Anak-Anak Ibu berkumpul untuk bermusyawarah. Karena keadaan Ibu yang semakin parah. Kami putuskan untuk segera melaksanakan pernikahan. Aku dan Kak Akbar langsung berangkat kepondok pesantren tempatku belajar. Guna untuk meminta izin kepada Guruku untuk menentukan tanggal pernikahan.

"Jodoh itu gak bisa disangka-sangka ya... baru juga kemarin Risa daftar kesini mau belajar, sekarang sudah izin aja mau menikah." kata Kiyai terkekeh,

"Iyah, Pak, Alhamdulillah."

"Kenal dimana? keseharian Risa kan di Asrama, baru juga kemarin libur ngajinya." tanya Bu Nyai padaku.

"Dikenalkan sama teman Bu, kebetulan itu juga saudaranya. kenalnya juga baru-baru ini." jawabku berusaha untuk sopan.

"Alhamdulillah... Mungkin sudah jodohnya ya. Mudah-mudahan lancar hingga hari H nya."

"Sekarang tanggal berapa Bu?" tanya Pak Kiyai kepada Istri beliau.

"Tanggal satu Pak." Kulihat Guru sedang mengitung tanggal.

"Dua minggu lagi, pas tanggal 14." katanya membuat Kak Akbar kaget.

"Dua minggu lagi, Pak?" tanya Kak Akbar memastikan.

"Iyah," Kak Akbar menganggukan kepalanya tanda dirinya mengerti.

"Yaa sudah Pak, terimakasih, saya tunggu kedatang Pak Kiyai untuk menghadiri acara Akad Risa nanti." Kak Akbar menyalami Pak kiyai dan Istrinya. Aku pun juga mengikuti Kakakku menyalaminya.

"Ingsya Allah ya ..."

Alhamdulillah, Guruku memberi waktu persiapan hanya dua minggu. Sebenarnya terlalu cepat, karena ke uangan keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Namun kami yakin semua akan berjalan dengan baik.

"Bang, tanggal pernikahannya dipercepat. Kata guruku dua minggu lagi pernikahannya. Gimana Bang? Apa sudah siap?" ucapku ketika menghubungi Bang Halim, untuk memberitahu tanggal pernikahan.

"Dua minggu lagi ya? Apa enggak terlalu cepat Dek?" tanyanya ragu.

"Enggak tahu Bang, tapi keluarga Adek sudah siap."

"Yaa sudah, nanti ta sampaikan sama Bapak."

"Iyah Bang."

"Adek beneran mau nikah sama Abang?"

"Kalo enggak mau, enggak mungkin diterima!"

"Takutnya kepaksa gitu." Ucapnya terkekeh.

(Emang iya) batinku.

"Enggak kok Bang,"

"Ya sudahh, Abang mau kasih tahu dulu Bapak tanggal nikahnya. Takutnya nanti lupa. Agar segera persiapan."

"Iyah silahkan Bang. udah dulu yaa Assalamualaikum."

"Iya silahkan, Wa'alaikum salam.."

Tut.

Tak lama setelah itu, Bang Halim menghubungiku kembali.

"Adek sekarang lagi di mana?" tanya Bang Halim tiba-tiba.

"Di Asrama Bang, Emang kenapa?"

"Mau nginap di Asrama?"

"Iyah, Bang."

"Kata Mamah, Adek bersedia tidak besok Abang jemput?"

"Mau ngapain?"

"Abang disuruh jemput Adek, besok Mamah mau belanja buat hantaran, jadi nanti sepulang dari Asrama Adek ikut Abang sama Mamah buat belanja."

"Beneran?"

"Iyah!" Aku sedikit senang dengan sambutan keluarga Bang Halim yang mau mengikut sertakan aku untuk belanja." Abang sudah minta izin sama Kakak Adek barusan. beliau memberi izin,"

"Ya sudah, Nanti Abang jemput Adek ke sini." Akhirnya aku pun mau diajak belanja bersamanya, karena ini demi kebaikanku juga, takutnya barang-barang hantaran tidak sesuai dengan keinginanku bila aku menolaknya.

***

Sepulang dari belanja, Bang Halim mengantarkanku ke rumah. di atas motor aku dan Bang Halim saling diam hingga sampai di rumahku. Bang Halim mengobrol dengan Ibu sebentar, lalu dia pamit untuk pulang karena waktu sudah semakin sore.

Dua minggu lagi pernikahanku dilaksanakan. Sedangkan aku belum memberi tahu Kang Aldi, bahwa aku akan segera menikah.

Kulihat jam sudah menunjukan angka sembilan. Tandanya Kang Aldi sudah selesai mengajar. Kucoba menghubunginya, semoga saja dijawab langsung olehnya.

"Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikum salam..." jawabnya disebrang sana.

"Gimana kabarnya Kang?"

"Alhamdulillah baik. Kamu?"

"Alhamdulillah, kalo Akang baik-baik saja. Risa di sini juga baik."

"Syukurlah." Katanya singkat.

"Kang?" Panggil-ku padanya

"Iya?"

"Sebenarnya ada yang mau diomongin. Tapi Risa merasa berat untuk menyampaikannya."

"Kenapa? Ngomong aja!."

"Maaf, sebenarnya dua minggu yang lalu, ada yang melamar ke Risa."

"Terus?"

"Dua minggu lagi Risa akan menikah."

"Alhamdulillah." kok? jawabnya singkat amat. nggak sedih gitu - pikirku.

"Maaf, apabila selama ini Risa sering buat Akang jengkel dengan tingkah Risa."

"Enggak apa-apa!" Sesingkat itu kah jawabannya? Aku merasa tidak puas dengan jawabannya.

"Akang enggak sakit hati gitu?"

"Biasa aja!" Aku terdiam cukup lama. Kesal karena jawabannya singkat terus.

"Berat!" lanjutnya tiba-tiba. Membuatku mengerutkan dahi heran. Tadi bilang tidak apa-apa, kok barusan bilang berat.

"Iya, memang berat, tapi harus gimana lagi, nggak ada pilihan lain. " jawabku pasrah

"Semoga jadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Maaf, kalo Akang enggak bisa datang kesana. Sampaikan juga maaf ke Ibu, Akang enggak bisa memenuhi keinginannya dulu."

"Aammiinn... Iyaa enggak apa-apa, Kang!"

Dulu, pertama kenal Kang Aldi aku memang tidak terlalu meresponnya. Usia yang masih sangat muda membuatku tidak memperdulikannya. Namun Kang Aldi yang sering menitipkan ungkapan Salamnya membuatku tertarik. Aku yang saat itu adalah gadis kecil yang baru saja memulai menimba Ilmu Agama, tentu menginginkan teman lawan jenis agar aku tak bosan di Pesantren. Namun, seiring berjalannya waktu kami menjadi lebih dekat. Kang Aldi juga sudah berani bertanya bila kami berpapasan. dia juga berani mengirim pesan ketika waktu luang. Semakin dewasanya kang Aldi, semakin bertambah pula Ilmunya. Sebenarnya aku sering was-was terhadap Kang Aldi. Karena banyak yang suka padanya. malah ada orang tua yang terang-terangan menyodorkan Anak gadisnya kepada Orang tua Kang Aldi untuk di jodohkan. Namun Kang Aldi begitu kuat dengan pendiriannya. dan tetap bertahan denganku. Namun karena Ibuku menginginkan aku secepatnya menikah, akhirnya Kang Aldi mulai mundur dari kehidupanku. karena dia sadar, bahwa dirinya belum mampu mengabulkan keinginan Ibuku. hingga saat ini komunikasi kami menjadi tidak sehat, hingga terjadilah aku yang memutuskan menikah dengan orang lain, dan harus mengubur dalam-dalam rasa yang ada padanya.

"Maaf! Bukannya Akang enggak mau sama Risa, tapi Akang belum punya apa-apa. Akang pun belajar belum bisa menguasai semuanya. Akang dulu diancam sama Bapak, katanya kalo mau secepatnya menikahi Risa, Akang harus berhenti mondok, dan harus memulai bekerja. Jadi Akang putuskan untuk mendiamkan Risa. Karena Akang juga sejujurnya merasa berat." jelasnya membuatku ingin menangis.

"Maafin Risa juga Kang, kalau seandainya Ibu sehat, Risa juga akan terus mondok. Tapi Ibu dua minggu yang lalu terjatuh di kamar mandi, sehingga beliau stroke. Jadi Risa memutuskan untuk segera menikah, memang ini terlalu cepat, tapi Risa yakin, ini yang terbaik." ucapku dengan bercucuran air mata.

"Iyaah, enggak apa-apa. Akang ikut senang. Do'a yang terbaik untuk Risa dari Akang."

"Terimakasih Kang. Semoga Akang juga nanti dapat istri yang baik, sholehah melebihi Risa."

"Iyah Aammmiinn.." Kami terdiam sejenak. Lalu aku melanjutkan bertanya padanya tentang seseorang yang membuat aku memutuskan menikah dengan orang lain.

"Oiya Kang, Risa mau tanya. Yang namanya Dinar itu siapa?"

"Bukan siapa-siapa!, dia murid Akang di sini."

"Maaf ya Kang, sebenarnya Risa tahu tentang Akang dengan Dinar. Banyak yang ngasih tahu ke Risa. Jadi Risa putuskan untuk menerima lamaran yang lain, Agar dia bisa berharap lebih sama Akang."

"...." Kang Aldi terdiam lama.

"Maafin Risa yaa, mungkin ini yang terakhir Risa menghubungi Akang. Maafin Risa sebesar-besarnya. Semoga Akang mendapatkan ilmu yang bermanfaat serta dapat jodoh yang lebih baik dari pada Risa."

"Aammiinn..."

Kami terdiam sangat lama, entah hanya aku yang tidak mau memutuskan telepon, atau dia. Karena biasanya kami sering berkomunikasi sangat lama. Entah kenapa, kami menjadi canggung seperti awal-awal kami berkenalan.

"Maafin Akang yaa, semoga Risa jadi istri sholehah juga," ucapnya, sedikit membuat hatiku menghangat. "Oiya, Calon suaminya siapa? dan Orang Mana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status