Share

Musibah dan Lamaran

"Bang! ini kuncinya ketinggalan." seruku padanya. kulihat Bang Halim memeriksa saku jaketnya, dia menepuk jidatnya lalu menghampiriku.

"Hati-hati di jalan." kataku padanya, sedangkan dia hanya menjawab dengan menganggukan kepalanya. dia pun pamit untuk pulang, karena waktu semakin malam.

Dua hari berlalu setelah pertemuan pertamaku dengan Bang Halim. Hubunganku dengan Bang Halim berlanjut. Aku sempat berpikir bahwa apabila setelah pertemuan pertama kami Bang Halim berubah, oke, berarti kami tidak berjodoh, tetapi hingga kini bukannya Bang Halim menjauh, tetapi malah semakin dekat.

Sedangkan Kang Aldi belum tahu tentang aku yang sudah dilamar orang lain. Aku belum siap bicara, karena belum ada kepastian yang sebenarnya dari pihak orang tua Bang Halim.

Demi kehidupanku yang lebih baik untuk kedepannya. aku kencengin berdo'a kepada-Nya, agar diberi jalan yang pasti. Setiap malam aku selalu terbangun untuk melaksanakan Qiyamul lail. Sebelum sholat, ku tengok Ibu di kamarnya, karena aku takut ibu kenapa-napa. Dilanjut dengan beres-beres rumah. Setelahnya aku beribadah hingga subuh menjelang.

Namun, ketika aku sedang sholat. Aku mendengar keributan diluar kamar.

"Risaa..." Aku mendengar Kakak-ku memanggil, aku tak menjawab, aku teruskan shalatku karena tanggung sebentar lagi selesai.

"Assalamu'alaikum warahmatullah..." aku mengucap salam tanda sholatku selesai.

"Risa, ini Ibu jatuh!!" Deg. langsung aku bergegas keluar tanpa membuka mukena telebih dahulu.

"Ada apa? Ibuu!!" Ku lihat Ibu yang di gotong oleh saudara-saudaraku. Aku syok, Ibu kena stroke. Beliau tidak sadarkan diri. Mata yang sayu serta mulut yang terus mengeluarkan air liur membuatku ingin menangis.

Kupegang erat tangan beliau, dengan bibir yang terkatup rapat, kugumankan dalam hati bahwa aku belum siap dengan kejadian ini.

Ku lihat semua orang yang berada di rumah menangisi keadaan Ibu. karena Ibu tak kunjung sadar juga, sedangkan waktu terus berjalan, Alhamdulillah Ibu sadar setengah jam kemudian, setelah ditangani oleh Dokter daerah.

Aku bergegas ke kamar mandi mengambil air untuk membersihkan Ibu, karena Ibu terjatuh di kamar mandi sehingga membuat bajunya kotor.

"Ambil makan buat Ibu, Sa!" suruh Kakak-ku setelah mengganti semua pakaian Ibu. aku langsung mengambil makanan tanpa mengeluarkan kata membantah sedikitpun.

Berita ibu jatuh hingga stroke menyebar ke seantero Kampung. sehingga dari pagi hingga siang banyak tamu yang berdatangan menjenguk Ibu. Aku dari tadi tidak bicara sedikitpun. Aku masih syok dengan kejadian tadi.

Hingga menjelang waktu ashar, tamu masih berdatangan. Setelah adzan waktu ashar terdengar, aku bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat. setelah sholat di lanjutkan dengan berdo'a. didalam tangis, ku lantunkan do'a laa ilaaha illa angta, subhaanaka inni kungtu minadzolimin. sehingga 100 kali putaran. sungguh hari ini membuatku risau, sehingga aku tak bisa melakukan apapun selain menangisi keadaan. Aku takut ditinggal oleh Ibu, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain beliau. setelah selesai berdo'a aku bergegas ke dapur untuk membantu saudaraku memasak.

kulihat tamu masih banyak yang menjenguk Ibu, aku pergi ke dapur dengan mata sembab. aku merenung di depan tungku api, yang sedang mamasak air. berpikir gimana caranya agar aku bisa menikah secepatnya, karena aku takut Ibu nggak bisa menyaksikan Anak bungsunya menikah. Di luar terdengar suara motor yang berhenti di halaman rumah. Aku berpikir mungkin itu tamu yang akan menjenguk ibu, ternyata..

"Sa!! itu yang kemarin ngelamar kamu ke sini sama Bapak-nya!" Aku tidak langsung percaya mendengar Kakak-ku memberitahu siapa yang datang. ku tengok lewat pintu untuk memastikan kebenarannya.

"Allahu Akbar!" Aku kaget, pas melihat lewat pintu, kebetulan Bapak-nya Bang Halim melihatku lalu beliau tersenyum menyeringai. Aku malu sekali dicampur bingung. didalam banyak tamu, tidak mungkin aku memasukan bang halim kerumah Ibu.

"Bawa ke rumah Kakak, Sa!" Aku mengangguk, lalu bergegas keluar rumah menghampiri Bang Halim dan Bapak-nya. Aku menyalami Bapak Bang Halim dan hanya ku berikan senyuman untuk Bang Halim tanpa berjabat tangan. Lalu aku membawa mereka ke rumah Kakak-ku.

Aku menyuguhkan minum dan kue untuk Bang Halim dan Bapak-nya. Aku tersenyum lalu pergi memanggil saudara lelaki-ku untuk menemui Bang Halim.

"A, itu ada tamu!." ku lihat Kakak sulungku sedang mengganti lampu di rumah Ibu.

"Siapa?" tanyanya penasaran.

"Bang Halim yang kemarin kesini, sekarang dia sama Bapaknya kesini."

"Aahh, bohong!" Kakak-ku tidak percaya bahwa Bang Halim membawa Bapaknya.

"Beneran! mereka duduk di rumah Kak Rani." kataku meyakinkan.

"Hmm..." Katanya singkat. lalu pergi menemui tamu dadakan itu. Aku mengekor dibelakang Kakak-ku menemui Bang Halim. Saking tak percayanya diriku bisa didatangi oleh Bang Halim dan Bapaknya, sehingga aku lupa bahwa aku tidak memakai make up! baju yang dipakai pun bukan baju yang bagus dan bersih. Aahh sungguh malu, ditambah dari tadi duduk di depan tungku api, bayangkan! bukannya waangi ini malah bau asap!.

Apapun keputusan Bapaknya Bang Halim. Aku akan terima, melihat keadaanku yang seperti ini, aku tidak banyak berharap untuk kedepannya.

"Ibunya ke mana A?" tanya Bapak Bang Halim, karena tidak melihat wanita sepuh yang katanya Ibunya Risa.

"Ada di rumah, kebetulan tadi ada musibah di sini, Ibu terjatuh di kamar mandi, hingga kena stroke. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah sadar." Kak Akbar menjelaskan kejadian tadi subuh mengenai Ibu yang terjatuh.

"Innalillahi... Mudah-mudahn secepatnya sembuh ya.. "

"Aammiinn.." Kak Akbar mengaminkan harapan Bapaknya Bang Halim.

"Sudah lama itu Ibunya sakit?"

"Lumayan Pak, mungkin sekitar 4 tahun Ibu sakit." Bapak Bang Halim hanya mengangguk-mengaggukan kepalanya tanpa menjawab perkataan Kak Akbar.

"A, sebenarnya Bapak kesini selaku orang tua Halim, ingin meneruskan niat baik Anak saya, tentang lamaran kemarin. Apakah iya lamarannya diterima? Halim ini enggak punya pekerjaan yang tetap. kami pun sebagai orang tua bukan orang berada. Gimana? Apakah beneran terima?" Bapak Bang Halim bertanya, untuk memastikan kedepannya.

Aku bingung menghadapi keadaan seperti ini,

Kakak-ku terkekeh, "Terima kasih atas niat baiknya, untuk keputusannya diterima atau tidaknya, saya serahkan kepada Adik saya, karena Adik saya yang akan menjalaninya. betul ya Pak? kita yang hanya sebagai orang tua hanya bisa mendukung dengan keputusan Anak-Anaknya. Gimana Sa? Diterima enggak?" Kak Akbar menoleh padaku, sedangkan aku malah melirik Bang Halim yang sedari tadi hanya diam menyimak, aku memastikan dirinya apakah lamaran ini sungguhan?. Namun yang dilirik malah buang muka, ih ngeselin!.

Aku mengangguk, tanpa bicara, "diterima?" Kak Akbar bertanya untuk memastikan jawabanku. Aku pun mengangguk kembali, bertanda bahwa aku bersedia dilamar oleh pria pendiam sepertinya.

aku sempat menghaluin tentang dirinya, mungkin setelah menikah aku yang kudu gencar ajakin dia ngobrol, agar rumah tangga tetap berjalan tanpa diselimuti dengan rasa sepi.

"Iya Kak!." Biarlah kedepannya akan seperti apa, insya Allah, aku akan jalani dengan lapang dada. semoga aja Pria yang berada di seberang sana bisa diajak kerjasama untuk membangun rumah tangga yang Sakinah Mawaddah wa Rahmah.

"Alhamdulillah, lamarannya diterima katanya Pak," Kak Akbar menyampaikan jawabanku kepada Mereka.

"Alhamdulillah..." Calon mertuaku itu tersenyum sumringah dengan tangan menepuk pa-ha Bang Halim, sedangkan orang yang ditepuk malah diam saja tana senyum sedikitpun, "jadi langsung aja ya A, untuk tanggal pernikahannya kami serahkan kepada pihak perempuan." Bang Halim hanya manggut-manggut mendengarkan Bapaknya berbicara. Entah dia bahagia atau tidak, aku takan peduli! karena menurutku yang penting untuk saat ini bisa menikah secepat mungkin. soal cinta! itu bisa dihadirkan seiring waktu berjalan.

"Yaa sudah, karena keputusan sudah deal. Kami undur diri. Maaf enggak bisa menjenguk Ibu terlebih dahulu. Takutnya beliau syok yaa.." Bapaknya Bang Halim terkekeh karena rencana mendadak ini membuat kaget banyak orang. termasuk bagi Bang Halim sendiri.

"Yah, tidak apa-apa Pak," Kak Akbar menyalami Calon mertua dan Calon suamiku itu. aku mengantarkan mereka hingga keteras rumah.

Malamnya...

"Tadi siapa yang datang Sa?" tanya sepupuku yang sedang menjenguk Ibu.

"hmm??" aku pura-pura mudeg dengan pertanyaanya, karena sepupuku bertanya dihadapan Ibu. Aku tak ingin Ibu tahu tentang Aku dilamar oleh Bang Halim.

"Oohh itu... Orang Bandung A,"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status