Fachrisa adalah anak yatim yang sedang menempuh pendidikan Ilmu agama. Namun, dikarenakan Ibunya sedang sakit, dia memutuskan untuk berhenti belajar, dan bertekad untuk segera menikah sesuai keinginan Sang Ibu. Merasa Sang Ibu tak memiliki umur panjang, Fachrisa lantas ingin mendukung kekasihnya untuk bisa segera membawa hubungan mereka ke sebuah ikatan pernikahan. "Kenapa enggak tahu Kang? Ibu sudah sering nanyain Akang kenapa belum ke rumah lagi. Aku nggak tega melihat Ibu, Kang." jawabku sendu serasa dunia ini tidak ada yang peduli padaku. "Dulu itu pertama dan terakhir Akang ke rumahmu! Jadi, jangan berharap Akang akan ke rumahmu lagi. Akang harap, kamu tidak menunggu Akang dan hidup bahagia dengan lelaki yang datang melamarmu nanti." Deg. Aku merasakan sakit hati yang luar biasa. entah kenapa, semenjak Kang Aldi dipindah tugaskan di cabang pesantren yang lain, Kang Aldi menjadi sedikit berubah. Entah karena apa! Yang aku tahu, bahwa ada banyak wanita yang menyukainya, sedangkan Kang Aldi tak ingin waktu belajarnya terganggu. Namun, apa jawaban tak terduga ini maksudnya?
Lihat lebih banyak"Kang, kapan Akang akan datang kerumah untuk memastikan hubungan kita?" tanyaku pada lelaki yang berada di sebrang sana yang bernama Aldi, yang sudah mewarnai hari-hariku selama tiga tahun di pondok.
"Enggak tahu!" jawabnya ketus. Aku menahan rasa yang entah apa itu, yang pasti aku merasa dejavu dengan jawaban seperti itu. "Kenapa enggak tahu Kang? Ibu sudah sering nanyain Akang, katanya kenapa belum ke rumah lagi. Aku nggak tega melihat Ibu kang." keluhku yang membuat dia mendengus kesal."Dulu itu pertama dan terakhir Akang ke rumahmu! Jadi, jangan berharap Akang akan ke rumahmu lagi! Akang harap, kamu tidak menunggu Akang. Kamu harus menerima siapapun yang melamarmu. Akang do'ain semoga kamu hidup bahagia dengan lelaki yang datang melamarmu nanti."Deg.Aku merasakan sakit hati yang luar biasa setelah apa yang dia ucapkan. Entah kenapa, semenjak Kang Aldi dipindah tugaskan di cabang pesantren yang lain, Kang Aldi menjadi sedikit berubah. entah karena apa! yang aku tahu, bahwa ada banyak wanita yang menyukainya, sedangkan Kang Aldi tak ingin waktu belajarnya terganggu. Namun, apa katanya barusan?"Kenapa Akang berbicara seperti itu? kemana kata-kata manis yang sering Akang yakinkan selama ini padaku? yang selalu membuat aku merasa yakin atas keputusanku menunggu Akang hingga selesai belajar." Kang Aldi terdiam setelah aku berucap seperti itu."Enggak ada apa-apa, Akang seperti ini demi kebaikanmu, Sa. kalo seandainya nanti ada lelaki yang melamarmu, Akang harap kamu menerimanya.""Kalo aku tidak mau menerima yang lain gimana? " tanyaku mencoba menantang."Silahkan! kalo kamu sanggup nungguin Akang selesai belajar dua tahun lagi." Aku terdiam. Dua tahun itu bukanlah waktu yang sebentar. Aku tidak tega pada sang Ibu yang saat ini sering kambuh penyakitnya. Beliau memintaku agar segera menikah. Beliau hanya takut usianya tidak lama lagi, dan tidak bisa menyaksikan Anak bungsunya menikah."Bukannya kata kamu di sana ada Duda yang mau sama kamu, Sa? Kenapa kamu enggak terima dia? jangan nungguin aku yang belum pasti, Sa!" ucapannya mengingatkanku pada Duda tetangga rumah yang meresahkan. Karena Duda itu sudah berkoar-koar ke orang sekampung bahwa dirinya mengaku akan melamarku. Sedangkan yang sebenarnya, Duda itu enggak pernah datang ke rumah atau memberi pesan kepadaku atau keluargaku yang lainnya. Aku kesal dibuatnya. Jadi tambah kurang respect padanya. enggak ada beraninya untuk datang ke rumah. Padahal kalo serius dan gerecep bertindak, kan nanti bisa aku pertimbangkan!"Sudah nggak ada Kang gosipnya. Lagian juga aku masih nungguin Akang buat datang ke rumah.""Ya udah, tungguin Akang sadar ya, Dua tahun lagi! Kalo enggak sanggup sama yang lain aja!"Sebenarnya aku merasakan sakit hati di setiap kata yang Kang Aldi lontarkan. Namun aku menahannya, agar aku tidak menangis dihadapannya."Iyah Kang. Aku tungguin hingga waktu yang menentukan. Maaf kalo seandainya aku membuat Akang risih karena ditungguin."Kalo seandainya aku tahu Kang Aldi akan berubah, mungkin aku tidak akan berharap lebih dari dulu, mungkin aku akan menerima lamaran dari orang lain. Karena banyak laki-laki yang menginginkanku untuk menjadi pendampingnya. namun aku mencoba mempertahankan Kang Aldi karena sikap perhatiannya padaku."Kang..." panggilku padanya, karena tidak lagi terdengar suaranya, aku pun melihat layar yang sudah gelap. Ternyata, ponsel dimatikan oleh Kang Aldi tanpa pamit. 'Sekesal itukah kmKang Aldi padaku?' gumamku dalam hati. Sakit! Sungguh, aku tidak menyangka bahwa Kang Aldi akan berubah setelah aku menaruh harapan padanya.Aku mondok di Pesantren yang sama dengan Kang Aldi. sudah lebih tiga tahun aku mengenalnya. Namun, aku sempat mengira bahwa Kang Aldi adalah yang terakhir untukku, tapi, siapa duga dengan pernyatannya barusan. membuatku semakin tak punya harapan lagi padanya.Setelah pulang dari pondok tadi, aku yang melihat Ibu berbaring merasa sedih dengan keadaan beliau, sudah lama tidak kutemui, kini Ibu berbaring lemah, Di atas punggung beliau banyak lebam keunguan, bekas beberapa kali beliau terjatuh di tangga rumah. Berat badan yang menurun, serta tatapan mata yang sayu, membuat beliau terlihat lebih memperihatinkan. "Buu... Maaf!" Aku berucap dalam hati. Tak kuasa melihat keadaan beliau saat ini. Di Hari itu juga, Malamnya aku langsung menghubungi Kang Aldi, dan memberitahukan keadaan Ibu, sekaligus mempertanyakan tentang hubungan yang sedang kami jalani. Sungguh, aku kira setelah tiga bulan kami tidak komunikasi, hubungan kami akan baik-baik saja. Ternyata, hanya aku yang terlalu berharap dengannya. Aku tak ingin berhenti menunggunya, tetapi, Aku pun juga tidak tega kepada Ibu, apabila tidak memenuhi keinginannya untuk aku segera menikah.Aku terisak, rasanya ingin kubanting ponsel yang berada dalam genggamanku saat ini. Namun, aku masih ingat, bahwa ada Ibu yang sedang tidur di kamar sebelah. Tidak mungkin juga aku membanting barang yang tidak bersalah ini, hanya karena diriku yang sedang patah hati. tidak akan!"Ya Alloh, kuatkan aku! Siapapun lelaki yang datang pada bulan ini untuk melamarku, aku akan menerimanya! Siapapun dirinya, apapun pekerjaanya, dan bagaimanapun keadaanya, akan kuterima!" Batin-ku dengan wajah yang sudah basah. Kutatap langit-langit kamarku. sambil memikirkan Apakah ada? laki-laki yang mau menikahiku dalam waktu dekat ini. Aku menarik nafas dalam. Lalu menghempaskannya dengan pelan.Ting.Ku lihat ponsel jadulku yang sudah beberapa tahun menemaniku, disana ada pesan baru dari akun yang tidak dikenal. Lalu kubuka pesan itu dengan hati yang tak karuan.Halim Maulana [Assalamu'alaikum..]Aku menjawab dengan mata sedikit ngantuk.Fachrisa [ Waaaikum salam. Siapa?]Sambil menunggu balasan. Aku langsung membuka profil akun yang bernama Halim Maulana. Karena saat ini aku tidak mood kepada teman online yang banyak tanya. Sebelum melihat data dirinya terbuka, ternyata ada pemberitahuan pesan masuk darinya.Halim Maulana [Saya Halim dari Bandung.]Fachrisa [Ada perlu apa yaa Bang?]Halim Maulana [ Boleh ta'aruf Teh ?]Fachrisa [Silahkan Bang.]Halim Maulana [Teteh berasal dari mana?]Fachrisa [Saya berasal dari Garut.]Halim Maulana [Namanya siapa Teh?]Fachrisa [ Risa.]Halim Maulana [Teteh usianya berapa tahun. Terus masih sekolah, apa sudah kerja? atau sudah menikah? Maaf yaa, biar jelas aja. kan enggak lucu kalo seandainya ngajak ta'rufan sama istri orang. [Emot ketawa]]Fachrisa [Lagi mondok, dan belum menikah. Usia 20 tahun jalan.]Halim Maulana [Ooh iya, Alhamdulillah. Teh, bisa tidak kita ketemuan ?]Fachrisa [ Maaf, Bang! tidak bisa. saya bukan wanita sembarangan yang mau-mau aja kalo di ajak ketemuan. Maaf ya Bang, Kalo mau ketemu datang aja ke rumah,]Halim Maulana [Waduhhh. Kalo langsung ke rumah saya belum siap Teh]Fachrisa [Tadi yang ngajak Ta'arufan siapa ? Di suruh langsung ke rumah kok enggak siap. Seperti itulah zaman sekarang, katanya pacaran islami, atau ta'arufan, tapi kok masih berani pegang-pegang atau vidio call, kan Aneh!]Halim Maulana : [Hehe, Teteh enggak tahu kan dengan wajah asli saya. Gimana kalo seandainya langsung ke rumah, teteh enggak akan kaget dengan wajah saya yang buruk rupa?]Fachrisa [ Saya enggak bakalan kaget, palingan juga Abang yang kaget lihat saya, saya enggak cantik Bang, Pendek, kecil. lagi pula saya seorang anak yatim, miskin, dan banyak lagi kekurangannya. jangan mau ta'aruf sama saya! yaa, nanti bisa nyesal lho. ] Aku menjelaskan keadaan yang sebenarnya, karena aku tidak mau merasakan kecewa kesekian kalinya.Halim Maulana [Enggak apa-apa Teh, saya juga laki-laki yang enggak punya apa-apa.]Fachrisa [ Ya udah kalo seperti itu Bang, saya mau tidur.]Halim Maulana : lho, Kok ditinggalin?[Mel maksudnya apa ini?] balasku pada Melisa yang telah mengirimkan uang yang tidak sedikit bagiku. [Tadikan aku udah bilang, itu untuk jajan kamu Sa! Maaf ya sedikit.] [Ini banyak banget menurutku, Mel. Terimaksih banyak ya Mel, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan yang berlipat-lipat.][Iya, Aamminn... Udah dulu ya! aku mau kerja lagi. Wasallamu'alaikum.] [Iya Mel silahkan, Wa'alaikum salam...] Aku berkaca-keca ketika melihat nominal uang yang Melisa berikan. Allah itu maha baik, disaat aku sedang kebingungan memikirkan Bang Halim yang gak punya modal untuk bulan Ramdhan, sekarang Allah kirim uang melalui orang yang tak terduga. "Alhamdulillah." gumamku. Akupun langsung menghubungi Bang Halim agar Bang Halim segera pulang sebentar untuk mengambil uang di ATM. "Adek enggak mau membeli apa-apa?" tanya Bang Halim setelah mengambil uang dari ATM. "Enggak Bang, buat modal jualan aja." "Ya udah, ini simpan uangnya. Kalo Adek mau beli apapun silahkan aja, itu kan uang Adek." uja
"Alhamdulillahh..." ucap Bang Halim dengan Mata berkaca-kaca. Beliau pun langsung memelukku karena merasakan kebahagiaan yang tiada tara."Terimakasih..."Aku tersenyum melihat Bang Halim yang terus menerus membolak-balikkan alat tes kehamilan itu. Mungkin beliau merasa tidak percaya. "Ayo sholat Bang! Kita minta kepada Allah semoga ini memang benar-benar nyata." "Aammiin... Kita cek ke Dokter ya Dek! Biar jelas.""Nanti aja Bang. kalo udah telat haidnya. aku kan belum telat, nanti kalo sudah seminggu telat kita ke dokter." kataku padanya. yang dijawab dengan anggukan saja. Setelah melaksanakan sholat, aku berbaring lagi karena merasa lemah. Bersin-bersin yang tak kunjung berhenti membuatku cape sendiri. Aku mempunyai kebiasa Bersin-bersin bila pagi menjelang. karena aku mempunyai penyakit semacam alergi dingin semenjak aku berusia 13 tahun. Sudah dua jam berlalu, namun rasa lelah itu terus melanda. Aku bangkit dan memberanikan diri untuk melihat Bang Halim di dapur. Kulihat Belia
Keesokan harinya, Kakak aku yang tinggal di luar Kota datang. Aku sadari sikapnya sedikit berbeda, ia tak seramah dahulu sebelum berangkat ke luar kota. Mungkin Kakak aku yang lain mengadu tentang kesalahanku pada Ibu. Setiap aku mendekat padanya, ia selalu saja menghidar. Ketika malam tiba, aku tak sengaja bersingunggan dengannya. Ketika Kakak akan keluar sedangkan aku akan masuk rumah, aku mencoba memberanikan diriku bertanya padanya."Sebelum Ibu tiada, beliau manggil-manggil nama Kakak. Kenapa Kakak lama di luar Kota?" aku bertanya padanya untuk menghilangkan rasa canggung yang sejak tadi aku rasakan. Ternyata pertanyaanku menyulut emosinya yang mungkin ia tahan dari kemarin. "Kenapa kamu ninggalin Ibu?" katanya sedikit membentak, "Kakak kan udah bilang, jagain Ibu selama Kakak enggak Ada!" Kulihat sorot matanya yang sedang menahan air mata. Sepertinya ia lebih sakit ketika Ibu tiada sedangkan dirinya gak ada di sisinya. "Heuhhhh." geramnya dengan kilat ia mencubit pipiku. Kura
"Bang koma itu apa?" tanyaku pada suami yang sedang menyetir roda dua dengan bibir yang terkatuk rapat. "Sakaratul maut Dek, antara hidup dan mati. Ibu sekarang sedang kaya gitu!" Astaghfirullah... mendengar penjelasan dari Bang Halim aku terdiam dan terus berpikir bahwa tidak mungkin Ibu akan meninggal sekarang, dan meyakinkan diri sendiri bahwa Ibu hanya sedang kambuh agar aku segera pulang. Selama diatas motor aku dan Bang Halim hanya saling diam tanpa melanjutkan obrolan sedikitpun. Setelah sampai, aku berjalan diatas keheningan menunu rumah Kakak. Kulihat banyak orang yang berlalu lalang menuju rumah Kakak-ku. Mungkin menjenguk Ibu yang sedang koma.Ada rasa segan untukku bertemu dengan Ibu, karena aku menyadari, bahwa diriku yang lalai akan bakti padanya.Kubuka dengan pelan pintu ruangan yang sedikit terbuka. Kulihat Ibu yang terbaring dikelilingi banyak orang. Ku hampiri beliau dan aku terkesiap melihat beliau yang sedang kejang menahan rasa sakitnya. Aku langsung lari padan
"Uangnya ada berapa?" Bang Halim bertanya sambil mengelus rambut hitamku. Aku tatap uang receh di tanganku yang tak seberapa, uang itu adalah uang sisa-sisa belanja, Aku menatap kembali wajah teduh yang sudah beberapa bulan menjadi suamiku."Hanya ada sisa enam ribu." jawabku meringis. Karena merasa perihatin dengan diri sendiri. Yang tidak bisa apa-apa."Ya sudah, untuk hari ini apa cukup segitu? Tunggu ya! Nanti Abang akan coba minta kasbon dulu sama bos di pabrik, semoga saja nanti dikasih.""Iya enggak apa-apa, Bang." Aku hanya bisa memaklumi keadaan kami saat ini. Memang ada benarnya kata orang, ujian yang sebenarnya adalah setelah menikah.Sebelum menikah aku belum pernah menahan lapar dari pagi hingga sore menjelang, sedangkan setelah menikah, untuk jajan hanya dua ribu saja tidak ada. Mau minjam ke orang lain, tidak mungkin! minjam sama mertua aku gengsi.Sudah beberapa bulan, aku sering menahan lapar karena tak punya uang untuk sekadar membeli makanan gorengan. Karena di ruma
"Bu! selai yang dimeja kemanain?" "Enggak tahu!" jawabnya sambil mengusap-ngusap rambut basahnya."Itu Ibu pakai minyak rambut yang mana?" "Yang di meja!" "Astaghfirullah.. Bu! Itu selai nanas bu, bukan minyak rambut!" "Masa?" Ibu memegang rambutnya, lalu mengusap rambut itu. Aku terkekeh melihat tingkah ajaibnya seorang Ibu yang sudah pikun, eh! Menurun daya ingatnya maksudnya. "Iyaah Bu! itu selai nanas, coba dah Ibu rasain, rasanya pasti manis. kalo minyak rambut yang biasa Ibu pakai ada di kamar." Kulihat Ibu terkekeh geli. "Ibu keramas lagi gih, nanti susah ngilanginnya kalo udah kering."Ibu pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan rambutnya dari selai tanpa menjawab ucapanku sedikitpun. Aku hanya menghela nafas dalam melihatnya. Rasanya itu campur aduk, sedih ada, pengen ketawa ada, merasa cape hati pun ada. 'Semoga Allah memberi yang terbaik. Bila memang berumur panjang semoga aku kuat serta ikhlas mengurusnya. Namun apabila pendek, semoga Allah merahmatinya.' gumamk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen