Share

Terkabulnya Doa Istri Pertama
Terkabulnya Doa Istri Pertama
Penulis: Dirga Bumant

Terkabulnya Doa Istri Pertama

Terkabulnya Doa Istri Pertama

Bab 1

Awal kehancuran dan Kebangkitan

"Terima kasih, Pak!" Dengan hati-hati, Sarah turun dari taksi. 

Senyum penuh kebahagiaan mengembang dengan sempurna mengiringi langkahnya memasuki halaman rumah. Ia yang sendiri an dari klinik bersalin, mau tidak mau tangannya penuh bawaan. Tangan kiri menggendong bayi lelakinya yang diberi nama Emir Mahendra, sedang tangan kanan menenteng tas berisi keperluan selama di klinik bersalin. 

Kebahagiaan itu kian bertambah tatkala sang suami—Hendrik—menghentikan laju kendaraan roda empatnya di garasi tepat saat Sarah hendak membuka pintu rumah mereka. 

"Mas, udah pulang?" tanyanya sumringah begitu Hendrik keluar dari mobil. 

Bayangan akan sambutan dan permintaan maaf dari suami untuknya karena sudah berhasil melahirkan sang buah hati dan tidak bisa menemani selama persalinan mulai berputar-putar di benak Sarah. 

Namun, bayangan itu berhenti dan berganti menjadi sebuah pertanyaan ketika Hendrik bukannya segera menghampiri dirinya setelah mengitari kap mobil, melainkan membuka pintu kursi depan di samping supir. 

'Siapa yang ada di dalam?' batinnya penuh tanda tanya. 

Penasaran sekaligus cemburu segera menyeruak. Mata yang sempat berbinar penuh kebahagiaan kini menghilang seiring perlakuan manis nan romantis Hendrik kepada perempuan cantik dan seksi yang hanya menggunakan pakaian serba kurang bahan ketika turun dari mobil. 

"Siapa dia, Mas?" tanya Sarah penuh penekanan. Ia maju ke hadapan dua manusia dewasa yang sama sekali tidak melepaskan genggaman. Sakit, kecewa dan marah langsung bercokol di dada begitu kedua mata Sarah melihat itu semua. 

"Apa yang kalian lakukan? Kalian bukan muhrim. Ngerti, gak? Dan kamu, jadi perempuan jangan gatal!" Dengan dada penuh gebu, tas jinjing ia lepaskan begitu saja lalu merangsek melepaskan genggaman itu. Tak lupa, jari telunjuknya hampir ia colokkan ke mata perempuan itu. 

"Jangan sakiti dia, Sar!" bentak Hendrik seraya menghempaskan telunjuk Sarah. 

"Apa maksudmu membentak ku, Mas? Siapa dia, hah! Kenapa kamu membelanya?" protesnya menggelegar, ia tak mempedulikan bayinya dalam gendongan. Matanya bergantian menatap tajam Hendrik. Rasa kecewa menyeruak seiring pupusnya harapan mendapatkan perlakuan manis dari Hendrik untuknya. 

"Harusnya kau menyambutnya dengan baik, bukan malah begini. Karena dia adalah istri baruku, madumu! Namanya Novi. Aku menikahinya dua hari lalu," jelas Hendrik penuh semangat. 

Duar!!!! 

Bagai tersambar petir di siang bolong. Rasa sakit, kecewa, dan kemarahan akan bentakan Hendrik semakin bertambah setelah penjelasan itu memasuki rongga telinga Sarah. Terlebih lagi saat menjelaskan itu, kedua manusia itu bersitatap penuh cinta tak mengindahkan kehadiran dan perasaan Sarah. 

"Dua hari lalu?" Sarah berhenti sejenak memastikan pendengarannya, dua manusia itu mengangguk mantap. 

"Oh, ini alasan kamu tidak bisa pulang saat aku merasakan kontraksi dengan alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan? Apa salahku, kurangku, hah? Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, sholehah selama dua tahun ini. Aku menerima berapapun uang yang kau berikan, padahal gajimu puluhan juta. Aku juga menerima ketika tidak boleh ada ART dengan alasan tidak mau ada orang lain di rumah ini. Kenapa kamu malah membawa orang baru di rumah ini, di rumah tangga kita, hah? Jawab!" 

Sekuat tenaga Sarah meluapkan amarahnya. Kini ia benar-benar marah, jantungnya terasa memompa darah  puluhan kali lebih cepat hingga terasa mendidih. Di kepalanya seakan-akan berasap hendak meledak. Perasaan dan harga dirinya sebagai perempuan dan istri tercabik-cabik, berkeping-keping. Ia tidak terima jika segala pengorbanan sebagai istri, diduakan diam -diam begitu saja tanpa alasan yang tidak menyakitkan. 

"Kamu mau tahu?" Terpancing, Hendrik pun ikut meledak-ledak. "Karena kamu tidak pernah bisa melahirkan anak perempuan sesuai syarat yang diajukan Nenek untuk mendapatkan warisan, mengerti?" 

Hening!  Hanya terdengar detak jantung dari ketiganya—terutama Sarah—yang masih bertalu-talu, bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Sarah luar biasa kaget akan alasan itu. 

"Jadi, itu alasanmu? Di mana hati nuranimu, Hendrik? Hah, di mana? Kau tega-teganya menduakanku karena anak," jeritan Sarah tak terelakkan lagi. 

Seperti sudah disiapkan Tuhan untuk mendapatkan cobaan seperti ini, Sarah tidak merasakan apa itu lemas dan lemah. Terbukti, ia melahirkan begitu lancar tanpa kendala sedikitpun. Bahkan, berangkat ke rumah sakit bersalin hanya ditemani tetangganya. Itu pun hanya sebentar. 

Dengan kekuatan seperti layaknya tidak sedang habis melahirkan, Sarah dengan derap cepat mengambil tas jinjing itu. Lalu, mengayunkannya menghantam dada Hendrik yang pernah memberikan kehangatan dan kenyamanan. Hendrik pun terkesiap, lalu terhuyung ke belakang. Hampir saja tubuh kekarnya membentur mobil. Beruntung, Hendrik langsung tersadar dan berusaha menegakkan tubuhnya. 

"Kamu apa-apaan, sih, Sar?" amarah Hendrik tak terima. 

"Itu tak sebanding dengan rasa sakitku, Hendrik!" Mata keduanya bersitatap penuh kilatan amarah. 

Beruntung, bayi Emir sama sekali tidak terganggu akan kondisi kedua orang tuanya yang sedang tidak baik-baik saja dan Hendrik tidak membalas Sarah. 

"Sungguh! Aku tidak menyangka kamu ternyata bar-bar, juga durhaka pada suami. Aku beruntung sudah menikahi Novi yang cantik, baik hati dan solehah tidak seperti kamu!" ungkap Hendrik penuh kebencian , telunjuknya tak pernah lepas di depan mata Sarah. 

"Berani kamu membandingkan diriku dengan wanita murahan ini? Dan apa katamu? Dia solehah? Sudah buta dan jatuh rupanya seleramu!" Mata Sarah memindai Novi dari atas sampai bawah dengan remehnya. 

"Tutup mulutmu, Sarah!" Hendrik kembali membela Novi

"Aku tidak mau mendengar pembelaanmu untuk perempuan jalang perebut suami orang. Sekarang putuskan, kamu pilih aku atau dia?" Rasa sakit bertubi-tubi, membuat pilihan untuknya. 

"Haha! Kamu menantangku?" Bukannya merasa bersalah, Hendrik malah berkacak pinggang dan tersenyum mengejek. 

"Jelas aku memilih Novi yang akan memberikanku anak perempuan, daripada wanita tak tahu diri sepertimu! Sudahlah tidak bisa memberikan anak perempuan, malah semakin bar-bar dan durhaka. " Usai mengatakan itu, Hendrik memeluk pinggang ramping milik Novi. 

Dipilih Hendrik, membuat Novi menyunggingkan senyum kemenangan. Ia benar-benar merasa di atas angin. 

"Mas, ceraikan wanita udik ini, sih!" pinta Novi dengan nada manjanya, tangannya tak berhenti bergerilya di dada bidang milik Hendrik saat keduanya berhadapan. Jangan ditanya perasaan Sarah, sangat sakit untuk kesekian kalinya. 

"Oh, tentu saja, Sayang!" ucap Hendrik penuh kelembutan, segera saja ia lepaskan pelukan itu. Lalu, mempertegas sikap di hadapan Sarah. "Mulai saat ini, Aku Hendrik Mahendra menalak kamu, Sarah Puspa Ningrum! Kamu bukan istriku lagi dan sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi." 

Mata Sarah menutup, sakit di dadanya terasa semakin berat. Berton-ton batu terasa menghimpit, menghujam dadanya begitu dalam. Saking sakitnya, dunia seakan berhenti berputar untuknya. Benar-benar seperti terasa mati . 

"Tuh, kan, Sar. Mas Hendrik aja pilih aku, yang katamu wanita murahan ini. Kamu apa? Dipilih aja, gak. Terima kasih, ya, Mas!" ledek Novi, membuat Sarah membuka matanya. Sadar, bahwa dunia seperti tidak berpihak padanya lagi. 

"Boleh kamu menang dan merasa di atas angin saat ini, Novi! Tapi, lihat apa yang terjadi di kemudian hari! Kamu akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Kamu akan merasakan sakit hati yang lebih dalam lagi dari aku. Camkan itu! Dan untuk kamu, Mas. Duniamu akan hancur sehancurnya. Ingat, tabur tuai itu berlaku!" 

"Haha…."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status