Home / Rumah Tangga / Terkabulnya Doa Istri Pertama / Terkabulnya Doa Istri Pertama

Share

Terkabulnya Doa Istri Pertama

Author: Dirga Bumant
last update Last Updated: 2023-12-27 14:54:35

Bab 2

Bab 2

Provokasi Sarah

"Boleh kamu menang dan merasa di atas angin saat ini, Nov. Tapi, lihat apa yang terjadi di kemudian hari! Kamu akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Kamu akan merasakan sakit hati yang lebih dalam lagi dari aku. Camkan itu! Dan untuk kamu, Mas. Duniamu akan hancur sehancurnya. Ingat, tabur tuai itu berlaku!"  Dengan dada naik turun, Sarah mengucapkan sumpahnya. 

"Haha! Kamu pikir siapa bisa bersumpah begitu? Tidak akan mempan, dan kami tidak akan pernah takut!" ejek Novi. Ia dan Hendrik hanya tersenyum meremehkan, dianggapnya ucapan Sarah adalah angin lalu. 

"Udah, gak usah banyak batjot! Pergi jauh-jauh dariku. Jangan pernah kembali padaku. Pergi!" Hendrik mengusir dengan kasarnya . 

Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula, Sarah lagi-lagi harus menelan pil pahit sakit hati. Ia pun segera bergegas meninggalkan rumah yang banyak memiliki kenangan bersama mantan suaminya itu. 

Dengan langkah cepat, ia menyusuri jalanan yang sepi. Beruntung, ia tinggal di tempat yang pekarangannya serba luas sehingga teriakan akibat pertengkaran tadi tidak mengundang rasa penasaran tetangga. 

Air mata yang sedari tadi dikuat-kuatkan agar tetap terbendung, akhirnya tumpah juga. Bohong jika ia sekuat itu. Walau bagaimanapun, ia tetap perempuan biasa. Terlebih lagi, ia belum jauh dari masa melahirkan. Psikisnya masih lemah. 

Terburu-buru menyebabkan Sarah tidak membawa apapun dari dalam rumah itu. Ia hanya membawa tas jinjing dari klinik yang sempat ia lemparkan begitu saja tadi.

"Loh, Neng Sarah mau ke mana? Kan, baru ngelahirin kok jalan sendri gak dianterin Mas Hendrik? Bukannya Dia tadi sudah pulang, ya?" Gerombolan ibu-ibu sekitar rumah yang sedang memomong anak-anaknya sembari menyuapi menghentikan langkah Sarah. 

"Astaghfirullaah! Aku tidak boleh kelihatan lemah begini," batinnya. Ia tidak menjawab teguran itu, hanya menggeleng lemah dengan tetap melangkahkan kakinya meninggalkan bisik-bisik keheranan calon mantan tetangga atas dirinya yang berurai air mata. 

Namun, belum sempat melangkah, Sarah mendapatkan ide. Ia tahu betul siapa ibu-ibu di sekitarnya. Hal itu membuatnya senang seketika. 

"Ibu-ibu tahu saya mau ke mana?" Sarah membalikkan badan, merubah wajahnya menjadi sedih lalu mulai menceritakan semuanya. Tentu dengan bumbu-bumbu provokasi. 

"Astaghfirullaah! Ini tidak boleh dibiarkan. Kita harus melabrak wanita itu. Pezina seperti mereka harus di basmi." Ibu-ibu itu menjadi geram. Tangan-tangan mereka mengepal penuh emosi. 

"Kamu tenang saja, Neng! Kami semua akan melabrak mereka. Bila perlu mengarak keliling komplek," timpal ibu-ibu yang lain. 

Merasa provokasinya berhasil, dada yang semula penuh kemarahan berubah sedikit lebih tenang. Tak ingin berlama-lama, Sarah pun melanjutkan perjalanan. Walaupun sempat ditawari akan diantarkan oleh anak dari salah satu ibu-ibu tersebut, Sarah menolaknya. 

"Emir, sayangnya Bunda. Maafkan Bunda, ya, Nak!" Sarah berhenti sejenak setelah meninggalkan ibu-ibu tadi, ia mencium pipi kemerah-merahan Emir. 

Merasakan pipinya mendapatkan ciuman dari bundanya, ia menggeliat. Hanya dengan melihat putra dalam dekapnya, Sarah sejenak bisa melupakan apa yang terjadi sore itu dan hati jauh lebih baik. 

Ia kembali melanjutkan langkahnya. Tiba-tiba, di dalam benaknya ada yang mengganjal. Di mana ia akan tinggal? Kembali ke kampung halamannya juga tidak mungkin. 

Beruntung, nasib baik mulai bersama Sarah. Hanya sebentar memikirkan di mana akan tinggal, tiba-tiba  dalam kepalanya sudah muncul sebuah tempat yang bisa ia jadikan tempat berlindung. 

****

"Haha! Dia pikir dirinya malaikat, ya, Mas? Bisa-bisanya menyumpahi kita." Novi kembali mengejek begitu Sarah sudah tidak nampak di matanya. Dengan tawa di wajah tengilnya yang tak berhenti, ia menggandeng lengan Hendrik memasuki rumah. 

"Iya. Dia pikir begitu hebatnya sehingga dengan mudahnya memberikan sumpah untuk kita. Kalau dia hebat, gak mungkin jadi janda. Belagu juga sih jadi orang, tinggal terima kamu apa susahnya?" Setali tiga uang, Hendrik sama sekali tidak merasa bersalah malah mengikuti kelakuan istri barunya. 

"Mau di mana dia tinggal? Bisa apa tanpa kamu ,ya, Mas? Jadi perempuan kok sok banget?" Novi tak henti-hentinya meremehkan, padahal orangnya sudah tidak ada. 

"Biarinlah, gak penting buat kita. Yuk, bersenang-senang!" Hendrik menaik turunkan alisnya. 

*****

Tok! Tok! Tok! 

"Assalamu'alaikum!" Sarah sudah tiba di rumah yang akan ia jadikan tempat bernaung. Dalam hatinya berharap-harap cemas, apakah ia akan diterima? 

"Wa'alaikumussalaam! Iya, bentar." Sosok perempuan pemilik rumah segera menghampiri pintu. 

"Mbak Sarah!" pekik tuan rumah. Ia langsung menubruk merangkul Sarah. 

"Sabrina!" Sarah pun menyambut dengan hangat pelukan itu. Ada rasa yang tidak bisa ia ungkapkan dalam pelukan itu. Seperti menemukan tempat yang tepat, air mata kembali mengalir begitu saja. Padahal, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengeluarkannya. 

"Loh, kenapa menangis, Mbak? Ayo, masuk dulu! " Sabrina mengurai pelukan itu saat merasakan tubuh Sarah berguncang di pundaknya. 

Begitu sampai di dalam, Sarah bingung harus mulai dari mana menjelaskan tentang keadaan  dan maksud kedatangannya ke rumah sepupunya itu. Ya, Sabrina adalah anak dari adik ibunya Sarah. 

"Ini keponakanku, Mbak?" tanya Sabrina menghampiri Sarah yang nampak kebingungan sembari membawa nampan berisi makanan dan minuman di ruang tamu. Setelah meletakkan di atas meja tamu, ia pun segera duduk di samping Sarah dan memangku bayi Emir. 

"Iya, Na!" Sarah menjawab dengan tak bersemangat. Ada banyak perasaan kentara yang berusaha ia tutupi. Hal itu membuat Sabrina memicingkan matanya. 

"Sebenarnya ada apa, Mbak? Ada masalah apa? Kenapa tadi menangis?" Sabrina merasakan aura yang tidak  baik-baik saja dari kakak sepupunya itu. 

"Mbak, ada apa?" Tak kunjung mendapatkan jawaban, Sabrina pun mendesak membuat Sarah gelagapan. 

Dengan kembali menitikkan air mata, Sarah pun menceritakan keadaanya yang sebenarnya. Kepalan tangan dan wajah yang memerah tampak jelas menandakan kalau diri Sarah penuh dengan kemarahan, kekecewaan dan sakit hati. Ia bercerita dengan menggebu-gebu seiring di dadanya bertalu-talu. Di ujung cerita, Sarah pun akhirnya berani untuk meminta izin agar bisa tinggal di rumah itu. 

"Astaghfirullah!" Sabrina terperanjat begitu aliran kisah hidup Sarah selesai didengarnya. "Terbuat dari manusia itu? Ya, Allaah, kenapa begitu teganya dia padamu, Mbak? Mbak, tenang saja. Mbak boleh kok tinggal di sini. Bahkan, aku sangat senang karena ada teman sekarang." Selesai menanggapi Sarah dengan berapi-api, Sabrina menggenggam tangan Sarah sebagai bentuk menyalurkan kekuatan. Keduanya pun kembali berangkulan. 

"Terima kasih ya, Na? Ntah, jika gak ada kamu, Mbak gak tahu mau ke mana. Semua begitu buntu," ucap Sarah melepas rangkulan itu. 

"Mbak gak usah berterima kasih seperti itu. Udah seharusnya aku membantumu, Mbak. Kita bertiga akan menjalani kehidupan ini bersama-sama. Mbak harus semangat, ada aku. Kita harus membalasnya!" Di kepala Sabrina sudah ada banyak rencana balas dendam. 

****

Dok! Dok! Dok! 

"Hendrik! Keluar kamu, Hendrik!" Teriakan demi teriakan di depan rumah Hendrik begitu ribut terdengar dengan penuh emosi. 

"Dobrak aja, Pak RT!" 

"Mampus kamu, Hendrik! Ini baru permulaan." Senyum miring penuh kelicikan mengembang sempurna. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terkabulnya Doa Istri Pertama   bab 115

    Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,

  • Terkabulnya Doa Istri Pertama   bab 114

    “Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju

  • Terkabulnya Doa Istri Pertama   bab 113

    “Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu

  • Terkabulnya Doa Istri Pertama   bab 112

    “Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak

  • Terkabulnya Doa Istri Pertama   bab 111

    Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena

  • Terkabulnya Doa Istri Pertama   bab 110

    “Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status