Share

Terkabulnya Doa Istri Pertama

Bab 2

Bab 2

Provokasi Sarah

"Boleh kamu menang dan merasa di atas angin saat ini, Nov. Tapi, lihat apa yang terjadi di kemudian hari! Kamu akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Kamu akan merasakan sakit hati yang lebih dalam lagi dari aku. Camkan itu! Dan untuk kamu, Mas. Duniamu akan hancur sehancurnya. Ingat, tabur tuai itu berlaku!"  Dengan dada naik turun, Sarah mengucapkan sumpahnya. 

"Haha! Kamu pikir siapa bisa bersumpah begitu? Tidak akan mempan, dan kami tidak akan pernah takut!" ejek Novi. Ia dan Hendrik hanya tersenyum meremehkan, dianggapnya ucapan Sarah adalah angin lalu. 

"Udah, gak usah banyak batjot! Pergi jauh-jauh dariku. Jangan pernah kembali padaku. Pergi!" Hendrik mengusir dengan kasarnya . 

Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula, Sarah lagi-lagi harus menelan pil pahit sakit hati. Ia pun segera bergegas meninggalkan rumah yang banyak memiliki kenangan bersama mantan suaminya itu. 

Dengan langkah cepat, ia menyusuri jalanan yang sepi. Beruntung, ia tinggal di tempat yang pekarangannya serba luas sehingga teriakan akibat pertengkaran tadi tidak mengundang rasa penasaran tetangga. 

Air mata yang sedari tadi dikuat-kuatkan agar tetap terbendung, akhirnya tumpah juga. Bohong jika ia sekuat itu. Walau bagaimanapun, ia tetap perempuan biasa. Terlebih lagi, ia belum jauh dari masa melahirkan. Psikisnya masih lemah. 

Terburu-buru menyebabkan Sarah tidak membawa apapun dari dalam rumah itu. Ia hanya membawa tas jinjing dari klinik yang sempat ia lemparkan begitu saja tadi.

"Loh, Neng Sarah mau ke mana? Kan, baru ngelahirin kok jalan sendri gak dianterin Mas Hendrik? Bukannya Dia tadi sudah pulang, ya?" Gerombolan ibu-ibu sekitar rumah yang sedang memomong anak-anaknya sembari menyuapi menghentikan langkah Sarah. 

"Astaghfirullaah! Aku tidak boleh kelihatan lemah begini," batinnya. Ia tidak menjawab teguran itu, hanya menggeleng lemah dengan tetap melangkahkan kakinya meninggalkan bisik-bisik keheranan calon mantan tetangga atas dirinya yang berurai air mata. 

Namun, belum sempat melangkah, Sarah mendapatkan ide. Ia tahu betul siapa ibu-ibu di sekitarnya. Hal itu membuatnya senang seketika. 

"Ibu-ibu tahu saya mau ke mana?" Sarah membalikkan badan, merubah wajahnya menjadi sedih lalu mulai menceritakan semuanya. Tentu dengan bumbu-bumbu provokasi. 

"Astaghfirullaah! Ini tidak boleh dibiarkan. Kita harus melabrak wanita itu. Pezina seperti mereka harus di basmi." Ibu-ibu itu menjadi geram. Tangan-tangan mereka mengepal penuh emosi. 

"Kamu tenang saja, Neng! Kami semua akan melabrak mereka. Bila perlu mengarak keliling komplek," timpal ibu-ibu yang lain. 

Merasa provokasinya berhasil, dada yang semula penuh kemarahan berubah sedikit lebih tenang. Tak ingin berlama-lama, Sarah pun melanjutkan perjalanan. Walaupun sempat ditawari akan diantarkan oleh anak dari salah satu ibu-ibu tersebut, Sarah menolaknya. 

"Emir, sayangnya Bunda. Maafkan Bunda, ya, Nak!" Sarah berhenti sejenak setelah meninggalkan ibu-ibu tadi, ia mencium pipi kemerah-merahan Emir. 

Merasakan pipinya mendapatkan ciuman dari bundanya, ia menggeliat. Hanya dengan melihat putra dalam dekapnya, Sarah sejenak bisa melupakan apa yang terjadi sore itu dan hati jauh lebih baik. 

Ia kembali melanjutkan langkahnya. Tiba-tiba, di dalam benaknya ada yang mengganjal. Di mana ia akan tinggal? Kembali ke kampung halamannya juga tidak mungkin. 

Beruntung, nasib baik mulai bersama Sarah. Hanya sebentar memikirkan di mana akan tinggal, tiba-tiba  dalam kepalanya sudah muncul sebuah tempat yang bisa ia jadikan tempat berlindung. 

****

"Haha! Dia pikir dirinya malaikat, ya, Mas? Bisa-bisanya menyumpahi kita." Novi kembali mengejek begitu Sarah sudah tidak nampak di matanya. Dengan tawa di wajah tengilnya yang tak berhenti, ia menggandeng lengan Hendrik memasuki rumah. 

"Iya. Dia pikir begitu hebatnya sehingga dengan mudahnya memberikan sumpah untuk kita. Kalau dia hebat, gak mungkin jadi janda. Belagu juga sih jadi orang, tinggal terima kamu apa susahnya?" Setali tiga uang, Hendrik sama sekali tidak merasa bersalah malah mengikuti kelakuan istri barunya. 

"Mau di mana dia tinggal? Bisa apa tanpa kamu ,ya, Mas? Jadi perempuan kok sok banget?" Novi tak henti-hentinya meremehkan, padahal orangnya sudah tidak ada. 

"Biarinlah, gak penting buat kita. Yuk, bersenang-senang!" Hendrik menaik turunkan alisnya. 

*****

Tok! Tok! Tok! 

"Assalamu'alaikum!" Sarah sudah tiba di rumah yang akan ia jadikan tempat bernaung. Dalam hatinya berharap-harap cemas, apakah ia akan diterima? 

"Wa'alaikumussalaam! Iya, bentar." Sosok perempuan pemilik rumah segera menghampiri pintu. 

"Mbak Sarah!" pekik tuan rumah. Ia langsung menubruk merangkul Sarah. 

"Sabrina!" Sarah pun menyambut dengan hangat pelukan itu. Ada rasa yang tidak bisa ia ungkapkan dalam pelukan itu. Seperti menemukan tempat yang tepat, air mata kembali mengalir begitu saja. Padahal, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengeluarkannya. 

"Loh, kenapa menangis, Mbak? Ayo, masuk dulu! " Sabrina mengurai pelukan itu saat merasakan tubuh Sarah berguncang di pundaknya. 

Begitu sampai di dalam, Sarah bingung harus mulai dari mana menjelaskan tentang keadaan  dan maksud kedatangannya ke rumah sepupunya itu. Ya, Sabrina adalah anak dari adik ibunya Sarah. 

"Ini keponakanku, Mbak?" tanya Sabrina menghampiri Sarah yang nampak kebingungan sembari membawa nampan berisi makanan dan minuman di ruang tamu. Setelah meletakkan di atas meja tamu, ia pun segera duduk di samping Sarah dan memangku bayi Emir. 

"Iya, Na!" Sarah menjawab dengan tak bersemangat. Ada banyak perasaan kentara yang berusaha ia tutupi. Hal itu membuat Sabrina memicingkan matanya. 

"Sebenarnya ada apa, Mbak? Ada masalah apa? Kenapa tadi menangis?" Sabrina merasakan aura yang tidak  baik-baik saja dari kakak sepupunya itu. 

"Mbak, ada apa?" Tak kunjung mendapatkan jawaban, Sabrina pun mendesak membuat Sarah gelagapan. 

Dengan kembali menitikkan air mata, Sarah pun menceritakan keadaanya yang sebenarnya. Kepalan tangan dan wajah yang memerah tampak jelas menandakan kalau diri Sarah penuh dengan kemarahan, kekecewaan dan sakit hati. Ia bercerita dengan menggebu-gebu seiring di dadanya bertalu-talu. Di ujung cerita, Sarah pun akhirnya berani untuk meminta izin agar bisa tinggal di rumah itu. 

"Astaghfirullah!" Sabrina terperanjat begitu aliran kisah hidup Sarah selesai didengarnya. "Terbuat dari manusia itu? Ya, Allaah, kenapa begitu teganya dia padamu, Mbak? Mbak, tenang saja. Mbak boleh kok tinggal di sini. Bahkan, aku sangat senang karena ada teman sekarang." Selesai menanggapi Sarah dengan berapi-api, Sabrina menggenggam tangan Sarah sebagai bentuk menyalurkan kekuatan. Keduanya pun kembali berangkulan. 

"Terima kasih ya, Na? Ntah, jika gak ada kamu, Mbak gak tahu mau ke mana. Semua begitu buntu," ucap Sarah melepas rangkulan itu. 

"Mbak gak usah berterima kasih seperti itu. Udah seharusnya aku membantumu, Mbak. Kita bertiga akan menjalani kehidupan ini bersama-sama. Mbak harus semangat, ada aku. Kita harus membalasnya!" Di kepala Sabrina sudah ada banyak rencana balas dendam. 

****

Dok! Dok! Dok! 

"Hendrik! Keluar kamu, Hendrik!" Teriakan demi teriakan di depan rumah Hendrik begitu ribut terdengar dengan penuh emosi. 

"Dobrak aja, Pak RT!" 

"Mampus kamu, Hendrik! Ini baru permulaan." Senyum miring penuh kelicikan mengembang sempurna. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status