Share

3. Gara-gara Hujan

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2024-08-14 10:38:43

Suasana yang membuatku kurang nyaman ini tidak berlangsung lama karena gerbang sekolah segera terbuka. Syukurlah, akhirnya aku terbebas dari dua orang yang sedang berusaha menyindirku ini.

Farah berlari kecil ketika melihatku berdiri di ujung jalan. Aku pun segera menghampirinya supaya anak itu tidak terlalu lama kehujanan. Meski  hujan tidak terlalu besar, tapi lama-lama bisa basah juga bajunya.

"Mama jalan kaki?" tanya Farah sambil celingukan mencari motor kami.

"Enggak apa-apa 'kan kalau kita jalan kaki?" Aku balik bertanya.

"Nggak," jawab Farah singkat. Aku tahu meski tidak protes tapi anak itu sedikit kecewa.

"Doakan Mama dan Ayah segera punya uang supaya bisa beli motor yang enggak mogok saat kehujanan."

Farah hanya mengangguk.

"Sepatunya dibuka, ya, Nak. Takut basah, besok 'kan harus dipakai lagi." Aku meletakkan sandal jepit yang tadi sengaja dibawa dari rumah setelah meminta Farah melepas sepatu satu-satunya itu.

Setelah anak itu berganti sendal, aku pun menyerahkan payung milik kami. Lagi-lagi, payung ini satu-satunya yang kami punya. Kemudian mengajak anak itu pulang. Aku sendiri hanya menggunakan caping untuk melindungi kepala dan membiarkan baju dan badan ini basah. Hujan sudah mulai reda dan hanya tinggal gerimis, tapi dalam perjalanan dari sekolah ke rumah pasti bajuku akan basah.

Kami berjalan dengan beriringan. Satu tanganku menenteng kantong kresek yang berisi sepatu Farah.

"Roknya diangkat, Nak, biar gak kena air. Besok 'kan harus dipakai lagi!"

Farah menurut, karena seragam itu satu-satunya yang dia miliki sama seperti sepatu. Penghasilan Mas Akbar dari berjualan martabak memang cukup untuk makan kami sehari-hari. Akan tetapi tetap saja kami harus berhemat dan menyisihkan sebagian uang untuk ditabung.

Alhasil, anak-anak pun hanya memiliki satu seragam. Malahan Suci menggunakan seragam bekas kakaknya dulu.

Baru beberapa langkah kami berjalan, Farah yang berjalan di depanku tiba-tiba menjerit. Rok seragamnya yang sudah diangkat tinggi-tinggi basah terkena cipratan air. Motor yang baru saja melintas melewati kami pun berhenti di depan tak jauh dari kami. Pengendaranya tak lain adalah Siska, wanita itu pun menoleh.

"Aduh maaf Farah, nggak sengaja. Jadi kotor, ya, roknya?" tanyanya tanpa rasa bersalah.

Melihat itu, sontak saja dadaku terasa panas karena sepertinya Siska sengaja melakukan itu.

"Lain kali kalau jalan pakai motor itu hati-hati, Neng. 'Kan sudah tahu ada orang sedang jalan, kenapa ada air menggenang diterjang saja?!"

"Namanya juga nggak sengaja atuh, Teh Tami."

"Tapi ini seragam Farah satu-satunya jadi kotor. Kalaupun sekarang langsung dicuci, saya nggak yakin bisa kering dan bisa dipakai lagi besok."

"Bisa kok, Teh, 'kan pakai pengering. Eh, maaf lupa. Teh Tami 'kan nggak punya mesin cuci. Kalau gitu diangin-angin saja di depan tungku pasti cepat kering. Saya duluan, ya."

Aku hanya bisa membuang napas kasar mendengar Siska lagi-lagi meledekku.

Usia Siska lebih muda 7 tahun dariku. Tapi dia nikah muda, oleh karena itu, anaknya seumuran dengan Farah. Aku sendiri telat nikah karena merantau dulu ke kota.

Di perantauan itulah aku bertemu dengan Mas Akbar. Kami pun saling jatuh cinta dan sepakat menikah meski tanpa restu orang tua Mas Akbar. Aku sendiri tidak tahu alasan sebenar kenapa orang tua Mas Akbar tidak merestui hubungan kami. Mirisnya, sampai sekarang aku belum pernah sekali pun bertemu dengan mertuaku itu. Yang kudengar, orang tua Mas Akbar orang berada. Mungkin perbedaan inilah yang membuat hubungan kami tidak mendapat restu.

Dulu sempat ragu, karena Mas Akbar tidak jelas asal usulnya. Hal itu juga yang membuat orang tuaku sampai saat ini tidak begitu merespon pernikahan kami.

Satu hal yang membuatku yakin adalah, Mas Akbar tidak pernah menyakitiku. Tulus menyayangiku, hingga aku memutuskan untuk hidup bersamanya meski setelah menikah kami harus kembali ke kampungku karena Mas Akbar kena PHK.

Hidup benar-benar dimulai dari nol tanpa campur tangan orang tuaku, apalagi mertuaku. Rasa tidak suka Ibu kepada kami semakin bertambah ketika adikku menikah. Ditambah lagi rumah tangga Tari cukup berhasil dimata Ibu. Toko elektronik milik Firman, suaminya Tari, berkembang cukup pesat. Meski belakangan kutahu kalau mereka mengambil pinjaman dari bank. Jadi bukan semata-mata bisnisnya lancar, tapi karena mendapat tambahan modal dari bank.

"Tadi Ayah telepon, Ma." Suci melapor sambil menyerahkan ponsel yang tadi sengaja aku letakkan di atas nakas, Sesaat setelah aku sampai di rumah.

"Suci mengangkatnya?" tanyaku sambil menerima benda itu. Suci pun mengangguk.

"Suci bilang kalau Mama lagi jemput Kak Farah?" Aku menatap anak keduaku itu.

Gadis kecil itu pun kembali mengangguk.

"Ayah bilang apa?"

"Kalau Mama sudah pulang suruh telepon ke Ayah."

"Ya sudah, nanti setelah Mama mencuci baju seragam Kakak Farah, Mama telepon Ayah."

Aku kembali meletakkan ponsel di tempat semula. Bergegas meminta Farah berganti pakaian dan segera kucuci roknya yang tadi terkena cipratan air di jalan. Setelah itu aku menggantungnya di luar, berharap airnya cepat turun supaya besok bisa digunakan kembali ke sekolah. Syukur-syukur kalau setelah ini, ada panas lagi.

Lepas menyiapkan makan siang untuk anak-anak, aku meminta izin pada mereka supaya jangan mengganggu karena mamanya ini akan menelepon ayahnya.

"Baru sampai? Kenapa lama sekali?" tanya Mas Akbar ketika kami sudah saling bertukar kabar.

Lagi, kuceritakan perjalananku menjemput Farah yang terpaksa harus dilakukan dengan berjalan kaki karena hujan. Kemudian tentang insiden rok seragam Farah yang basah.

"Sabar ya, Ma. Nanti kalau Mas punya uang kita beli motor baru dan seragam baru buat Farah."

"Aamiin, Mas. Mudah-mudahan rezeki Mas selalu lancar. Kalau boleh aku tahu, sebenarnya Mas Akbar sekarang bekerja apa?"

"Nanti Mas ceritakan kalau sudah pulang. Sekarang doakan saja supaya rezeki Mas lancar. Meskipun belum bisa menghasilkan uang banyak, tapi untuk makan dan jajan anak-anak sudah ada. Nanti kirimkan nomor rekening, Mas mau kirim uang."

Ada rasa lega mendengar Mas Akbar akan mengirimkan uang. Tabunganku sudah menipis, karena setiap hari digunakan untuk makan dan keperluan sekolah anak-anak.

"Tapi, Mas .... " Aku teringat sesuatu.

"Kenapa?"

"Rekeningku yang dulu sudah lama tidak pernah digunakan lagi."

Semenjak kami menikah dan pindah ke kampung, kami memang tidak pernah lagi menggunakan nomor rekening untuk transaksi keuangan. Pekerjaannya Mas Akbar yang berjualan martabak pun tidak membutuhkan transaksi bank.

"Besok kirim ke nomor rekening Ibu saja, Mas!" Aku memberikan solusi.

"Apa tidak sebaiknya bikin rekening baru saja?" Mas Akbar sepertinya kurang setuju kalau mengirim uang melalui rekening Ibu.

"Eum .... "

"Bukan apa-apa. Mas hanya tidak mau ribet dengan pertanyaan Ibu."

"Iya, Mas, aku ngerti. Tapi bikin rekening baru itu harus pergi ke bank. Mengantri pula. Sementara aku butuh uangnya cepat."

"Begini saja. Besok pergi ke tempatnya Kang Rohman saja yang punya BRI link itu. Biar Mas kirim ke sana supaya bisa langsung cair."

"Siap, Mas. Kebetulan tabungan kita sudah menipis."

"Iya, Mas tahu. Makanya mau cepet-cepet dikirim."

Panggilan berakhir setelah Mas Akbar berbincang sebentar dengan anak-anak. Aku mengucap syukur, mudah-mudahan ini awal yang baik untuk keluargaku.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    42. Pov Lestari

    Kepergian Bapak membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya Bapak terkena serangan jantung setelah ada dua orang polisi mencari Mas Firman ke rumahnya. Mas firman memang akhir-akhir ini tengah dicari oleh banyak pihak. Kesalahannya semakin bertambah. Terakhir ia dilaporkan oleh salah satu temannya karena terlibat utang ratusan juta. Usut punya usut, ternyata uang itu ia gunakan untuk bermain judi online, selain bersenang-senang dengan jalang itu.Hidupku kini benar-benar kembali ke nol. Menumpang hidup di rumah Teh Tami dan mau tak mau harus bekerja untuk mencukupi hidupku bersama dua orang anak dan juga Ibu. Orang tuaku juga ikut-ikutan bangkrut karena ulah Mas firman. Untuk biaya tahlilan Bapak, Teh Tami yang menanggung. Saat ini aku mengandalkan uang kiriman Teh Tami untuk makan sehari-hari. "Tari, kita tidak mungkin terus menerus mengandalkan kakakmu. Kedepannya harus bisa mandiri. Kamu harus cari kerjaan. Anak-anak biar Ibu yang urus," ucap Ibu sore ini selepas acara tahlilan

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    41. Ambisi

    Tangisku pecah setelah gundukan tanah basah dihadapanku ditaburi bunga-bunga beraneka rupa. Di dalamnya, jasad Bapak terbujur. Sore kemarin aku mendapat kabar dari Ibu kalau bapak berpulang secara mendadak. Padahal paginya kami masih berbincang di telepon. Lebih dari dua bulan aku tinggal di Jakarta, belum sempat pulang menengok beliau. Kami cukup direpotkan dengan urusan pindah sekolah anak-anak. Saat melakukan panggilan video, Bapak terlihat segar. Aku juga setengah tidak percaya kalau Bapak akan pergi secepat ini. "Sudah, Ma, ikhlaskan. Tidak baik meratapi kepergian seseorang yang kita sayang sebabkan itu akan menjadi beban baginya." Mas Akbar merangkulku kemudian tangan kekarnya terasa mengusap punggungku. Aku bukannya tidak ikhlas, tapi keinginanku untuk membawa Bapak berkunjung ke rumahku di Jakarta belum sempat terkabul. Beliau sempat memintaku untuk menunjukkan keadaan rumah kami di Jakarta saat kami melakukan panggilan video. Saat itu Bapak tak hentinya mengucap syukur

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    40 Saras

    Niat menanyakan tentang Saras pada Mas Akbar masih harus aku tunda sampai anak-anak tidur. Biasanya mereka tidur cepat, tapi karena tadi di mobil sempat terlelap, jadi Farah sampai di rumah sangat susah disuruh masuk kamar. Begitupun dengan Suci. Setelah aku bujuk dengan alasan besok harus sekolah, akhirnya kedua anak perempuanku mau masuk kamar. Aku pun berganti pakaian dan membersihkan wajah. Lepas itu berjalan ke ruang tengah untuk menemui Mas Akbar. Meskipun dalam hati masih bingung, kalimat apa yang harus kusampaikan pada beliau untuk menanyakan perihal Saras. "Ponselmu tadi menyala dua kali." Belum juga aku duduk di sampingnya, Mas Akbar sudah menunjuk benda pipih yang tergeletak di atas meja. Aku baru ingat, ponsel itu tadi berada di tas. Mungkin karena berbunyi, Mas Akbar mengeluarkannya untuk melihat siapa yang menghubungiku. "Siapa yang telepon?" tanyaku seraya duduk di sampingnya. Lalu meraih benda tersebut. "Bi Ica." Mataku menyipit. Ada apa Bi Ica malam-malam telep

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    39. Nama Wanita Lain

    Minggu ketiga kami berada di Jakarta. Hari ini menjadi hari yang paling mendebarkan. Bagaimana tidak, kemarin sore pada saat Mas Akbar baru pulang dari kantor, beliau mengabarkan bahwa Papa dan Mama mertuaku ingin bertemu dengan kami. Kabar itu pun diperkuat oleh telepon dari Tante Devi, katanya papanya Mas Akbar, orang yang dulu paling menentang hubungan kami, sangat gembira ketika mendengar kabar menantu dan cucunya ini sudah ada di Jakarta. "Ini berkat kesabaranmu, Tami. Selama ini sudah mendampingi Akbar meskipun hidup kalian pas-pasan. Tante yakin kamu punya doa yang baik-baik untuk suami dan keluarganya." Itu yang diucapkan Tante Devi di akhir percakapan kami melalui telepon. Anak-anak pun begitu bahagia ketika mendengar akan bertemu dengan omah dan opahnya. Mereka juga bersemangat bangun pagi. Meski demikian, aku tidak lupa lupa memberi nasihat pada tiga anakku. Supaya mereka bisa menjaga sikap di rumah omah dan opahnya nanti. Terutama Farah yang sudah besar. Keluarga Mas

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    38. Pulang

    Seminggu kemudian, anak-anak sudah selesai ulangan. Aku pun sudah menemui kepala sekolah mereka untuk meminta izin dan mengurus surat-surat pindah. Tentu saja beliau tidak mengizinkan dengan alasan tunggu sampai kenaikan kelas. Tetapi, kalau mau izin pergi ke Jakarta diperbolehkan. Akan tetapi, surat pindah baru bisa dikeluarkan setelah anak-anak naik kelas nanti. Aku pun setuju, yang penting kami bisa berangkat ke Jakarta untuk menemui orang tuanya Mas Akbar. Mertuaku, sekaligus kakek dan neneknya anak-anakku. Sore nanti rencananya, Pak Amir akan datang menjemput kami. Tadi pagi aku sempat berpamitan pada Bapak dan Ibu, mengabarkan bahwa kami akan tinggal bersama Mas Akbar. Meskipun belum selesai mengurus surat di kantor kelurahan. Bapak sangat sedih ketika aku mengatakan akan tinggal di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak mau meninggalkan Bapak dalam keadaan sakit-sakitan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai seorang istri aku harus manut pada suamiku. "Sebenarnya Bapak

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    37. Identitas Palsu

    Selesai menemani Bapak ke dokter, aku langsung berpamitan. Selain karena sudah tidak begitu khawatir, aku juga penasaran pada Bi Ica. Dari nada bicaranya aku tahu kalau wanita itu serius. Rasa ingin tahuku cukup besar, apalagi yang dilakukan oleh Siska lantaran Bi Ica terdengar sangat emosi. Tiba di kampungku, di warung Ceu Entin terlihat banyak orang. Awalnya kukira karena banyak yang belanja. Aka tetapi, ketika aku melintas, Bi Ica memanggilku. Otomatis aku pun mengerem mendadak. "Sini Teh Tami, mampir dulu!" "Ada apa, sih, Bi?" Aku memperhatikan beberapa orang yang tengah asik mengobrol di emper warung. "Eh, kan saya mau curhat." "Di sini? Kan banyak orang. Di rumah say aja, yuk!" Jujur saja aku risih kalau harus ngobrol di emper warung. "Di sini aja. Mereka sudah pada tahu, kok." Bi Ica melirik beberapa tetangga yang masih asyik dengan gosip mereka. Aku menggeleng perlahan. Selain karena tidak pernah bergosip di emper warung Ceu Entin, aku juga risih karena banyak orang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status