Share

2. Sindiran

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2024-08-14 10:38:00

"Lalu kalian makan apa kalau libur terus?" tanya Ibu sinis ketika tahu Mas Akbar tidak jualan. Bahkan ia tidak ingin bertanya lebih lanjut perihal musibah yang kukatakan barusan.

Aku hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaannya, sambil memikirkan jawaban untuknya. Tempo hari Mas Akbar berpesan, untuk sementara aku harus merahasiakan dulu pekerjaan barunya.

"Alhamdulillah kami masih ada simpanan," jawabku sambil menunduk.

"Percuma saja menabung kalau satu dua hari sudah dipakai," lanjut Ibu makin sinis.

Kali ini aku diam, karena tidak akan ada habisnya jika terus meladeni ucapannya.

"Coba dulu kamu mau nikah sama Herlan. Hidupmu sekarang pasti banyak uang. Lihat saja istri ketiganya, emasnya banyak dan mobilnya bagus."

Ibu masih mengungkit masalah itu. Sebelum menikah dengan Mas Akbar, aku memang pernah menolak lamaran kang Herlan. Bos rongsokan yang akan menjadikan aku istri kedua. Jelas saja aku tolak, selain sudah tua, Kang Herlan itu terkenal tukang kawin. Hal itu pula yang membuat Ibu marah padaku. Sering mengungkit jika ada kesempatan. Kedua orang tuaku selalu mengukur segala sesuatu itu dari segi materi.

Ibu berpamitan beberapa saat kemudian. Aku hanya bisa mengusap dada, hari ini menghadapi dua wanita yang sama-sama memuja uang dan kehormatan hingga mereka rela menempuh jalan apan pun supaya tetap terdepan. Dua-duanya juga mendesak supaya aku mengikuti caranya. Ini yang membuatku tidak nyaman dan serba salah.

***

Beberapa hari ini hujan turun setiap habis dzuhur. Seperti siang ini, aku baru selesai solat ketika di luar tiba-tiba mendung. Bergegas keluar untuk mengangkat jemuran. Mendahulukan mengangkat sisa kemarin yang baru kering hari ini. Membawanya ke dalam rumah lalu keluar lagi untuk mengangkat jemuran yang dicuci tadi pagi. Sebagian belum kering sempurna, bahkan pakaian yang terbuat dari kain yang tebal masih basah.

"Sekarang mah, begitu duhur langsung hujan saja, ya, Neng Siska." Terdengar suara Bu Mirna yang rumahnya bersebelahan dengan Siska di seberang rumahku. Rumah kami hanya terhalang gang yang muat satu mobil saja, hingga jika ada mobil dan motor berpapasan terpaksa pengendara motor harus mengalah dan meminggirkan kendaraannya dulu.

Jadi, percakapan apapun yang terjadi di seberang sana pasti akan jelas terdengar.

"Iya, Bu Mirna. Untung saja cucian kita sudah kering, soalnya sebelum dijemur dikeringkan dulu di dalam mesin."

Mendengar jawaban dari Siska, tiba-tiba ada rasa tidak enak di hatiku. Meksi tidak menyebut nama, tapi aku merasa ucapan itu ditujukan padaku. Aku tidak pernah menimbrung obrolan mereka. Kali ini pun hanya mendengar, meski yakin Siska tengah menyindirku. Maka aku hanya diam sementara telinga mulai panas.

"Sekarang ini zamannya sudah serba canggih, Neng Siska. Jadi segalanya sudah dipermudah. Teknologi sudah berkembang dengan baik. Orang kampung pun bisa hidup senang seperti orang kota." Jawaban Bu Mirna pun seperti sedang mengiyakan ucapan Siska barusan. Tak salah lagi, mereka bersekongkol menyindirku. Seperti diketahui oleh para warga yang lain, Siska dan Bu Mirna itu selalu se-iya se-kata. Bisa jadi mereka dendam karena aku menolak bergabung dengannya dalam team pinjaman bank emok. Jadi keduanya membahas kekurangan keluargaku yang tidak punya mesin cuci.

"Nah, itu dia, Bu Mirna. Zaman sekarang hidup sudah dipermudah, ngapain masih bertahan mempersulit diri dengan melakukan kerjaan serba manual. Ya 'kan?"

"Primitif, hihihi .... "

Keduanya tertawa cekikikan.

Tanpa bicara sepatah kata pun, aku cepat-cepat menyelesaikan mengangkat jemuran yang belum kering semuanya. Memindahkannya ke teras lalu masuk.

Karena penasaran, sesampainya di dalam rumah, aku pun mengintip mereka dari balik kaca. Siska nampak berjalan menghampiri pagar pembatas rumahnya dengan rumah Bu Mirna. Begitupun Bu Mirna. Mereka bertemu di satu titik hanya terhalang pagar saja.

Keduanya lalu berbisik-bisik sampai sesekali melirik ke arah rumahku. Sudah dapat dipastikan kalau barusan mereka memang bekerja sama untuk menyindirku. Karena tadi aku menolak ajakan Siska untuk bergabung bersama kelompok bank emok-nya.

Tak lama hujan pun mulai deras. Aku pun bersiap untuk menjemput Farah, anak pertamaku yang sudah kelas tiga SD. Sebentar lagi jam bubar sekolah, karena hujan, aku harus menjemputnya karena tadi pagi Farah tidak membawa payung.

"Suci, Dani, kalian tunggu di rumah sebentar, ya. Mama mau jemput kak Farah dulu." Aku menghampiri dua anakku, adiknya Farah. Mereka sedang bermain di ruang tengah.

"Hujan ya, Ma?" tanya Suci tanpa mengalihkan pandangan dari boneka yang ada di tangannya.

"Iya. Suci tolong Mama untuk jagain Dani sebentar, ya."

"Iya, Ma. Tapi jangan lama-lama," jawab Suci, anak keduaku yang umurnya hanya terpaut dua tahun dari Farah. Sementara Dani yang yang masih berusia empat tahun hanya melihat sekilas ke arahku. Lalu kembali fokus pada mainannya.

Mereka sudah biasa bermain sendiri ketika aku membantu Mas Akbar mempersiapkan dagangannya. Jadi tidak akan rewel jika ditinggal sebentar.

Aku memilih berjalan kaki menuju sekolah Farah yang jaraknya hanya 200 meter. Jika menggunakan motor, aku khawatir kendaraan itu akan mogok terkena air hujan. Karena biasanya, jika businya terkena air maka motor Supra jadulku akan sulit hidup atau mati mendadak. Lagi pula, akan sangat kesulitan jika mengendarai motor sambil membawa payung. Karena memang seharusnya menggunakan jas hujan ketika berkendara roda dua. Sayangnya, aku juga tidak memiliki jas hujan.

"Lho, mamanya Farah jalan kaki?" tanya Bu Lola ketika aku sampai di dekat pintu gerbang sekolah Farah. Di sana sudah banyak ibu-ibu yang menunggu anaknya.

"Iya, Bu. Deket ini, lagi pula saya nggak punya jas hujan, 'kan susah kalau pake motor."

"Ah, zaman segini nggak punya jas hujan. Ya, ketinggalan dong, mamanya Farah. Ceu Ati kemarin bawa jas hujan banyak, kenapa nggak ngambil aja?" lanjut Bu Lola dengan nada bicara khas ibu-ibu tukang gosip. Ceu Ati adalah tukang kredit yang biasa berkeliling di kampung ini. Kebetulan aku tidak kenal dekat dengan beliau, karena aku memang tidak pernah mengambil kreditan.

"Enggak, Bu. Kebetulan saya bukan pelanggan Ceu Ati."

"Ya ampun, ketinggalan zaman, dong. Orang sekampung ini, hampir semua barangnya ngambil dari Ceu Ati. Pantesan Mama Farah ini nggak punya apa-apa, soalnya nggak kenal sama Ceu Ati, ya."

"Sudahlah, Bu Lola. Kalau ngomong sama orang yang beda prinsip itu nggak bakalan nyambung."

Kami berdua serentak menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Siska baru saja datang. Dia sedang duduk di atas motor matic barunya. Enam bulan yang lalu, Siska mengambil kredit dari dealer terdekat.

"Beda prinsip gimana, Neng Siska." Bu Lola bertanya serius.

"Prinsipnya, Teh Tami itu nggak mau kredit. Maklum lah banyak uang, suaminya 'kan bos. Jadi bisa langsung beli kalau mau apa-apa," sindir Siska lagi. Matanya mendelik sinis ke arahku. rupanya wanita itu dendam berkepanjangan padaku. Dalam hati, aku aamiin-kan saja ucapannya.

"Zaman sekarang, nggak ngambil kredit, ya, nggak bakalan punya apa-apa. Syukurlah kalau punya banyak uang, tapi kalau saya, sih, mendingan ambil kredit. Penghasilan  suami yang sedikit, membuat nggak sanggup kalau ngambil cash," jawab Bu Lola sambil melihat ke arahku.

"Iya, Bu Lola. Mending kalau suami penghasilannya banyak, kita mau beli apa-apa juga tinggal ting."

Keduanya lalu tertawa. Aku hanya diam memperhatikan gerbang sekolah, berharap anak-anak segera keluar supaya aku bisa terbebas dari gunjingan dua orang ini.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    42. Pov Lestari

    Kepergian Bapak membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya Bapak terkena serangan jantung setelah ada dua orang polisi mencari Mas Firman ke rumahnya. Mas firman memang akhir-akhir ini tengah dicari oleh banyak pihak. Kesalahannya semakin bertambah. Terakhir ia dilaporkan oleh salah satu temannya karena terlibat utang ratusan juta. Usut punya usut, ternyata uang itu ia gunakan untuk bermain judi online, selain bersenang-senang dengan jalang itu.Hidupku kini benar-benar kembali ke nol. Menumpang hidup di rumah Teh Tami dan mau tak mau harus bekerja untuk mencukupi hidupku bersama dua orang anak dan juga Ibu. Orang tuaku juga ikut-ikutan bangkrut karena ulah Mas firman. Untuk biaya tahlilan Bapak, Teh Tami yang menanggung. Saat ini aku mengandalkan uang kiriman Teh Tami untuk makan sehari-hari. "Tari, kita tidak mungkin terus menerus mengandalkan kakakmu. Kedepannya harus bisa mandiri. Kamu harus cari kerjaan. Anak-anak biar Ibu yang urus," ucap Ibu sore ini selepas acara tahlilan

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    41. Ambisi

    Tangisku pecah setelah gundukan tanah basah dihadapanku ditaburi bunga-bunga beraneka rupa. Di dalamnya, jasad Bapak terbujur. Sore kemarin aku mendapat kabar dari Ibu kalau bapak berpulang secara mendadak. Padahal paginya kami masih berbincang di telepon. Lebih dari dua bulan aku tinggal di Jakarta, belum sempat pulang menengok beliau. Kami cukup direpotkan dengan urusan pindah sekolah anak-anak. Saat melakukan panggilan video, Bapak terlihat segar. Aku juga setengah tidak percaya kalau Bapak akan pergi secepat ini. "Sudah, Ma, ikhlaskan. Tidak baik meratapi kepergian seseorang yang kita sayang sebabkan itu akan menjadi beban baginya." Mas Akbar merangkulku kemudian tangan kekarnya terasa mengusap punggungku. Aku bukannya tidak ikhlas, tapi keinginanku untuk membawa Bapak berkunjung ke rumahku di Jakarta belum sempat terkabul. Beliau sempat memintaku untuk menunjukkan keadaan rumah kami di Jakarta saat kami melakukan panggilan video. Saat itu Bapak tak hentinya mengucap syukur

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    40 Saras

    Niat menanyakan tentang Saras pada Mas Akbar masih harus aku tunda sampai anak-anak tidur. Biasanya mereka tidur cepat, tapi karena tadi di mobil sempat terlelap, jadi Farah sampai di rumah sangat susah disuruh masuk kamar. Begitupun dengan Suci. Setelah aku bujuk dengan alasan besok harus sekolah, akhirnya kedua anak perempuanku mau masuk kamar. Aku pun berganti pakaian dan membersihkan wajah. Lepas itu berjalan ke ruang tengah untuk menemui Mas Akbar. Meskipun dalam hati masih bingung, kalimat apa yang harus kusampaikan pada beliau untuk menanyakan perihal Saras. "Ponselmu tadi menyala dua kali." Belum juga aku duduk di sampingnya, Mas Akbar sudah menunjuk benda pipih yang tergeletak di atas meja. Aku baru ingat, ponsel itu tadi berada di tas. Mungkin karena berbunyi, Mas Akbar mengeluarkannya untuk melihat siapa yang menghubungiku. "Siapa yang telepon?" tanyaku seraya duduk di sampingnya. Lalu meraih benda tersebut. "Bi Ica." Mataku menyipit. Ada apa Bi Ica malam-malam telep

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    39. Nama Wanita Lain

    Minggu ketiga kami berada di Jakarta. Hari ini menjadi hari yang paling mendebarkan. Bagaimana tidak, kemarin sore pada saat Mas Akbar baru pulang dari kantor, beliau mengabarkan bahwa Papa dan Mama mertuaku ingin bertemu dengan kami. Kabar itu pun diperkuat oleh telepon dari Tante Devi, katanya papanya Mas Akbar, orang yang dulu paling menentang hubungan kami, sangat gembira ketika mendengar kabar menantu dan cucunya ini sudah ada di Jakarta. "Ini berkat kesabaranmu, Tami. Selama ini sudah mendampingi Akbar meskipun hidup kalian pas-pasan. Tante yakin kamu punya doa yang baik-baik untuk suami dan keluarganya." Itu yang diucapkan Tante Devi di akhir percakapan kami melalui telepon. Anak-anak pun begitu bahagia ketika mendengar akan bertemu dengan omah dan opahnya. Mereka juga bersemangat bangun pagi. Meski demikian, aku tidak lupa lupa memberi nasihat pada tiga anakku. Supaya mereka bisa menjaga sikap di rumah omah dan opahnya nanti. Terutama Farah yang sudah besar. Keluarga Mas

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    38. Pulang

    Seminggu kemudian, anak-anak sudah selesai ulangan. Aku pun sudah menemui kepala sekolah mereka untuk meminta izin dan mengurus surat-surat pindah. Tentu saja beliau tidak mengizinkan dengan alasan tunggu sampai kenaikan kelas. Tetapi, kalau mau izin pergi ke Jakarta diperbolehkan. Akan tetapi, surat pindah baru bisa dikeluarkan setelah anak-anak naik kelas nanti. Aku pun setuju, yang penting kami bisa berangkat ke Jakarta untuk menemui orang tuanya Mas Akbar. Mertuaku, sekaligus kakek dan neneknya anak-anakku. Sore nanti rencananya, Pak Amir akan datang menjemput kami. Tadi pagi aku sempat berpamitan pada Bapak dan Ibu, mengabarkan bahwa kami akan tinggal bersama Mas Akbar. Meskipun belum selesai mengurus surat di kantor kelurahan. Bapak sangat sedih ketika aku mengatakan akan tinggal di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak mau meninggalkan Bapak dalam keadaan sakit-sakitan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai seorang istri aku harus manut pada suamiku. "Sebenarnya Bapak

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    37. Identitas Palsu

    Selesai menemani Bapak ke dokter, aku langsung berpamitan. Selain karena sudah tidak begitu khawatir, aku juga penasaran pada Bi Ica. Dari nada bicaranya aku tahu kalau wanita itu serius. Rasa ingin tahuku cukup besar, apalagi yang dilakukan oleh Siska lantaran Bi Ica terdengar sangat emosi. Tiba di kampungku, di warung Ceu Entin terlihat banyak orang. Awalnya kukira karena banyak yang belanja. Aka tetapi, ketika aku melintas, Bi Ica memanggilku. Otomatis aku pun mengerem mendadak. "Sini Teh Tami, mampir dulu!" "Ada apa, sih, Bi?" Aku memperhatikan beberapa orang yang tengah asik mengobrol di emper warung. "Eh, kan saya mau curhat." "Di sini? Kan banyak orang. Di rumah say aja, yuk!" Jujur saja aku risih kalau harus ngobrol di emper warung. "Di sini aja. Mereka sudah pada tahu, kok." Bi Ica melirik beberapa tetangga yang masih asyik dengan gosip mereka. Aku menggeleng perlahan. Selain karena tidak pernah bergosip di emper warung Ceu Entin, aku juga risih karena banyak orang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status