Share

4. Kiriman Uang

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2024-08-14 10:39:23

Besoknya, setelah Farah dan Suci pergi sekolah, aku segera berangkat ke konter Kang Rohman. Selain berjualan pulsa, konter Kang Rohman ini adalah agen BRI link satu-satunya di lingkungan terdekat.

Kuparkir motor bebek jadulku di depan konter. Mataku tertuju pada kendaraan yang sudah berjajar terlebih dahulu. Sepertinya salah satunya adalah milik Siska.

Kenapa, kami selalu ditakdirkan bertemu. Tidak di rumah atau di tempat lainnya. Dunia ini terasa sangat sempit. Tidak mungkin juga mengurungkan niat, toh aku tidak punya salah pada wanita itu. Hanya saja, aku perlu mempersiapkan hati. Lantaran sejak aku menolak tawaran untuk bergabung dengan kelompok bank emok-nya, Siska sepertinya sangat dendam padaku.

Ada tiga orang yang sedang mengantri di konter ini, aku pun memilih duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu. Ketiga orang yang sedang mengantri itu sepertinya tidak menyadari kehadiranku karena memang aku tidak bersuara.

"Kalau nggak ada duit, nggak usah beli paketan. Ini yang kemarin saja belum dibayar, masa sekarang mau ngutang lagi?!" Suara Kang Rohman meninggi. Rupanya salah satu dari tiga orang yang sedang berjajar dekat etalase itu ada yang berhutang pulsa.

"Nanti juga dibayar kalau suamiku sudah mengirim uang." Itu suara Siska. Apa jangan-jangan ....

"Nantinya, kapan? Dari dulu nanti-nanti terus. Utang bulan kemarin juga belum dibayar. Masa sudah satu bulan suaminya nggak ngirim-ngirim? Gak ngirim atau nggak niat bayar?" Suaranya Kang Rohman lantang.

Aku masih diam menguping percakapan mereka. Siska juga sepertinya tidak menyadari kehadiranku.

"Namanya orang, ya, banyak kebutuhan. Yang penting 'kan kalau sudah ada uangnya, pasti dibayar." Suara Siska sekarang terdengar ketus.

"Ini sudah yang ketiga kalinya. Setelah ini saya tidak mau lagi memberikan pinjaman!" Kang Rohman juga tidak kalah sewot.

Tak ada lagi percakapan, ketika aku mengangkat wajah, Siska sedang berjalan meninggalkan konter. Awalnya aku tidak mau menyapa karena percuma, hanya akan membuat masalah.

Naasnya, Siska malah menoleh ke arahku. Wanita itu seperti terkejut ketika mendapati aku tengah duduk. Aku membuang pandang pura-pura tidak melihatnya, tapi Siska malah mendekat.

"Teh Tami ngapain di sini, mau beli pulsa juga?"

"Enggak. Mau mau narik uang."

"Narik uang?" tanyanya sambil memandangku sinis, seakan tidak percaya.

Dasar tidak tahu malu, padahal baru saja aku mendengar percakapan mereka. Wanita ini paket kuota saja ngutang, bisa-bisanya seakan meledekku. Atau mungkin dia iri?

Seketika jiwa julidku meronta. Ini tidak bisa didiamkan. Toh, barusan sudah ketahuan kelakuan Siska.

"Mas Akbar dapat pekerjaan di kota. Alhamdulillah bisa ngirim untuk jajan anak-anak."

"Oh. Jadi Mas Akbar berhenti jualan itu disuruh Teh Tami pergi ke kota? Supaya gaya dikit tiap bulan dikirim uang. Kupikir gak jualan karena kehabisan modal."

"Itu keinginan Mas Akbar, karena jualan di kampung itu susah mau berkembang. Untungnya sedikit ditambah lagi banyak yang ngutang enggak bayar." Aku berkata seperti itu bukan tanpa alasan, beberapa bulan yang lalu, Siska memang mengutang dua porsi martabak pada Mas Akbar. Sampai saat ini utang itu sepertinya dilupakan.

"Neng Tami mau beli pulsa?" Karena keasyikan ngobrol dengan Siska, aku tak sadar kalau dua orang yang tadi mengantri sudah pergi. Makanya Kang Rohman memanggilku.

"Enggak Kang saya mau ambil uang. Kutinggalkan Siska tanpa permisi. Aku pun mendekat pada etalase.

"Mas Akbar mau kirim uang dari kota, tapi aku belum punya rekening. Jadi, bisa 'kan numpang ke sini?" tanyaku setelah duduk.

"Bisa, kirimkan aja nomor rekening saya. Jangan lupa sertakan bukti transfer-nya."

"Oh ya, baiklah." Aku  membuka ponsel lalu mencari percakapan dengan Mas Akbar. Kuberikan ponsel itu pada Kang Rohman supaya dia mengetik sendiri nomor rekeningnya.

"Ya ampun, zaman sekarang, kok, gak punya rekening? gaya-gayaan mau dikirim uang tapi gak punya rekening," celutuk seseorang dari belakang. Rupanya Siska tidak pergi, malah duduk di bangku kayu bekasku tadi sambil main ponsel.

Dasar kepo!

"Maaf merepotkan, ya, Kang. Habis ini aku langsung ke bank mau bikin rekening sendiri, kok."

"Itu lebih bagus, tapi kalau mau nebeng di rekening saya juga nggak apa-apa."

"Nanti merepotkan."

"Sama sekali tidak, 'kan ada uang adminnya." Kang Rohman tersenyum.

"Kalau punya rekening sendiri ,'kan jadi enak."

"Iya sih, kalau mau bikin rekening sendiri jangan lupa pakai kartu ATM, nanti geseknya di sini aja."

"Iya, Kang. Terima kasih."

Lima menit kemudian Kang Rohman memeriksa ponselnya karena ada bunyi notifikasi. Dia bilang uang yang dikirim oleh Mas Akbar sudah sampai, sebanyak 5 juta. Jumlah yang cukup besar menurutku. Aku pun sempat kaget. Sebenarnya apa pekerjaan Mas Akbar?

"Wah lumayan besar Teh Tami. Memangnya Mas Akbar sekarang kerja apa di kota?"

"Nggak tahu, Kang. Mas Akbar juga belum memberitahu secara detail. Dia hanya bilang mendapat pekerjaan yang gajinya lumayan untuk memenuhi kebutuhan kami sehari hari." Aku menjawab seadanya karena memang seperti itu yang terjadi.

Berselang beberapa menit, Kang Rohman memberikan lima ikat uang lima puluh ribuan dan ratusan ribu. Tanganku sampai gemetar ketika menerimanya. Maklum, selama menjadi istri Mas Akbar, aku belum pernah memegang uang sebanyak ini.

"Ini sudah dipotong uang admin, ya, Teh," Jelaskan Rohman.

"Terima kasih, ya, Kang sudah mau direpotkan."

"Jangan bilang seperti itu, Teh, 'kan sudah pekerjaan saya. Dihitung dulu, Teh. Takutnya lebih, hehehe."

"Percaya, kok. Kalau begitu saya permisi dulu."

"Ya, Teh, hati-hati. Jangan lupa tasnya ditutup, takut uangnya hilang." Kang Rohman berseloroh ketika aku bangkit setelah berpamitan.

"Ah, iya, Kang. Terima kasih sudah mengingatkan."

Namun, baru saja hendak bangkit, ponselku berbunyi. Segera aku mengambilnya, ternyata itu telepon dari Mas Akbar.

Mas Akbar ingin memastikan kalau uang itu sudah aku terima. Sekilas aku melirik ke arah bangku kayu, ternyata Siska masih ada di sana sambil memainkan ponselnya. Ah, wanita itu pasti kepo, makanya duduk di sana sambil terus menguping.

Timbul ide untuk mengaktifkan speaker.

"Belanja keperluan anak-anak, ya. Sepatu dan baju harus lebih dari satu. Payung dan jas hujan jangan lupa. Kalau kamu mau beli baju, beli saja. Tapi jangan lupa untuk menabung supaya kita bisa beli motor baru juga mesin cuci." Suara Mas Akbar terdengar jelas di ujung telepon.

Mataku mengerjap, terharu karena Mas Akbar memintaku untuk beli barang-barang yang memang sangat kami butuhkan. Mungkin karena mendengar ceritaku kemarin.

"Iya, Mas, sekarang aku mau ke pasar dulu. Beli barang-barang untuk keperluan anak. Kalau bajuku, itu gampang. Toh aku masih punya yang layak, yang penting kita nabung supaya bisa beli motor baru dan mesin cuci. Aku cape jadi bahan omongan orang."

Sengaja aku mengucapkan itu agak keras supaya terdengar oleh Siska. Tak lupa aku pun memperhatikan dengan ujung mata, bagaimana reaksi wanita itu.

"Hati-hati, ya!"

"Siap, Mas juga semangat kerjanya. Biar bisa ngirim uang banyak lagi."

Panggilan berakhir, aku pun segera menyimpan ponsel ke dalam tas. Penasaran, aku menoleh ke arah siska yang masih duduk di bangku. Ketahuan sekali kalau dia kepo. Wanita itu melongo sambil memandang ke arahku. Tapi begitu pandangan kami bertemu, wanita itu langsung berpaling sambil komat-kamit.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    42. Pov Lestari

    Kepergian Bapak membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya Bapak terkena serangan jantung setelah ada dua orang polisi mencari Mas Firman ke rumahnya. Mas firman memang akhir-akhir ini tengah dicari oleh banyak pihak. Kesalahannya semakin bertambah. Terakhir ia dilaporkan oleh salah satu temannya karena terlibat utang ratusan juta. Usut punya usut, ternyata uang itu ia gunakan untuk bermain judi online, selain bersenang-senang dengan jalang itu.Hidupku kini benar-benar kembali ke nol. Menumpang hidup di rumah Teh Tami dan mau tak mau harus bekerja untuk mencukupi hidupku bersama dua orang anak dan juga Ibu. Orang tuaku juga ikut-ikutan bangkrut karena ulah Mas firman. Untuk biaya tahlilan Bapak, Teh Tami yang menanggung. Saat ini aku mengandalkan uang kiriman Teh Tami untuk makan sehari-hari. "Tari, kita tidak mungkin terus menerus mengandalkan kakakmu. Kedepannya harus bisa mandiri. Kamu harus cari kerjaan. Anak-anak biar Ibu yang urus," ucap Ibu sore ini selepas acara tahlilan

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    41. Ambisi

    Tangisku pecah setelah gundukan tanah basah dihadapanku ditaburi bunga-bunga beraneka rupa. Di dalamnya, jasad Bapak terbujur. Sore kemarin aku mendapat kabar dari Ibu kalau bapak berpulang secara mendadak. Padahal paginya kami masih berbincang di telepon. Lebih dari dua bulan aku tinggal di Jakarta, belum sempat pulang menengok beliau. Kami cukup direpotkan dengan urusan pindah sekolah anak-anak. Saat melakukan panggilan video, Bapak terlihat segar. Aku juga setengah tidak percaya kalau Bapak akan pergi secepat ini. "Sudah, Ma, ikhlaskan. Tidak baik meratapi kepergian seseorang yang kita sayang sebabkan itu akan menjadi beban baginya." Mas Akbar merangkulku kemudian tangan kekarnya terasa mengusap punggungku. Aku bukannya tidak ikhlas, tapi keinginanku untuk membawa Bapak berkunjung ke rumahku di Jakarta belum sempat terkabul. Beliau sempat memintaku untuk menunjukkan keadaan rumah kami di Jakarta saat kami melakukan panggilan video. Saat itu Bapak tak hentinya mengucap syukur

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    40 Saras

    Niat menanyakan tentang Saras pada Mas Akbar masih harus aku tunda sampai anak-anak tidur. Biasanya mereka tidur cepat, tapi karena tadi di mobil sempat terlelap, jadi Farah sampai di rumah sangat susah disuruh masuk kamar. Begitupun dengan Suci. Setelah aku bujuk dengan alasan besok harus sekolah, akhirnya kedua anak perempuanku mau masuk kamar. Aku pun berganti pakaian dan membersihkan wajah. Lepas itu berjalan ke ruang tengah untuk menemui Mas Akbar. Meskipun dalam hati masih bingung, kalimat apa yang harus kusampaikan pada beliau untuk menanyakan perihal Saras. "Ponselmu tadi menyala dua kali." Belum juga aku duduk di sampingnya, Mas Akbar sudah menunjuk benda pipih yang tergeletak di atas meja. Aku baru ingat, ponsel itu tadi berada di tas. Mungkin karena berbunyi, Mas Akbar mengeluarkannya untuk melihat siapa yang menghubungiku. "Siapa yang telepon?" tanyaku seraya duduk di sampingnya. Lalu meraih benda tersebut. "Bi Ica." Mataku menyipit. Ada apa Bi Ica malam-malam telep

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    39. Nama Wanita Lain

    Minggu ketiga kami berada di Jakarta. Hari ini menjadi hari yang paling mendebarkan. Bagaimana tidak, kemarin sore pada saat Mas Akbar baru pulang dari kantor, beliau mengabarkan bahwa Papa dan Mama mertuaku ingin bertemu dengan kami. Kabar itu pun diperkuat oleh telepon dari Tante Devi, katanya papanya Mas Akbar, orang yang dulu paling menentang hubungan kami, sangat gembira ketika mendengar kabar menantu dan cucunya ini sudah ada di Jakarta. "Ini berkat kesabaranmu, Tami. Selama ini sudah mendampingi Akbar meskipun hidup kalian pas-pasan. Tante yakin kamu punya doa yang baik-baik untuk suami dan keluarganya." Itu yang diucapkan Tante Devi di akhir percakapan kami melalui telepon. Anak-anak pun begitu bahagia ketika mendengar akan bertemu dengan omah dan opahnya. Mereka juga bersemangat bangun pagi. Meski demikian, aku tidak lupa lupa memberi nasihat pada tiga anakku. Supaya mereka bisa menjaga sikap di rumah omah dan opahnya nanti. Terutama Farah yang sudah besar. Keluarga Mas

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    38. Pulang

    Seminggu kemudian, anak-anak sudah selesai ulangan. Aku pun sudah menemui kepala sekolah mereka untuk meminta izin dan mengurus surat-surat pindah. Tentu saja beliau tidak mengizinkan dengan alasan tunggu sampai kenaikan kelas. Tetapi, kalau mau izin pergi ke Jakarta diperbolehkan. Akan tetapi, surat pindah baru bisa dikeluarkan setelah anak-anak naik kelas nanti. Aku pun setuju, yang penting kami bisa berangkat ke Jakarta untuk menemui orang tuanya Mas Akbar. Mertuaku, sekaligus kakek dan neneknya anak-anakku. Sore nanti rencananya, Pak Amir akan datang menjemput kami. Tadi pagi aku sempat berpamitan pada Bapak dan Ibu, mengabarkan bahwa kami akan tinggal bersama Mas Akbar. Meskipun belum selesai mengurus surat di kantor kelurahan. Bapak sangat sedih ketika aku mengatakan akan tinggal di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak mau meninggalkan Bapak dalam keadaan sakit-sakitan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai seorang istri aku harus manut pada suamiku. "Sebenarnya Bapak

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    37. Identitas Palsu

    Selesai menemani Bapak ke dokter, aku langsung berpamitan. Selain karena sudah tidak begitu khawatir, aku juga penasaran pada Bi Ica. Dari nada bicaranya aku tahu kalau wanita itu serius. Rasa ingin tahuku cukup besar, apalagi yang dilakukan oleh Siska lantaran Bi Ica terdengar sangat emosi. Tiba di kampungku, di warung Ceu Entin terlihat banyak orang. Awalnya kukira karena banyak yang belanja. Aka tetapi, ketika aku melintas, Bi Ica memanggilku. Otomatis aku pun mengerem mendadak. "Sini Teh Tami, mampir dulu!" "Ada apa, sih, Bi?" Aku memperhatikan beberapa orang yang tengah asik mengobrol di emper warung. "Eh, kan saya mau curhat." "Di sini? Kan banyak orang. Di rumah say aja, yuk!" Jujur saja aku risih kalau harus ngobrol di emper warung. "Di sini aja. Mereka sudah pada tahu, kok." Bi Ica melirik beberapa tetangga yang masih asyik dengan gosip mereka. Aku menggeleng perlahan. Selain karena tidak pernah bergosip di emper warung Ceu Entin, aku juga risih karena banyak orang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status