Terkuaknya Rahasia Suamiku

Terkuaknya Rahasia Suamiku

last updateDernière mise à jour : 2025-01-08
Par:  TetiimulyatiComplété
Langue: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
2 Notes. 2 commentaires
42Chapitres
4.3KVues
Lire
Ajouter dans ma bibliothèque

Share:  

Report
Overview
Catalog
Scanner le code pour lire sur l'application

Lantaran hidup sederhana dan sering kekurangan. Utami dan Akbar kerap dibandingkan dengan rumah tangga adiknya yang sudah mapan oleh ibunya. Mariah pun memperlakukan kedua anaknya itu dengan cara yang berbeda. Selain itu, prinsip Utami dan suaminya yang tidak mau membeli barang secara kredit menjadi cemoohan dan buah bibir para tetangganya. Diledek karena di rumahnya minim barang-barang karena tidak mau berutang. Satu hal yang belum diketahui Utami selama sepuluh tahun pernikahannya dengan Akbar adalah asal usul suaminya itu. Bagaimana juga sikap Ibu mertuanya setelah tahu siapa sebenarnya menantu yang dianggapnya miskin itu.

Voir plus

Chapitre 1

1. Dihina Karena Miskin

"Sok atuh, Teh Tami tolongin kita. Ini kurang satu orang lagi supaya pinjamannya cepat cair," ucap Siska sambil menggeser duduknya. Sejak dua hari yang lalu, entah untuk yang  ke berapa kalinya Siska kembali mendatangi rumahku. Maksudnya adalah mengajakku bergabung dalam kelompok mereka untuk mengajukan pinjaman bank emok.

"Aduh maaf, Neng Siska. Saya tetap tidak bisa, soalnya takut tidak kebayar setorannya. Apalagi sekarang suami saya sedang libur dagang." Jawaban seperti itu pun sudah berkali-kali aku ucapkan.

"Please atuh, Teh, tolongin. Pasti Teteh mah setorannya lancar. Nanti kalau cair, uangnya bisa Teteh belikan mesin cuci. Di lingkungan ini, 'kan cuma Teteh yang belum punya mesin cuci." Siska kembali merajuk, tapi aku tetap menggelengkan kepala. Ucapan siska ada benarnya juga, lantaran di lingkungan itu hanya aku sendiri yang belum memiliki mesin cuci. Tapi aku tidak ambil pusing, yang penting baju kami tetap bersih meski mencuci menggunakan tangan.

"Maaf ya, Neng Siska. Teteh nggak bisa."

"Jadi Teteh tetap tidak mau? Ya sudah kalau begitu, padahal saya juga mau nolongin Teteh. Jadi kerja sama ini juga bisa dikatakan simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. Selain Teteh nolongin saya dan teman-teman, Teteh juga dapat uang buat beli mesin cuci. Jadi Teh Tami nggak bakalan ketinggalan-ketinggalan amat dari para tetangga."

"Sekali lagi maaf ya, Neng Siska. Tapi Teteh bener-bener tidak pengen punya utang."

"Bilang aja kalau Teh Tami nggak mau nolongin kita. Zaman sekarang ini, kalau nggak berhutang itu kita nggak bakalan punya apa-apa. Jadi jangan sok-sokan mau beli segalanya secara kontan, padahal nggak ada duit. Hidup susah aja, sombongnya minta ampun."

Setelah itu Siska bangkit, wanita itu pergi tanpa permisi. Padahal pas datang tadi, sikapnya sangat manis. Orang macam Siska memang hanya baik saat ada maunya. Semoga saja dia tidak kembali lagi.

Aku hanya menggeleng kecil menatap kepergian Siska sambil terus mengomel. Aku dan Mas Akbar punya prinsip, kalau kami tidak mau berhutang atau menyicil barang apapun. Tak peduli orang-orang sekitar memandang kami tidak mampu. Salah satunya Siska, yang gaya hidupnya wah tapi utangnya di mana-mana. Perabotan rumah lengkap dari hasil kredit semua. Mending kalau setorannya lancar. Tak jarang ia harus main kucing-kucingan dengan para tukang kredit.

"Mau apa Si Siska?"

Aku menoleh seketika ke arah sumber suara, sebab tahu persis siapa pemilik suara itu. Itu suara Ibu, wanita yang telah melahirkan aku tapi tidak pernah kurasakan kasih sayangnya.

"Eum ... itu ... anu, tidak apa-apa, cuma berkunjung saja," jawabku gugup. Aku tidak mau berterus terang tentang kedatangan Siska barusan. Bisa ribet urusannya kalau Ibu tahu.

"Nggak usah bohong, Ibu juga mendengar apa yang dikatakan Siska padamu. Ibu sudah dari tadi ada di depan cuma karena lagi ada tamu, jadi Ibu tidak langsung masuk." Tanpa diminta, ibu duduk di kursi yang tak jauh dariku.

Aku menghela panjang, berarti ibu dari tadi menguping pembicaraan kami.

"Kenapa tidak terima saja tawaran Siska? Benar yang dikatakan olehnya, uang itu bisa kamu gunakan untuk membeli mesin cuci. Ibu juga malu, anak Ibu menjadi satu-satunya orang yang tidak punya mesin cuci di lingkungan ini." Benar dugaanku, Ibu yang selalu menuntut kami untuk punya ini dan itu malah satu pemikiran dengan Siska.

"Kami juga bukannya tidak mau membeli mesin cuci, Bu. Ini juga lagi nabung."

"Nabung, nabung terus. Kalau nabung dulu, kapan belinya. Makin ketinggalan lah kalian. Ambil kredit aja!"

"Sudah Tami bilang, Mas Akbar itu nggak mau ambil kredit. Katanya lebih baik nabung, jadi kita nggak punya utang."

"Halah. Orang miskin aja sok-sokan nggak mau punya utang, sok nabung juga. Seharusnya kamu itu pilih suami yang kaya, yang bertanggung jawab. Si Akbar itu sudah miskin, tidak mau kredit. Bikin malu saja!"

Ucapan Ibu yang mengatakan Mas Akbar miskin itu bukan sekali dua kali kudengar. Dari awal kami menikah hingga sekarang sudah memiliki tiga anak, Ibu tidak pernah menghargai pilihanku. Bukannya membantu memberikan modal, Ibu juga kerap menghina dan meremehkan menantunya.

"Ibu mau minum apa? Biar Tami buatkan." Untuk mengalihkan pembicaraan, aku menawarkan minum pada Ibu.

"Nggak usah, paling juga adanya air putih," jawab Ibu ketus.

"Ada yang lain, kok. Ibu mau kopi atau teh manis?"

"Nggak usah, Ibu nggak lama di sini. Cuma mau ngasih tahu aja, dua hari lagi di rumah Ibu ada syukuran. Kamu datang ya, bantuin si Bibi masak dan beres-beres."

"Syukuran apa, Bu?"

"Minggu depan Bapak dan Ibu mau pergi umroh. Jadi besok syukurannya. Kalau tidak mengadakan acara syukuran di rumah, Ibu takut ada warga yang tidak tahu kalau kami berangkat umroh."

Astaga. Ibu masih saja melakukan sesuatu demi terlihat oleh orang lain.

"Oh, Bapak dan Ibu jadi berangkat umroh." Aku bertanya seperti itu karena beberapa bulan yang lalu sempat mendengar kalau niat Ibu pergi umroh tertahan lantaran uangnya masih di luar. Lagi -lagi aku tidak diberi kabar sejak awal tentang keberangkatan mereka. Aku memang kerap tidak dilibatkan dalam musyawarah keluarga. Biasanya Bapak dan Ibu hanya bertukar pikiran dengan Tari, adik kandungku yang sudah lebih sukses dariku.

"Iya jadi, pinjaman Bapak cair di bank. Jadi uangnya kami pakai untuk umroh saja. Di daerah sini 'kan baru Pak Dulah dan Pak Jasiman yang pergi umroh. Ibu dan Bapak tidak boleh keduluan yang lain lagi. Kamu juga pasti akan bangga karena orang tuamu jadi orang nomor tiga yang pergi umroh tahun ini."

Ya ampun, bangga dari mananya, Bu. Pergi umroh hasil pinjam bank saja, Ibu begitu percaya diri. Buatku pribadi, hal ini justru memalukan.

"Oh, insha Allah nanti aku sempetin datang."

"Jangan disempetin, pokoknya kamu harus datang!"

Aku mengangguk, sudah menjadi kebiasaan jika ada pesta atau acara apapun di rumah Ibu, aku yang paling capek di dapur. Sementara Lestari, adikku, hanya ongkang-ongkang kaki sambil banyak permintaan.

"Jangan lupa, Si Akbar juga suruh libur jualan supaya bisa hadir. Anak-anakmu juga ajak semuanya supaya bisa makan enak. Kasihan mereka makan lalap terus kayak kelinci."

Aku mengalihkan pandangan. Ingin menjawab meskipun kami hidup pas-pasan tapi untuk makan anak-anak, aku dan Mas Akbar selalu memperhatikan. Sekali-kali mereka juga makan ikan dan ayam. Dan satu lagi, kamu tidak dipusingkan dengan cicilan apa pun.

"Ibu pulang dulu, jangan lupa yang dikatakan Ibu tadi." Ibu bangkit dan segera pergi. Beliau tidak pernah lebih dari dua jam tinggal di sini, alasannya karena rumah kami kecil jadi Ibu tidak betah.

Aku pun mengikuti langkahnya, bermaksud mengantar ibu sampai ke luar.

"Loh, Akbar tidak jualan? Ini, kenapa gerobaknya rusak?" tanyanya ketika melihat gerobak Mas Akbar di samping rumah yang memang rusak.

"I-iya, Bu. Mas Akbar sedang libur jualan. Beberapa hari yang lalu dia mendapat musibah."

"Lalu kalian makan apa kalau libur terus?" tanya Ibu sinis ketika tahu Mas Akbar tidak jualan. Bahkan ia tidak ingin bertanya lebih lanjut perihal musibah yang kukatakan barusan.

Aku hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaannya, sambil memikirkan jawaban untuknya. Tempo hari Mas Akbar berpesan, untuk sementara aku harus merahasiakan dulu pekerjaan barunya.

Bersambung

Déplier
Chapitre suivant
Télécharger

Latest chapter

Plus de chapitres

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Commentaires

user avatar
H n H
mulai ikutin ah.. start baca.. 4/12/24
2024-12-06 09:51:22
0
user avatar
Tetiimulyati
assalamualaikum. bertemu lagi dengan cerita baru saya. yang baca tolong tinggalkan jejak ya. makasih semoga terhibur ......
2024-11-21 14:20:40
0
42
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status