Halo! Terima kasih pada kk sekalian karena sudah mendukung karya author! ^^ Dukung terus kisah Lisa dan Revin dengan memberi Vote, komentar dan ulasan bintang Lima. ^^ Happy Reading! ^^ ❤️
Lisa bangun dan mendapati Revin bertelanjang dada tanpa memakai selimut. "Pasti Kak Revin kepanasan tadi malam," ucap Lisa dengan rasa bersalah. Dia memakaikan selimut yang saat ini ia pakai ke tubuh Revin, lalu beranjak ke toilet.Saat menyikat gigi, perhatian Lisa teralihkan pada bekas cupang di lehernya. "Apa ini? Seperti bekas....dicium?" ucapnya dalam hati. Lisa menggelengkan kepala atas pikirannya yang ngawur.Setelah menyelesaikan sikat giginya, dia kembali memeriksa lehernya. Ternyata bukan hanya satu, tapi ada beberapa. Semakin diperiksa ke bawah semakin banyak. Di dada lebih banyak! "Apa ini?" Wajah Lisa memerah. "Mana mungkin ini ulah Kak Revin?" gumamnya dalam hati."Ini bekas apa sebenarnya? Tidak ada rasa gatal." Lisa menyentuh bekas-bekas itu. Malah ada bekas yang terasa sedikit perih. Kening Lisa mengerut bingung."Apa ini efek samping obat?" Lisa menggeleng. "Tidak, kenapa cuma di sebelah sini saja ruamnya?"Setelahnya Lisa memakai baju yang lumayan menutupi tubuhnya y
"Kau bertanya seolah kau tidak tahu!" Revin tampak kesal."Sudah kuduga dia mencoba untuk mengejekku," ucap Revin dalam hati."Aku sungguh tidak tahu. Aku takut ini efek samping dari obat yang diberikan dokter padaku, tetapi ternyata tidak. Aku merasa lega," ucap Lisa dengan wajah polos. Dia benar-benar merasa lega. Tadi dia sempat sangat khawatir, dan berencana akan berkonsultasi pada Dokter Sinta dan Dokter Inggrid. Tetapi sekarang itu tidak perlu lagi."Berhentilah berbicara omong kosong. Tadi malam jelas-jelas kau yang merayuku. Sekarang tidak ada yang perlu dibahas lagi." Revin langsung masuk ke ruang pakaian meninggalkan Lisa.Lisa mematung dengan kening mengerut, penuh tanda tanya. "Merayunya? Mana mungkin aku berani melakukan itu? Kenapa aku sama sekali tidak ingat apa-apa?""Waktu itu juga, saat Kak Revin menuduhku bertelepon diam-diam karena cekikikan tengah malam. Aku juga tidak bisa mengingat soal cekikikan itu." Lisa memegang pelipisnya yang berdenyut. "Kenapa aku tambah a
Ben terkekeh pelan. Dia merasa lucu melihat ekspresi Alex dan Revin saat menatapnya dengan kejelian tingkat tinggi."Benar, kau benar-benar Ben!" seru Alex saat dia mulai yakin bahwa yang berdiri di hadapannya saat ini memang benar Ben. "Bagaimana bisa kau berubah sedrastis ini?" ucapnya kemudian sambil mendekat ke arah Ben dan menggenggam dua sisi bahunya."Tidak drastis, Kak. Butuh waktu tiga tahun lho," jawab Ben dengan senyuman lebar.Alex menatap wajahnya lekat-lekat. "Kau terlihat sangat tampan, Ben." Alex terpukau. Ben tertawa kecil"Benarkah kau om-ku?" tanya Revin masih meragu. Dia ikut maju selangkah mendekati Ben.Ben menoleh. "Tentu saja aku om-mu!" ucapnya sambil mengacak rambut Revin.Revin menepis tangan Ben. "Berikan kartu identitasmu biar aku percaya!"Alex menggeleng mendengar ucapan Revin. "Masa kau tidak bisa mengenali om-mu sendiri, Revin?""Beda, Pa! Dia sama sekali tidak mirip dengan Om Ben Gendut!" tegas Revin."Apanya yang tidak mirip? Hanya lemaknya sekarang s
Ben menatap lekat-lekat perempuan muda yang meletakkan cangkir teh dengan hati-hati di hadapan mereka masing-masing.'Perempuan ini, bagaimana bisa dia ada di sini? Apa dia mengenaliku?' Ben bertanya-tanya dalam hati."Tentu saja kan, Ben!" ucap Alex sambil menepuk pundak Ben, membuat Ben terkesiap."Apa?" sahut Ben dengan wajah agak terperangah."Kau melamun?" tebak Alex. "Belum ada sepuluh menit di rumah, kau sudah melamun. Ck, ck, ck!" Alex menggeleng."Tidak, tadi apa yang barusan Kakak katakan?" tanya Ben."Tadi kita membahas soal kue. Bukankah kau menjaga pola makan?""Iya, tapi tidak masalah jika memakannya dengan ukuran segini." Ben menatap cake di hadapannya."Baguslah kalau begitu," sahut Renata lega."Silakan diminum, Om," ucap Lisa tiba-tiba saat ia meletakkan satu cangkir berisi teh di hadapan Ben. Lisa tersenyum lembut pada Ben membuat bulu kuduk Ben meremang. Ben diam tidak menyahuti Lisa, tapi matanya menatap lekat pada perempuan itu, membuat Revin yang sedari tadi memp
Lisa menatap punggung pria itu bersama Revin yang berjalan meninggalkan ruang depan."Pria bernama Ben itu kenapa rasanya familiar?" Lisa bertanya-tanya dalam hati."Lisa," panggil Alex."Iya, Pa?" sahut Lisa."Saya setuju dengan permintaan yang kau ajukan pada Renata. Saya dan Renata tidak akan merestui hubungan Revin dengan Cherrine."Lisa menyunggingkan senyum. "Terima kasih, Pa," ucapnya tulus."Iya, sama-sama. Saya harap hubungan kalian tetap baik walaupun nanti sudah bercerai dan menemukan pasangan masing-masing.""Baik, Pa," jawab Lisa tersenyum hampa.Setelah tidak ada yang ingin dibicarakan, Lisa pamit hendak beristirahat sebentar di kamar."Erwin," gumam Lisa saat dia menaiki tangga."Erwin adalah nama yang cukup akrab di telingaku. Dulu sewaktu masih kecil, aku sempat memiliki sahabat bernama Erwin di sekolah dasar, di kampung. Iya, aku sempat sekolah di kampung lantaran memenuhi permintaan Nenek Salwa. Tetapi baru beberapa bulan, aku langsung jatuh sakit karena merindukan P
"Itu...perceraian kita saja bahkan sudah diketahui kedua orang tua Kakak. Jadi sebenarnya bagi keluarga Abimana, aku hanya keluarga di atas kertas. Ikut dalam perkumpulan keluarga, hanya membuatku menjadi pengganggu saja, kan?" Lisa menunduk tidak tahan menatap mata Revin yang menelisik tajam."Memang! Hadirmu di rumah ini memang cukup mengganggu di keluarga kami. Tapi aku tidak mengizinkanmu pulang karena aku tahu, kau akan bertingkah bebas selama aku tak ada di sana."Kening Lisa mengerut, lagi-lagi tuduhan semacam itu. "Bertingkah bebas bagaimana maksud Kakak? Kalau Kakak curiga, Kakak bisa bertanya pada Bibi Ema tentang keseharianku.""Kau bisa menyuapnya, lalu membawa Nick Angkasa Raya itu ke rumah," jawab Revin ringan."Apa?" Lisa terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Ingin rasanya Lisa berteriak bahwa yang dicintainya hanyalah Revin. Mana mungkin dia sanggup berselingkuh? Tapi Revin pasti tidak akan pernah percaya sedikitpun. Justru hanya akan memperparah keadaan."Kenapa diam?
"Apa yang kau katakan?" Revin merundukkan tubuhnya menatap mata Lisa yang kosong. "Lisa?" panggilnya lagi mulai cemas."Aku capek...," raung Lisa dengan suara parau dan air mata mengalir."Apa kau sedang berpura-pura?" tanya Revin dengan nada curiga. Dia mendudukkan Lisa yang semula berbaring. "Lihat aku," titahnya sambil menggenggam kedua bahu Lisa. "Jangan sengaja bersikap aneh-aneh! Kau pikir aku akan terpengaruh?" ucap Revin sedikit meninggikan suaranya. Lisa yang semula menatap kosong menjadi tersadar. Dia menatap Revin dengan wajah sendu bercampur bingung.Revin mengatupkan mulutnya melihat wajah Lisa yang sembab. "Apa dia menjadi lebih cengeng karena bawaan bayi? Atau...dia sengaja bersikap seperti ini untuk membuatku lemah?" tanyanya dalam hati. Tetapi walaupun begitu, Revin menghapus air mata Lisa dengan kedua jempolnya. Dia kemudian mendesah pelan. Di luar apakah ini hanya akal-akalan Lisa, Revin memutuskan untuk mengalah karena Lisa terlihat sangat lemah."Walaupun aku tidak
Lisa adalah perawan pertama dan terakhir yang Ben pernah beli. Sebelumnya dia hanya menyewa wanita panggilan dengan syarat wanita itu harus sehat. Dan setelahnya Ben tidak pernah lagi menyewa wanita panggilan ataupun membeli gadis karena Ben semakin tenggelam akan kesibukan pekerjaannya. Lagi pula ia juga berada dalam keadaan tertekan karena mendengar kabar bahwa mantan istrinya sedang hamil anak yang kedua, sementara dirinya masih saja menduda, kesepian dalam kesendirian. Inilah yang membuatnya semakin tidak tertarik bahkan untuk sekedar bersenang-senang.Ben mengetuk kamar Revin pelan.Tok tok tok... Suara ketukan terdengar samar pada pendengaran Lisa. Sekali lagi Ben mengetuk pelan, Lisa pun tersadar dan membuka matanya."Siapa yang mengetuk? Jika Kak Revin, pasti langsung masuk," ucap Lisa dalam hati."Tunggu sebentar," sahut Lisa turun dari ranjang dan membuka pintu. Lisa cukup terkejut karena Ben-lah yang ternyata mengetuk pintu kamar. Lisa mendadak merasa tegang saat mendapati B