"Revin, tapi ini sudah jam makan siang. Sudah waktunya kau makan biar cepat sembuh," ucap Renata. Makan siang dari rumah sakit sudah diantar ke ruangannya tapi Revin belum menyentuhnya sedikitpun walaupun Renata sudah beberapa kali membujuknya untuk makan.Mendengar kalimat itu, Liliana berinisiatif membuka makanan yang dia bawa."Mungkin makanan rumah sakit kurang enak ya, Mas? Coba lihat dulu masakanku. Kalau tetap tidak suka ya tidak apa-apa."Revin menatap masakan Liliana. Dulu Lisa suka membuatkannya makanan, dan ia selalu lahap memakan masakannya. Sekarang sudah tidak ada kesempatan lagi baginya untuk memakan masakan Lisa. Bola mata Revin meredup. 'Lisa, apa jangan-jangan kau pergi meninggalkanku karena marah melihatku memakan masakan Liliana?' Revin memejamkan matanya saat ia berpikir seperti itu. Sebenarnya ia menyadari betul bahwa pikirannya benar-benar kacau saat ini. Tapi dia lebih suka mengikuti apa yang dia pikirkan walaupun itu mungkin tidak masuk akal. Dia pun kembali me
Revin mengusap batu nisan itu perlahan. "Sayang...," ucapnya dengan tenggorokan tercekat karena begitu kata itu keluar dari bibirnya, dia langsung tersadar bahwa itulah pertama kalinya ia memanggil Lisa dengan sebutan sayang. Revin mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat mungkin saja dia pernah memakai kata itu pada Lisa, tapi kenyataannya ia tidak pernah menggunakannya bahkan pada saat hubungan mereka masih sangat baik sebagai partner ranjang. Pada masa-masa itu, Lisa cukup sering memanggilnya sayang. Dia begitu ceria, sehat dan cantik.Mengingat itu, Revin hanya bisa menghela napas berat dengan wajah nanar. 'Aku sungguh ingin memperbaiki semuanya, Lisa. Aku sungguh ingin menebus semua kesalahanku dan membahagiakanmu. Aku selalu membisikkannya di telingamu terus menerus, berulangkali selama hampir tiga bulan, tapi kenyataannya kau lebih memilih pergi!"Revin kembali teringat isi buku harian Lisa di mana Lisa mengatakan bahwa ia membencinya. 'Apa karena kau membenciku? Tapi terakh
"Sudahlah, Pa. Penuhi saja keinginan Nenek Renata. Tante Liliana itu baik, cantik, masakannya juga enak. Aku yakin dia bisa jadi mama yang baik buatku," celoteh Lalisa di ruang makan. Dia memiliki rambut hitam lurus sebahu dengan poni rata yang menghiasi wajahnya yang seperti boneka. Dia cantik sekali seperti ibunya saat masih kecil. Saat ini gadis kecil itu sedang menunggui Revin membuatkan sarapan untuknya. Ini adalah hari Minggu. Jadi Revin memiliki waktu santai untuk membuatkannya makanan.Mendengar ucapan putri kecilnya, Revin hanya bisa menghela napas. Dia tahu betul pasti ini ulah Renata dan Alex yang mencoba memanfaatkan Lalisa untuk membujuknya menikah. Dia membuka apron yang ia pakai dan menyajikan makanan di hadapan Lalisa. "Lebih baik kau makan makananmu."Melihat makanan kesukaannya, Lalisa tersenyum. "Papa yang terbaik!" pujinya cepat lalu mulai makan dengan wajah ceria. Revin bukanlah pria yang hobi memasak, tetapi untuk Lalisa dia mau belajar memasak. Ya walaupun masaka
Hendra menghela napas saat matanya menerawang menatap ke arah jendela kaca. Sudah lima tahun berlalu sejak kepergian Lisa, dan selama lima tahun pula rasa kecewa pada diri sendiri tidak pernah luntur dalam benaknya. Menyesal dan sakit, dua perasaan itu yang selalu menemani Hendra melewati waktu. Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Syukurnya ada Lalisa yang membuatnya menjadi tidak putus asa, sehingga pada akhirnya ia bisa sembuh dari penyakit stroke yang sempat ia derita."Apa yang sedang kau pikirkan, Hendra?" Suara Nenek Salwa membuyarkan lamunan Hendra. Tampak Nenek Salwa memilih duduk di sofa daripada menghampiri putranya yang sedang berdiri di dekat jendela."Aku merindukan Lalisa," ucap Hendra tersenyum sambil menghampiri Salwa dan duduk di sampingnya. "Aku tidak sabar menunggu kedatangannya. Dia pasti gembira melihat hadiah yang sudah kusiapkan untuknya."Salwa memasang wajah sendu. "Bibirmu tersenyum tapi matamu terlihat sekali sedang bersedih. Kau pasti me
Sesampainya di sana, ia mendapati apartemen dalam keadaan bersih. Tentu saja karena Revin menyuruh orang untuk senantiasa membersihkannya. Di kamar Lisa, ia membuka laci meja rias Lisa. Di sana ia mengambil sebuah kotak berisi gelang. Gelang yang pernah ia hadiahkan pada Lisa saat hubungan mereka masih sangat baik. Ia sendirilah yang memasang gelang itu di tangan Lisa. Itu adalah hadiah satu-satunya yang pernah ia berikan pada Lisa.Saat pertama kali melihat gelang cantik itu di internet, yang ada dalam pikiran Revin adalah Lisa. Itu sebabnya ia membelinya."Mungkin saat itu sebenarnya perasaanku sudah tumbuh untukmu, hanya saja aku tidak menyadarinya," gumam Revin dengan rasa penyesalan.Revin lupa bagaimana ekspresi Lisa saat menerima gelang itu. Tapi mendapati Lisa hanya menyimpan gelang ini di dalam kotak dan tidak pernah memakainya setelah hari itu, sepertinya Lisa memang tidak menyukai gelang ini.Sebenarnya apa yang disukai Lisa? Memikirkan pertanyaan itu kembali hanya membuat R
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.