Lisa menelan ludah. "Apa...kakak keberatan kalau kita pakai jasa asisten rumah tangga?" tanyanya ragu-ragu. Lisa berpikir bahwa Revin marah karena tidak suka jika mereka punya ART.
"Ini bukan soal keberatan atau tidak. Masalahnya kau tidak meminta izin sebelumnya padaku. Kau sudah melangkahiku sebagai suami!" tegas Revin.
Sudah melangkahi suami?
Lisa pun tersadar akan kesalahannya. Sewaktu kemarin ia memutuskan untuk memakai jasa ART, Lisa hanya berfokus memikirkan penilaian Revin terhadapnya, apakah nanti suaminya itu mengatainya pemalas atau bagaimana, sama sekali dia tak terpikirkan untuk meminta izin terlebih dahulu. Ia menunduk.
"Maafkan aku, Kak. Harusnya aku meminta izin terlebih dahulu. Aku salah," lirih Lisa.
Lisa sudah terbiasa hidup mandiri sehingga segala sesuatunya selalu dia putuskan sendiri. Setelah berumah tangga, Lisa jadi butuh waktu untuk beradaptasi
Hi Readers! ^^ Untuk sementara bab-nya belum bisa diperbanyak. Soalnya masih fokus nulis novel author yang lain, 'Suami Tak Sempurna'. Tapi nanti setelah novel itu tamat, saya bisa upayakan sesekali memperbanyak bab. Terima kasih atas dukungan kk sekalian pad novel ini. ^^ ❤️(◠‿◕)
"Dasar istri tidak punya otak."Di kantor, tepatnya di ruang kerjanya, Revin masih tampak kesal. Tentu saja dia masih emosi. Sedangkan hal-hal baik saja yang dilakukan Lisa padanya seperti menyajikan makanan atau tersenyum menyapanya, bisa membuat Revin kesal, apalagi jika Lisa membuat kesalahan, jelaslah Revin lebih emosi lagi. Itu semua karena rasa benci yang masih menguasai hati dan pikiran Revin.Revin berupaya menenangkan dirinya. "Tenang saja, ini tidak akan berlangsung lama. Aku harus bersabar. Papaku sudah pasti akan membantuku untuk bercerai dari Lisa tidak soal janin yang dikandung Lisa adalah anakku atau bukan. Setelah bercerai, aku bisa memulai hidup yang baru!"Revin menghela napas. Tadinya ia memiliki prinsip hidup yaitu ingin menikah sekali seumur hidupnya. Hidup bahagia dan setia bersama istri pilihannya sampai maut memisahkan. Tetapi semua itu menjadi berantakan."Ini semua gara-gara
Sesampainya di lokasi, Lisa duduk mengantri beberapa saat. Pikirannya kembali teringat kejadian pagi tadi. Revin sangat marah karena masalah ART. "Apa lebih baik aku berhentikan saja ART-nya?" Lisa mendesah. "Baiklah, lebih baik aku berhentikan saja. Mudah-mudahan Kak Revin tidak marah lagi." Lisa menelepon yayasan dan memutuskan untuk memberhentikan ART, tentunya dengan alasan murni karena dia sendiri yang berubah pikiran, bukan karena kekurangan Bi Ema. Lisa meminta maaf pada pihak yayasan dan Bi Ema juga tetap mendapatkan gaji. Pemberhentian pun berjalan dengan baik tanpa kesalahpahaman. "Masalah ART sudah beres," gumam Lisa setelah menutup teleponnya. "Ibu Lisa?" panggil seorang suster. Lisa pun beranjak dan berjalan memasuki ruang praktik dokter. "Sore, Dokter," sapa Lisa. "Sore juga, Bu Lisa." Dokter wanita setengah baya itu membalas sapaan
"Kak, sebenarnya tadi aku menunggu kakak, hanya saja aku tidak boleh sampai lewat jam makan karena aku sedang hamil. Aku baru saja mulai makan," jelas Lisa dengan wajah sendu.Revin mendengkus. "Cara bicaramu seolah kau sungguh-sungguh peduli sama kandunganmu."Kening Lisa mengerut. "Aku memang peduli sama kandunganku, Kak.""Oh ya? Hmm bisa jadi," ucap Revin dengan nada mengejek. "Karena berkat janin itu kau bisa menjeratku. Seandainya janin itu tidak berguna, kau pasti akan menggugurkannya juga, kan?"Menggugurkannya juga?Lisa seketika berdiri, jantungnya berdebar. Apa Revin sudah tahu tentang kehamilannya di masa lalu? Tapi bagaimana bisa? Bukankah dulu papanya sudah menutup mulut orang-orang agar tidak menyebarkan berita itu? Jadi, mana mungkin suaminya tahu! Kalau pun tahu, tidak mungkin secepat ini, kan? Apa keluarga Abimana sehebat itu dalam mencari informasi?&nbs
Di kamar, Lisa berbaring sedikit meringkuk di ranjang kecilnya. Beberapa saat kemudian, Lisa merasa kedinginan. Mungkin karena anemia dia jadi gampang kedinginan. Lisa beranjak dan mengenakan baju hangat, juga memakai selimut hingga menutupi lehernya. Beberapa menit kemudian, Lisa pun tertidur dengan nyaman. Sementara itu, Revin menuruni tangga menuju meja makan. Dia hendak makan malam. Tetapi terlebih dahulu dia mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Dia pun menenggaknya karena merasa haus. Setelah itu, Revin membuka tudung saji. Disentuhnya makanan itu, sudah mulai dingin. Sebenarnya tidak masalah jika dia memakannya, kan itu baru dimasak beberapa waktu yang lalu. Tetapi Revin memutuskan untuk memanggil Lisa. Dia ingin Lisa meladeninya makan. Apa gunanya seorang istri seperti Lisa kalau bukan untuk melayani? "Lisa!" teriaknya. Tidak ada jawaban. "Lisa!!" teriaknya lagi lebih keras. Tetap juga tidak ada
Setelah berucap mengejek seperti itu, Revin berbalik dan mulai membersihkan sendiri beling-beling yang berserakan di lantai, lalu langsung makan tanpa meminta Lisa meladeninya. Sementara Lisa, dia mengobati kakinya. Untung dia sudah membeli kotak P3K, dan syukurnya juga, luka di kakinya cukup ringan.Lisa melihat Revin mengantar piring dan mangkuk kotor bekas lauk ke dapur. Dia merasa tidak enak karena tadi tidak jadi meladeni suaminya makan. Lisa pun melangkah pelan menuju dapur. Dia melihat Revin berdiri di depan wastafel."K-kak, biar...aku saja yang mencucinya nanti," ucap Lisa kikuk. Revin menolehkan kepalanya menatap Lisa."Siapa bilang aku mau mencuci piring? Besok ada pembantu mengerjakannya." Revin meletakkan piring kotor di wastafel.Mulut Lisa terbuka. "Aku sudah memberhentikannya, kak."Kali ini Revin berbalik badan dan bersedekap. "Kau pakai pembantu, tidak minta izi
Di rumah, Lisa menyalakan musik lalu melakukan pembersihan. Semua pakaian kotor dia masukkan ke mesin cuci. Dia melakukan pekerjaan rumah secara perlahan. Sebelum merasa capek, dia langsung duduk dulu sebentar. Bahkan di sela-sela pekerjaan, Lisa kadang berbaring di sofa. Lisa lalu melihat halaman kecil rumahnya, ada sampah daun, dia pun menyapu halaman dalam beberapa menit. Semua pekerjaan rumah dilakukannya dengan telaten walaupun memakan waktu cukup lama. Setelah beristirahat kembali, dia mengambil beberapa buah mangga dari kulkas dan mengupasnya, dia potong-potong, lalu dilahapnya perlahan sambil menonton televisi. Lisa berupaya menikmati waktunya di rumah, walaupun rasa sedih selalu menggelayuti hatinya. Besok ia akan berencana ke kampus dan membuat permohonan cuti. Selesai makan siang, Lisa tidur sebentar di kamar. Sorenya dia membuat puding buah. Lalu kemudian mandi. Habis itu, dia bersantai menonton televisi. Lisa mencoba memakan
"Brengsek!" umpat Revin seraya menendang pintu kamar Lisa.Bruaghh!Bunyinya cukup kuat. Lisa seketika menjauhi pintu kamarnya. Dia benar-benar sangat takut apalagi tadi Revin menyinggung soal perkosaan. Masih segar di ingatan Lisa betapa brutalnya Revin di malam pengantin mereka. Revin memerkosanya waktu itu. Tubuhnya sampai mengalami memar dan sakit semua di malam itu. Bahkan dia mendapat tamparan. Saat ini kandungannya sangat lemah, Lisa jelas tidak mau melayani Revin. Apalagi dokter juga sudah melarangnya.Beberapa saat kemudian, Revin menjauhi kamar Lisa, dia naik tangga menuju ke lantai atas. Jalannya semakin sempoyongan. Lisa masih berdiam menunggu beberapa saat lagi. Setelah itu dia mengintip keluar."Di mana, Kak Revin?" gumamnya pelan.Tidak ada tanda-tanda kehadiran suaminya di sana. Lisa harus keluar untuk ke toilet sekalian mengambil air hangat untuk meminum obat dan
Revin perlahan menarik tengkuk Lisa dan mencium bibirnya dengan lembut. Lisa terdiam merasakan bibir Revin yang bergerak lembut mencicipi mulut manisnya. Begitu pula dengan tangan Revin yang mengusap pelan punggungnya. Karena terus-terusan menghadapi sikap kasar dan dingin dari Revin, rasanya sudah lama sekali Lisa tidak merasakan kelembutan dan kehangatan seperti ini dari Revin. Lisa lambat laun terhanyut dan membalas ciuman lembut dan pelukan hangat itu. Perlahan Revin membalikkan posisi tubuh mereka dan kembali mencium Lisa. Kening Lisa mengerut saat ciuman Revin turun ke lehernya. Ini tidak boleh! Lisa kembali tersadar. "Kak...jangan..." ucap Lisa ragu-ragu, dia takut kemarahan Revin kambuh. Tetapi ternyata suaminya itu sudah tidak bergerak. "Kak?" panggilnya. Tidak ada jawaban, sementara wajah Revin masih terbenam di ceruk leher istrinya itu. Lisa perlahan mendoron