Hari sudah sore, Lisa memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, dia langsung disambut Pelayan Ema.
"Nyonya pasti capek. Bibi buatin minum ya?"
Lisa mengangguk pelan. "Terima kasih, Bi," ucapnya, lalu duduk di sofa dan mulai membuka ponsel. Sedari tadi dia tidak melihat ponselnya.
Ada beberapa pesan obrolan yang masuk, dan salah satunya dari nomor yang tidak ia kenal. Dia pun membukanya dan mendapati foto Revin bersama Cherrine di sana. Revin tampak sedang sibuk makan, sementara Cherrine tersenyum menghadap kamera. Foto itu sepertinya di area kantor.
Melihat foto itu kepala Lisa mendadak pening. Dia memijit pelipisnya.
"Kak Revin menyangkal hubungannya dengan Cherrine tetapi mereka bertemu saat siang hari di kantor. Sudah jelas Cherrine benar-benar selingkuhan Kak Revin. Aku tidak mau Kak Revin dekat dengan perempuan jahat itu. Aku tidak mau bayiku memiliki ibu tiri
Revin memang memiliki rasa empati melihat keadaan Lisa yang cukup mengejutkannya, tetapi ia tetap dan akan selamanya membenci perbuatan Lisa yang sudah mengakalinya, entah itu Lisa sekarang menyesal atau tidak akan perbuatan liciknya itu. Itu sebabnya saat Lisa sepertinya ingin mencoba mengatur hidupnya, dia langsung merasa jengkel. Mereka bukanlah teman baik seperti dulu. Hubungan baik mereka telah rusak. Lisalah yang telah merusaknya! Dan kebersamaan mereka saat ini hanyalah keterpaksaan karena Lisa telah menjebaknya. Tetapi dengan tidak tahu malu Lisa malah mencoba ikut campur tentang siapa pasangan hidupnya. "Tidak tahu diri. Dibaiki sedikit saja langsung melunjak," gumam Revin saat dia melangkah menaiki tangga. Setelah Revin tak tampak, Lisa memutuskan untuk pergi beristirahat. Di tengah malam menjelang dini hari, mata Lisa menyalang. "Kalau kau mulai mencoba mengatur hidupku, aku tak ak
"Bu Lisa, saya khawatir apa yang saya duga terjadi. Tampaknya ada tumor yang tumbuh di area bekas infeksi di rahim Ibu Lisa. Kita harus melakukan pemeriksaan secara keseluruhan." Tubuh Lisa bergetar mendengarnya. Waktu itu di rumah sakit lain, dokternya juga mengatakan hal yang sama, hanya saja Lisa menolak melakukannya. • • • Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, Lisa kembali bertatap muka dengan Dokter Inggrid. "Apa benar ada tumor, Dokter?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca. Dokter Inggrid mendesah pelan. "Iya, Bu Lisa. Tumor itu jika membesar, nantinya akan menghambat pertumbuhan janin Ibu. Sangat sulit jika ibu masih mempertahankan janin itu, apalagi kandungan ibu sangat lemah. " "Saya mohon, Dokter. Tolong obati tumor saya supaya janin saya bisa bertahan." Air mata Lisa mengalir begitu saja. Rahimnya sudah lemah ditambah
"Damian, saranku kalaupun hasil tes DNA itu mengatakan bahwa kau bukanlah anak Tuan Wijaya, lebih baik kau diam saja. Nikmati saja hidupmu sebagai anaknya. Lalu minta uangnya lebih banyak. Kan lumayan buat nambah bisnis bengkel motor kita ini, iya nggak?" ucap Rio. "Iya, bener tuh!" sahut Andy. Damian mendengkus dalam hati. Bukan kata-kata itu yang diharapkannya dari kedua temannya ini. Dua temannya ini payah juga. Lumayan mementingkan diri. Kalau dipikir-pikir buat apa juga dia begitu polos menceritakan statusnya pada mereka? Ujung-ujungnya dia jadi bahan bullian jika mereka tidak cocok ke depannya. "Kalian serius banget. Aku bercanda. Itu fotoku sendiri." "Maksudmu edit?" "Hahahaha, iya." "Apa sih? Tadi kau bilang sudah tes DNA," ucap Andy bingung. "Aku lagi suntuk makanya ngomong asal. Aku kesal karena papaku nggak kasih
Lisa mengangkat wajahnya menatap Revin menanti apa yang akan dikatakan Revin."Sabtu ini kita akan berkunjung ke rumah orang tuaku. Kita akan menginap di sana karena om-ku akan kembali dari luar negeri.""Aku...ikut?" tanya Lisa heran. Bahkan ke acara wisuda Revin, dia tidak diikutsertakan. Kenapa sekarang Revin malah mengajak Lisa menginap ke rumah orang tuanya? Ini akan menjadi kali pertama bagi Lisa untuk menginjakkan kakinya di rumah mertuanya."Kenapa? Kau berharap aku meninggalkanmu di sini supaya kau bebas berselingkuh selama aku tidak ada?" tuduh Revin seenak jidat.Lisa menggeleng dengan bibir terkatup."Apa kau punya mulut?" ucap Revin geram. Sepertinya sedari tadi hanya dia yang banyak bicara, sementara Lisa hampir seperti orang bisu."Aku tidak pernah menyelingkuhi Kakak dan aku juga tidak berencana untuk melakukannya."Revin mendengkus. "Omong kosong," ucapnya. Lisa hanya bisa diam. Dia takut jika dia menegaskan kembali b
Revin tidak menyinggung apa pun tentang isi pesan obrolan mereka ketika ia sudah berada di rumah, dan itu membuat Lisa sedikit lega. Lisa tidak ingin menyambung pertengkaran dengan Revin.Saat ini mereka menikmati makan malam dalam hening."Kita akan berangkat Jumat sore ke rumah orang tuaku," ucap Revin setelah ia selesai menghabiskan makan malamnya. Lisa hanya mengangguk tanpa melihat Revin."Kemungkinan bisa lebih dari tiga hari karena Mama ingin rekreasi ke luar kota juga. Jadi siapkan pakaianmu."Lisa kembali mengangguk.Tidak ada lagi yang mau dikatakan Revin, Revin pun beranjak meninggalkan meja makan lalu duduk di sofa dan menyalakan televisi. Tetapi Revin tidak menonton televisi, sebaliknya dia mengawasi Lisa yang sedang makan seperti keong.Wajah Revin tampak serius saat menatap Lisa. Dia merasa Lisa seperti orang yang sedang sakit, tetapi dokter mengatakan itu hal biasa jika wanita hamil mengalami anemia. Asalkan segera ditangani tidak akan berbahaya. Lisa sendiri mengatakan
"Bi, ambilkan handuk kecil!" ucap Revin sambil bergegas ke lemari dan mengambil piyama Lisa.Dengan segera Ema mengantar handuk yang diminta. "Ini, Tuan. Nyonya kenapa?""Entahlah, dia berkeringat dingin."Revin membuka pakaian luar Lisa beserta pakaian dalamnya yang sudah basah, lalu mengusap tubuhnya yang berkeringat dengan handuk dan dengan cepat memakaikan piyama bersih ke tubuh Lisa karena Lisa tampak mengerut kedinginan. Pelayan Ema hanya berdiri mengamati.Revin merasakan kamar itu sumpek. Dia mendesah melihat Lisa yang kembali meringkuk menghadap tembok."Bi, bukakan pintu kamarku," ucap Revin lalu menggendong Lisa. Saat menggendongnya, Revin bisa merasakan sendiri bahwa berat tubuh Lisa memang jauh lebih ringan dari sebelumnya. Dalam gendongan Revin, Lisa tampak memeluk perutnya.Pelayan Ema segera mendahului Revin ke lantai atas dan membuka pintu kamar Revin. Revin pun masuk ke dalam kamar sambil membawa Lisa. Dia kemudian meletakkan Lisa di atas ranjang besarnya. Lisa langsu
Lisa beringsut dan menciut di sudut tembok. "Jangan tendang aku," gumamnya tak jelas."Apa yang kau katakan?" tanya Revin karena tak mendengar apa yang dia katakan. Lisa tak menjawab."Sekarang naik ke ranjang!" titah Revin dengan gigi merapat, tetapi Lisa semakin menyusut."Apa telingamu tuli?""Aku mau ke kamarku," lirih Lisa dengan suara serak.Revin bertolak pinggang melihat Lisa sudah berjongkok sekarang di sudut kamar itu. Dia merasa tingkah Lisa aneh."Kau kenapa tiba-tiba jongkok begitu?" tanyanya heran. Lisa kembali tidak menjawab. Bokongnya sudah menyentuh lantai, dan wajahnya menunduk, bertumpu pada lututnya yang ditekuk."Makin lama kau makin aneh," ucap Revin kembali saat dia terus mengamati Lisa yang masih terus bertengger di sudut."Hei!" hardiknya dengan suara tinggi karena Lisa tetap diam.Tak sabar, Revin melangkah menghampirinya, dan menggunakan sebelah kakinya untuk menyenggol tubuh Lisa. "Hei! Kau ngapain sebenarnya?" tanyanya jengkel sambil terus menyenggol Lisa d
Revin sudah rapi tetapi Lisa masih terus menatapnya."Kenapa?" tanya Revin dingin. "Masih belum puas?""Tidak," jawab Lisa cepat. "Um, aku ingin tahu...apa kakak yang mengganti pakaianku tadi malam?""Ya."Wajah Lisa merona. Dia merasa senang karena Revin masih memiliki kepedulian padanya. "Terima kasih, Kak," ucapnya dengan tulus. "Sepertinya gara-gara memakai baju kakak, aku menjadi tidak mual dan muntah pagi ini.""Memangnya ada yang seperti itu?" tanya Revin merasa konyol walaupun dia memang juga mendapati Lisa tidak mual muntah seperti biasanya."Tentu saja!" jawab Lisa. "Buktinya aku tidak pusing sekarang, apalagi mual muntah. Sepertinya bayi kita senang dengan aroma papanya!" ucap Lisa dengan tatapan takjub sambil memegang perutnya. Hawa ruangan seketika berubah menjadi dingin ketika Lisa melihat mimik wajah Revin tampak tidak suka. Lisa pun tersadar bahwa ia telah salah berbicara. Lisa tadi terbawa emosi bahagia. Dia juga beristirahat dengan cukup baik tadi malam. Hal ini membu