Bab 5
"Bertanyalah kepada istri pertamamu, Mas. Jangan bertanya padaku," sarkas Hanina seraya menepis tangan Akmal yang mencoba meraih bayinya. "Kamu nggak perlu peduli sama Aqila. Sana pergi. Kamu akan terlambat ke kantor jika harus menangani Aqila."
"Tapi dia tengah menangis." Akmal menggeletakkan tasnya begitu saja di lantai, lalu mencoba meraih dan menggendong putri kecilnya. Anehnya, bayi itu langsung tenang setelah pundaknya ditepuk-tepuk oleh Akmal.
Ini sungguh ajaib. Seketika Hanina menghela nafas dan dalam sekejap dadanya terasa kembali normal.
"Segeralah kamu ke kantor, Mas. Jangan sampai Papa marah karena kamu terlambat pagi ini. Hari ini bukannya jadwal pertemuan bulanan dengan dewan komisaris?" Hanina mengingatkan seraya mengambil kembali Aqila yang sudah tenang dari gendongan suaminya.
"Ya baiklah. Kalau begitu aku berangkat." Pria itu berbalik tanpa menoleh lagi.
Bersamaan dengan itu, asisten rumah tangganya yang bernama Wati itu datang. Perempuan berumur 45 tahun itu berjalan mendekat kepadanya.
"Selamat pagi, Bu," sapa perempuan itu.
"Selamat pagi, Bi Wati. Selamat bekerja ya," ujar Hanina ramah.
"Saya mau ke kamar dulu untuk menyusui Aqila. Kebetulan sarapan pagi saya masih tertinggal di ruang makan. Tolong nanti antar ke kamar saya ya," pesannya.
"Baik, Bu," angguk perempuan itu, lalu melangkah masuk ke dalam.
Sementara itu, Hanina langsung menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya.
Hanina merebahkan Aqila di sofa bayi. Bayi itu nampak anteng setelah digendong oleh papanya. Lagi-lagi perempuan itu menghela nafas teringat kejadian barusan.
"Harus bagaimana lagi Mama, Nak? Tetap saja Mama tidak mau berbagi suami." Hanina menggigit bibirnya.
Semuanya tergantung pada keputusan Akmal. Namun setidaknya saat ini Akmal sudah keluar dari kamar pribadinya. Akmal memilih tidur di kamar tamu, alih-alih tidur di kamar Risty. Tapi Hanina tidak peduli. Biarkan saja, yang penting Akmal tidak lagi tidur di kamarnya.
Dia sudah muak mendapati sosok pria itu terus berkeliaran di kamarnya. Andai saja menurunkan hati, ingin rasanya mengundang petugas keamanan untuk mengusir Risty dan Akmal.
"Aku harus segera bertindak. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama," gumam Hanina seraya meraih ponsel.
"Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Suara Rio dari bagian HRD membelai telinganya saat panggilan tersambung.
"Rio, tolong siapkan ruangan untuk saya, karena lusa saya akan kembali ke kantor," pinta perempuan itu to the point.
"Ibu akan bekerja?" Nada kaget terdengar dari suara Rio.
"Betul. Mulai lusa saya akan mengambil alih jabatan yang diemban oleh suami saya, karena suami saya akan fokus untuk merintis usahanya yang baru," jelas Hanina.
"Dan tolong siapkan berkas-berkas pengunduran diri suami saya ya."
"Wah, sebenarnya sayang sekali. Selama bekerja di sini, kerja Pak Akmal cukup bagus. Tapi baiklah, Bu. Saya akan siapkan bekas-bekas pengunduran diri beliau ya, Bu."
"Baiklah, Rio. Selamat bekerja." Hanina tersenyum tipis, lalu segera memutus panggilan. Dia meletakkan ponselnya di meja nakas, lalu beranjak menuju area penyimpanan pakaian. Dia membuka salah satu lemari dan menemukan setelan kerjanya masih berjejer rapi.
"Aku akan kembali ke kantor, dan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Mas," gumam Hanina. Pagi-pagi sekali, ia pun sudah menghubungi papanya untuk memberitahu jika Akmal memutuskan untuk mengundurkan diri dan dialah yang akan menjadi pimpinan perusahaan menggantikan Akmal. Alasannya tetap sama. Akmal akan fokus merintis usaha baru yang sampai sekarang pun Hanina belum bisa memikirkan usaha apa yang harus dijalani oleh Akmal demi meredam kecurigaan yang mungkin saja ada di hati papanya.
"Ah, itu kan cuma alasan." Hanina menyeringai, lalu menutup kembali lemari pakaian.
Bersamaan dengan ia keluar dari area penyimpanan pakaian, terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarnya.
"Silahkan masuk, Bi. Taruh saja di meja sana." titah Hanina saat mendapati asisten rumah tangganya berdiri di depan pintu dan membawakan sebuah nampan.
"Baik, Bu."
Hanina mengangguk dan ia menyusul langkah Bi Wati menuju sofa. Akibat tangisan Aqila dan insiden berebut bayi itu, susu yang dibuat oleh Hanina akhirnya menjadi dingin. Tetapi tak apa. Ini masih bisa diminum.
Hanina menikmati sarapannya dengan lahap. Dia mengabaikan pikirannya soal ambisi Risty yang ingin mengambil bayinya.
"Sebentar lagi permainan kita mulai, Risty. Selamat menikmati," gumam Hanina.
***"Apa-apaan ini? Kamu mau mengusirku dari perusahaan?" bentak Akmal sembari melemparkan sebuah map ke arah Hanina.
Hanina yang tengah duduk santai di ranjang sembari memainkan ponselnya seketika mendongakkan wajah sekilas, lalu mengalihkan pandangannya kepada map yang kini sudah mendarat di pangkuannya.
"Menurutmu?" sahut wanita itu dengan santainya. Dia memindahkan map itu ke atas meja nakas di samping tempat tidur.
"Aku tidak menyangka kamu berani melakukan ini." Wajah pria itu diliputi oleh kemarahan.
Pagi ini sebenarnya dia sangat senang, karena profit perusahaan melonjak drastis terhitung tiga minggu pertama sejak kepemimpinannya. Akmal merasa ini sebuah prestasi. Tetapi setelah selesai meeting, dia langsung mendapatkan panggilan dari pihak HRD untuk menandatangani berkas sialan itu.
Siapa lagi yang bisa melakukan hal ini, kecuali Hanina atau papanya? Karena merekalah pemilik perusahaan yang sebenarnya. Papa Hanina pemegang saham mayoritas dan Akmal sendiri tidak memiliki saham sedikitpun. Dia mendapatkan jabatan CEO setelah Hanina melahirkan. Mungkin mertuanya itu menganggap jika kehidupan putrinya sudah bahagia, sehingga dia mempercayai Akmal untuk memegang tampuk kepemimpinan di perusahaan.
"Kenapa aku harus takut? Aku atau Papa sama saja. Jika aku tidak menyukai seseorang di perusahaan, maka aku dengan mudah menendangnya. Seharusnya kamu ingat itu sebelum berbuat, Mas."
"Kamu mencampur adukkan perusahaan dengan urusan pribadi kita. Kamu nggak lihat, selama kepemimpinanku profit perusahaan melonjak drastis, dan itu profit, Hanina. Kamu sama sekali nggak mempertimbangkan itu." Dada pria itu seketika turun naik, kesal tentu saja, karena dia menganggap ini tidak adil. Dia sudah bekerja keras untuk perusahaan selama tiga minggu ini, hanya untuk menarik simpati papa mertuanya, agar suatu saat kepemilikan saham bisa beralih kepadanya, mengingat dia adalah suami Hanina.
"Aku tidak pernah menukar profit perusahaan dengan luka yang kuterima. Uang itu bukan segalanya, Mas, dan aku bisa menggantikan kamu untuk memegang perusahaan. Jangan lupa, sejak kecil aku sudah disiapkan Papa untuk menjadi pewarisnya. Jadi nggak ada alasan bagiku untuk bergantung kepada suamiku." Lagi-lagi wajahnya mendongak. Hanina menatap tajam sang suami dengan memasang wajah datarnya. Dia berusaha untuk tetap tenang karena sudah memprediksi tanggapan Akmal seandainya tahu jika nantinya Rio menyodorkan berkas untuk ia tanda tangani sebagai bukti pengunduran diri dari PT. Hanina Indo Textile.
"Sombong kamu! Kamu itu baru saja melahirkan dan seharusnya tempatmu itu di rumah, bukan di kantor!" Akmal mendengus. "Atau mungkin kamu ingin menyerahkan Aqila secara sukarela di bawah pengasuhan Risty?!"
"Sebelum menikah, aku sudah biasa ngantor, Mas. Apa kamu lupa?! Bekerja bukanlah hal yang asing buatku Papa sudah mendidikku untuk menjadi seorang wanita yang nantinya mampu menjadi pewarisnya."
"Soal Aqila, itu gampang. Aku bisa menitipkannya pada Mama...."
"Tampaknya kamu memang harus segera diberi pelajaran," geram laki-laki itu. Secepat kilat ia meraih putrinya, lalu menggendongnya dan berbalik keluar dari kamar.
Hanina yang kaget langsung menyusul suaminya. Namun Akmal lebih gesit. Dia terus menuruni anak-anak tangga dan akhirnya sampai ke ruang tengah.
"Kembalikan Aqila, Mas!"
"Aku akan mengembalikan Aqila, jika kamu mau menarik berkas-berkas itu dari pihak HRD," balas Akmal tanpa menoleh.
"Oh, jadi kamu mengancamku?" Hanina menyipitkan matanya.
"Menurut kamu?" Pria itu mengusap pundak putri kecilnya lalu berjalan dengan langkah-langkah yang lebar menuju ke kamar istri pertamanya.
Bab 149"Selamat datang di rumah kita, istriku," bisik Akmal. "Terima kasih, Mas." Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tanpa sadar ia menggenggam tangan prianya. Hanina merasa sangat terharu, tak menyangka jika dia masih diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di rumah yang pernah dijualnya ini.Hanina terpaksa menjual rumah ini karena kesulitan keuangan setelah perusahaan mereka bangkrut. Dia perlu modal untuk membangun usaha dan tempat tinggal baru, sementara hampir semua aset mereka sudah habis untuk membayar hutang. Masih untung papanya tidak masuk penjara, karena terlilit hutang. Mereka masih mampu memenuhi kewajibannya, meskipun harus menghabiskan hampir semua aset."Sama-sama, Sayang. Aku juga sangat bersyukur karena akhirnya kita bisa kembali menempati rumah ini. Beruntung orang yang memiliki rumah ini sebelumnya mau mengerti dan bersedia menjual kembali rumah ini kepada kita.""Ya. Kamu sudah berkali-kali cerita soal itu." Perempuan itu akhirnya sampai di sofa dan mendudukka
Bab 148Dua bulan kemudian.Akmal berjalan mondar-mandir di area depan Hanina Hotel. Dia memastikan semuanya bisa rampung tepat waktu, karena mulai besok hotel ini akan resmi beroperasi. Dengan letak cukup strategis yang sangat dekat dengan tempat wisata religi, menjadi jaminan jika Hanina Hotel akan segera kebanjiran tamu pengunjung.Pria itu tahu apa yang harus ia lakukan setelah memutuskan keluar dari grup Aston. Meski terasa berat, karena bagaimanapun Aston adalah tempatnya bernaung pertama kali, tapi Akmal memutuskan untuk mandiri. Dia ingin merasakan menjadi seorang pengusaha dalam artian yang sebenarnya, bukan hanya sekedar karyawan, meskipun posisi terakhirnya adalah karyawan nomor satu. Namun karyawan tetaplah karyawan.Setelah merasa cukup, Akmal dengan didampingi om Danu segera masuk kembali ke bangunan yang megah itu. Sembari berjalan menuju ruang pertemuan, dia terus menikmati pemandangan yang memanjakan matanya. Area dalam hotel ini sudah benar-benar selesai, dan interi
Bab 147Dia dan Akmal memang sudah punya cerita masing-masing dan tidak saling mencampuri urusan satu sama lain. Sungguh, Risty hanya sekedar menanyakan. Entah bagaimana penampakan pria itu sekarang. Tentunya lebih keren dibandingkan saat bersamanya dulu. Bersama dengan Hanina, Akmal memperoleh banyak pencapaian dalam hidup dan finansial. Perempuan itu memejamkan mata, lalu segera membuka matanya kembali saat merasakan tepukan lembut di bahunya."Ini bukan saat yang tepat untuk bernostalgia. Kita ke sini datang sebagai tamu, bukan sebagai mantan." Rio mengucapkan dengan cara berbisik, lantaran tak ingin Aqila mendengar ucapannya.Risty mengangguk. Akhirnya dia memilih untuk menggendong Aqila dan membawa balita cantik itu ke halaman rumah.Di halaman ada bangku dan ayunan. Risty membawa Aqila duduk di ayunan yang berbahan besi kuat itu."Aqila mau adik apa? Cowok atau cewek?" tanya Risty sembari menggerakkan batang besi penyangga ayunan, sehingga tempat duduknya sekarang bergerak-ger
Bab 146Rio berusaha mengabaikan pertanyaan sang istri dan memilih untuk berdiri. Dia mengajak Risty menuju ruang makan, meski sebenarnya dia tidak sedang mood. Ternyata semua makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Pria itu tersenyum tipis, lalu menarik kursi dan duduk."Mari kita makan, Ris. Terima kasih sudah memasak.""Bukan aku, tapi si Bibik," balas Risty seraya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, lalu menyerahkannya kepada Rio."Tapi kamu hebat, bisa belajar dalam waktu singkat. Aku senang melihat perubahan kamu. Kamu terlihat bersungguh-sungguh untuk membuat diri kamu menjadi lebih baik," pujinya tulus."Tapi tetap saja aku sudah punya cacat. Masa laluku bersama dengan mas Akmal sungguh buruk. Aku bahkan pernah menjadi wanita panggilan untuk menyambung hidup." Risty mengulas senyuman, meski sebenarnya ia masih menyimpan berbagai tanya di benaknya soal sikap Rio semenjak mereka pulang dari acara pernikahannya Dira dan Reza."Setiap manusia punya cac
Bab 145"Nggak usah didengerin ucapan Mama. Kalau memang kamu nggak siap melakukan hubungan suami istri, aku bisa menunggu kok. Santai aja," ujar Reza menenangkan Dira yang terlihat amat gelisah saat mereka dalam perjalanan pulang dari bandara untuk mengantar rombongan ibunya."Bukan soal itu. Aku hanya kepikiran soal kita kedepannya. Aku nggak menyangka kita bisa melangkah sejauh ini," keluh gadis itu."Tidak apa-apa. Memang sudah jalannya begitu, yang penting kamu bisa menjalaninya dengan baik.""Aku nggak yakin." Tatapan Dira nampak kosong, meski di sepanjang perjalanan, nampak gedung-gedung pencakar langit berdiri dengan angkuh, mengalahkan rumah-rumah petak di sekitarnya."Aku akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meyakinkan kamu. Yang penting kamu nggak menentang jalan yang sudah kita ambil. Ini hanya soal waktu, jadi kita kembalikan saja kepada waktu.""Kamu begitu yakin, Reza?""Tidak ada hal yang membuatku tidak yakin, karena kurasa yang ada dalam dirimu itu bukan cinta,
Bab 144Luka itu kembali terbuka. Dia tidak menyangka Rio dan Risty muncul, padahal gadis itu merasa tidak pernah mengundang kedua orang itu. Lalu siapa yang mengundangnya? Apakah Hanina?!"Kamu harus hadapi semuanya, Dira. Jangan menghindar terus, karena terapi yang paling baik buat kesembuhan hati kamu adalah bertemu dengan orang yang membuat hatimu sakit, walaupun mungkin di awal perih. Tapi percayalah, lukamu akan segera sembuh." Hanina berbisik, lalu dia segera undur dua langkah dan memberikan kesempatan kepada para undangan yang lain untuk bersalaman dengan Dira dan Reza.Lagi-lagi gadis itu mengangguk dan anggukan itu pula yang ia tunjukkan saat harus bersalaman dengan Rio dan Risty. Pria di samping Dira itu hanya tersenyum kecut manakala akhirnya bisa bertemu langsung dengan pria yang sangat dicintai oleh Dira.Tanpa sadar dia membandingkan antara ia dengan Rio. Dilihat dari postur tubuh, dia tidak kalah dengan Rio, sama-sama gagah dan tampan, meski tentu struktur wajah mereka