Getar di dada Niara tak membuat Niara gentar, ada rasa senang dan takut bercampur menjadi satu. Perlahan ia mengikuti langkah Erwin yang berjalan di depannya. Erwin, kakak ipar yang sempat hendak melecehkannya itu membawa kabar yang sangat tidak Niara duga. Benarkah, jika apa yang selama dua tahun belakangan ini yang dia lakukan pada Niara hanyalah dusta belaka? Jarak kamar dengan ruangan tengah lumayan memakan beberapa langkahan kaki, rumah megah ini membuat jarak tiap ruangan lumayan berjarak. Niara telah sampai di ruangan tengah, ia segera menatap tengkuk kepala belakang pria yang sedang duduk di sofa membelakanginya. Ada tanda di kepala itu, tanda yang dulunya sangat Niara kenali. "Mas Devan," gumam Niara. Seketika, tengkuk kepala itu bergeser, membalikkan kepalanya kepada Niara. Kali ini Niara benar-benar bahagia, sosok yang selama ini ia rindukan sekarang berada di depan matanya. "Ara," ucap Devan dengan bibir yang bergetar. Ia berdiri, dengan mata yang berkaca-kaca
“Semua hak warisan Devan jatuh kepada Niara, termasuk dengan villa. Ada yang mau protes? Silakan mengangkat tangan!” Lelaki berjas hitam dengan dasi polkadot sedang mengadakan rapat keluarga besarnya. Namanya Devan, pemilik salah satu perusahaan besar di Asia. Dia mempunyai kekayaan mencapai kuadriliun. Devan adalah anak kedua dari empat bersaudara, namun dialah pemegang saham sepenuhnya yang mana adalah hasil pembagian warisan dari almarhum ayah mereka yang Devan kembangkan hingga menjadi sebesar sekarang. Tidak ada yang mengetahui tentang kekayaan Devan dari pihak keluarganya ini. Saudara Devan hanya tahu Devan bekerja menjadi direktur di suatu perusahaan dan beberapa buah villa yang cukup menghasilkan. “Apa, perempuan mandul itu?” sanggah kakak tertua. Kakak tertua mempunyai watak yang paling kers dan pemarah, namanya Erwin dengan sedikit jabis di dagunya, mempunyai dua orang anak yang tinggal di Australia bersama istrinya. Erwin bekerja tak menetap dikarenakan wataknya yang ke
Sesampainya di rumah setelah pergi dari tempat kejadian, Niara gegas ke kamar dan mengurung diri. Ia tersandar di belakang pintu dengan hati yang tak menentu. “Nggak mungkin, itu bukan Mas Devan. Aku bisa merasakan dan yakin kalau mayat itu bukan Mas Devan,” gumam Niara yakin. Meskipun keyakinan hatinya begitu besar, namun Niara tetap tidak bisa membendung air matanya. Mengingat jikalau mobil serta ponsel dan dompet di tempat kejadian adalah milik Devan, suaminya. “Jika bukan Mas Devan, lalu siapa? Mas Devan ke mana?” Niara masih berusaha menenangkan hati kecilnya. “Nggak, aku yakin. Mayat itu bukan Mas Devan. Mungkin saja, mobilnya tadi dipinjam sama rekan kerjanya dan Mas Devan memang tidak ada di dalam mobil itu waktu kejadian.” [Tok... Tok... Tok] Ketukan pintu terdengar sangat keras, membuat Niara gegas keluar dari zona pikirnya. “Mas Devan?” ucap Niara dengan penuh harap dan ia pun gegas membuka pintu. Namun, harapan tidak seindah kenyataan. “Pake acara pura-pura nan
Pagi hari sekali, Niara telah berdandan cantik dengan pakaian yang sudah lama tersimpan di dalam almari, ia kembali akan menjalani hari dengan bekerja di kantor seperti dulu sebelum ia memutuskan menikah dengan Devan. Penampilannya terlihat sangat elegan dan anggun, membuat setiap pasang mata yang menatapnya tidak akan percaya jikalau ia adalah Niara. Erwin tak berkedip saat melihat Niara yang hendak berangkat bekerja, ia terpana dengan kemolekan dan keanggunan sang adik ipar yang selalu ia caci dan siksa. “Sudah mau berangkat, Niara?” tanya Erwin dengan nada yang berbeda dari biasanya. Niara sedikit memberi jarak. “Iya, Kak.” “Naik apa? Apa mau aku anterin?” Suara Erwin semakin memelan. Niara menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Kak. Niara ada yang jemput,” jawab Niara yang merasa tidak nyaman terhadap perubahan sikap kakak iparnya. “Dasar, mentang-mentang udah kerja. Kamu berani menolak ajakanku.” Suara Erwin kembali menggelegar seperti biasanya, tangannya siap melaya
Ratna sedang mondar-mandir di ruang tengah. Dia merasa tidak tenang setelah kepergian Niara ke kantor karena rasa takut yang menghantuiya. “Ratna, kamu itu kenapa sih dari tadi mondar-mandir?” tanya Lia santai duduk di depan tivi. “Aku khawatir, Mbak. Gimana kalau si Lusuh itu menceritakan apa yang terjadi di rumah ke orang-orang? Bisa mamp*s kita,” jawab Ratna yang tidak berhenti mondar-mandir. Lia nampak santai menanggapi. “Kamu jangan khawatir, Ratna. Si Lusuh itu nggak bakalan berani cerita ke siapa pun, aku yakin seratus persen mengenai hal itu.” Lia tersenyum licik. Ratna pun gegas duduk di samping Lia dan ia mendekatkan telinganya karena penasaran mengapa Lia se-percaya diri itu. “Kenapa Mbak Lia seyakin itu?” tanya Ratna melotot. Lia memiringkan bibirnya meremehkan. “Karena aku punya kuncinya,” jawabnya. “Kunci?” Ratna semakin penasaran dibuat Lia. “Benar, kunci yang bisa membungkam Niara untuk selamanya.” “Apa itu, Mbak?” Ratna antusias. Lia menempelka
Saat jam telah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, Niara sudah siap untuk berangkat bekerja. Di depan juga sudah sedia sebuah mobil yang dikendarai oleh Ruben. “Hari ini ada meeting dengan klien untuk negosiasi kontrak jam sepuluh,” ujar Ruben mengingatkan. “Lagi?” Niara fokus pada laptopnya. “Jam satu siang setelah makan siang dengan klien, diskusi dengan CFO. Pada jam tiga, seminar industri,” jawab Ruben. “Baik, terima kasih, Ruben.” Ruben mengangguk sembari melihat Niara dari kaca spion tengah. “Oh iya, Bu Ara. Saya sudah kirimkan yang Ibu minta ke email Ibu.” Niara tersenyum lembut. “Iya, saya sudah buka email dari kamu. Terima kasih banyak.” Ruben memutar radio musik di mobil, membuat Niara yang tadinya fokus ke laptop itu pun terhenti. Ia mendengarkan lagu yang di play oleh Ruben. “Pak Devan selalu memutar lagu ini, Bu. Sepertinya lagunya punya makna yang mendalam bagi Pak Devan dan Ibu.” “Kamu benar, Ruben. Lagu ini dulunya adalah lagu kesukaan sa
Bab 6 Enam bulan telah berlalu, Niara masih berusaha mencari Devan bersama Rahel. Namun, tidak ada kabar yang mereka temukan. Meskipun demikian, tidak menyurutkan semangat Niara untuk terus mencari keberadaan Devan. Ratna juga sudah melahirkan bayinya, semua keperluan bayi diurus oleh Niara setiap hari, bahkan membuat Niara berangkat ke kantor dalam keadaan mata sayu karena kurang tidur. Suara cicak terasa menyengat gendang telinga, tanda sepi sedang menemani. Di rumah Niara sedang berdua dengan bayi Ratna dikarenakan para iparnya sedang bepergian liburan ke luar negeri setelah uang warisan dari Devan cair. “Mas, kamu di mana?” gumam Niara yang hampir setiap hari dia lontarkan. Dering telepon berbunyi, Niara gegas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. (Bu, maaf mengganggu waktu anda malam-malam begini. Saya mau berkabar jikalau besok saya tidak bisa masuk kerja dikarenakan ibu saya di kampung meninggal dunia, jadi saya harus pulang dengan segera. Besok akan ada
Sebuah mobil hitam sudah terparkir di depan rumah, Niara juga sudah selesai dengan semua pekerjaan rumah dan siap untuk berangkat bekerja seperti biasa, namun dia masih kebingungan ke mana ia harus menitipkan Adzando hari ini. Mencari Irham di seantero rumah, namun Niara tidak mendapatinya. Terpaksa Niara membawa Adzano bersamanya. Niara dengan bawaan penuh di tangan dan bahunya sudah keluar dari rumah. Seorang laki-laki berbadan jangkung keluar dari mobil membukakan pintu untuk Niara. Niara tak mengetahui siapa sosok tersebut dan ia hanya gegas memasuki mobil. “Ibu Niara, perkenalkan nama saya Hildan. Hari ini dan beberapa hari ke depan akan menggantikan tugas Pak Ruben.” Ia membuka kacamatanya, matanya hitam dan agak sipit, nampaknya dia jauh lebih muda dari Ruben. “Iya, Hildan. Kamu bisa panggil saya dengan Ibu Ara saja tidak mengapa.” Hildan mengangguk paham. “Baik, Ibu Ara. Apa kita bisa berangkat sekarang?” tanyanya. “Silakan.” Niara sibuk menenangkan Adzando yang menan
Getar di dada Niara tak membuat Niara gentar, ada rasa senang dan takut bercampur menjadi satu. Perlahan ia mengikuti langkah Erwin yang berjalan di depannya. Erwin, kakak ipar yang sempat hendak melecehkannya itu membawa kabar yang sangat tidak Niara duga. Benarkah, jika apa yang selama dua tahun belakangan ini yang dia lakukan pada Niara hanyalah dusta belaka? Jarak kamar dengan ruangan tengah lumayan memakan beberapa langkahan kaki, rumah megah ini membuat jarak tiap ruangan lumayan berjarak. Niara telah sampai di ruangan tengah, ia segera menatap tengkuk kepala belakang pria yang sedang duduk di sofa membelakanginya. Ada tanda di kepala itu, tanda yang dulunya sangat Niara kenali. "Mas Devan," gumam Niara. Seketika, tengkuk kepala itu bergeser, membalikkan kepalanya kepada Niara. Kali ini Niara benar-benar bahagia, sosok yang selama ini ia rindukan sekarang berada di depan matanya. "Ara," ucap Devan dengan bibir yang bergetar. Ia berdiri, dengan mata yang berkaca-kaca
Lelaki itu masih lekat menatap Niara yang hampir kehabisan napas. Ia masih tak percaya dengan apa yang menghadang di hadapan matanya. Senyuman terukir dari bibir laki-laki itu, ia kemudian berdiri dan bertepuk tangan dengan riang gembira. "Niara, kenapa kamu menatapku begitu? Kamu nggak menyangka kalau kita akan ketemu lagi?" ucapnya berjalan mendekat ke arah Niara yang terdiam mematung. Rizwan juga bangkit dari kursinya. Ia dengan cepat meraih jemari lelaki itu yang hampir saja memegangi dagu Niara. "Syut... Jangan kamu sentuh calon pengantinku, Win!" titah Rizwan. Niara menatap lekat kepada Rizwan. Seolah memberikan pertanyaan kepadanya. "Kenapa, Ra? Kamu nyari siapa?" tanya Rizwan mengolok-olok. Niara segera memegangi kerah baju Rizwan. "Di mana Devan? Di mana suamiku Devan?" teriak Niara kepada Rizwan. Lelaki yang berada di antara neraka itu menarik Niara, menjauhkan dari Rizwan. "Lepaskan!" Berontak Niara. "Erwin, bawa dia ke kamarku!" titah Rizwan memperbaiki
Seorang lelaki berbadan kekar yag sedari tadi menunggu di depan pintu ruangan VVIP dengan tegas meminta Niara untuk ikut bersamanya atas perintah dari Rizwan. Niara tak menyanggah, ia menyatjui perintah dan mengikuti lelaki tersebut. Rahel menahan tangan Niara dengan cepat agar langkahnya terhenti. “Ra, janga!” pinta Rahel sembari menggelengkan kepalanya. Niara perlahan melepaskan tangan Rahel darinya. “Kamu jagan khawatir, Hel. Aku enggak akan kenapa-napa kok. Aku janji akan rutin hubungin kamu.” Niara beralih kepada Aisyah yang terdiam di pojok. “Aisyah, aku minta tolong nitip Rahel sama Alex ya ke kamu. Jaga mereka!” pinta Niara dengan sangat penuh permohonan. Aisyah menjawab dengan anggukan lembut. “Terima kasih banyak, Aisyah.” Memeluk Aisyah dengan erat. “Tapi, gimana dengan kamu, Mbak?” tanya Aisyah perlahan. “Sudah, jangan khawatirin aku. Aku pergi!” Niara yang sudah kembali dipanggil oleh lelaki itu segera meninggalkan ruangan. Ia mengikuti langkah lelaki itu d
Mendapati Ekspresi Niara, Aisyah gegas mengambil ponselnya yang jatuh ke lantai. "Mbak, ada apa?" "Kenapa Rizwan?" ucap Niara. 'Aisyah, Aisyah. Kamu mau bantuin mereka?' Suara dari balik telepon itu menarik perhatian Aisyah. "Pak Rizwan," ucapnya gegas menempelkan ponselnya ke telinga. 'Pak, kenapa bisa ponsel Pak Van sama Bapak? Pak, saya perlu bicara dengan Pak Van.' Aisyah mulai takut dengan Rizal setelah mendengar pernyataan dari Niara dan Rahel bagaimana bejatnya dia. 'Berikan kembali pada Ara, aku mau ngomong sama dia!' Aisyah menurut, segera memberikan ponselnya kembali kepada Niara. "Mbak, Pak Rizwan mau ngomong." 'Ara, apa kamu tau orang yang sedang kamu hubungi ini? Dia adalah orang hang selama ini kamu cari...,' ucap Rizwan. 'Bicara!' ujarnya menyuruh seseorang. Niara terdiam. Menunggu... 'Ara, ini aku,' ucap dari balik telepon, suaranya terdengar susah payah. 'Mas Devan,' teriak Ara histeris. Meskipun sudah sangat lama tidak mendengar suara Devan, Niar
'"Apa, menikah denganmu?" Niara berdiri, menggertak meja. "Enggak!" lanjutnya. Bukan hanya sampai di situ, Niara juga menumpahkan isi minumannya kepada Rizwan. Bukannya balik memarahi, Rizwan hanya tersenyum menanggapi Niara. Ia kembali merogoh ponselnya, menelpon seseorang dan ia berbincang dengan ponselnya. Napas Niara naik turun, ia masih berusaha mengolah emosi. "Di mana Rahel, Ra? Bawa dia ke sini! Aku akan serahkan Alex padanya." Rahel pasti sudah mendengar apa yang Rizwan katakan. Entah benar atau tidak ucapan Rizwan, yang pasti Niara belum sepenuhnya mempercayai. Niara masih berhati-hati, terlebih dengan kebaikan hati Rizwan saat ini. 'Rahel, kamu di mana?' tanya Niara pada earphone yang terpasang. 'Aku menuju ruangan, Ra. Secepatnya sampai.' Ceklek... Pintu terbuka, memperlihatkan Rahel yang gelagapan. Dia seperti habis berlari kencang. "Di mana anakku?" ucap Rahel segera. "Sabar, Hel. Aku akan penuhi janjiku karena kamu sudah membawa Ara padaku. Seben
Niara sudah didandani oleh Rahel. Make up tipis di wajahnya membuat kesan berbeda pada Niara. Dia cantik tanpa make up tapi lebih cantik lagi saat menggunaka make up. “Nyonya Ara, Tuan muda sudah menunggu di depan,” ucap Mbok pada Niara. Rahel memegangi pundak Niara untuk menguatkan. “Jangan putus komunikasi! Kalau dia mau ngapa-ngapain kamu hubungi aku segera.” Niara mengangguk paham. Dengan langkah berat ia berjalan keluar kamar. Dituntun oleh Rahel bak seorang penggiring pengantin yang menggiring pengantinnya menuju pelaminan. Rahel menjerit di dalam hati.Sama halnya dengn Niara. Keduany mempunyai duka yang berbeda. Rizwan sudah menunggu di dalam mobil mewahnya. “Ara,” ucap Rizwan dengan tatapan kagum. Rizwan membukakan pintu mobil bersebelahan dengannya. Niara masuk ke mobil dengan hati yang tak karuan, doa perlindungan tak henti terhatur di dalam hati. Rizwan kembali masuk ke dalam mobil, sejenak ia menatap kepada Niara yang membuang muka dari Rizwan. “Cantik sekali,” puji
Niara perlahan membuka mata saat tangan Rizwan beranjak dari wajahnya. Wajah Rizwan sumringah, dia terlihat sangat bahagia dengan mata Niara yang membuka.“Ara,” ucapnya. Niara duduk dan sedikit menjauh dari Rizwan. “Ra, jangan takut! Aku enggak akan nyakitin kamu kok.” Membujuk Niara. “Kamu... Kamu Rizwan kan?” Rizwan mengangguk, tersenyum pada Niara. “Kamu ngapain bawa aku ke sini?” tanya Niara lagi. Rizwan mengubah posisi duduknya, sedikit mendekat pada Niara membuat Niara kembali menjauh. “Ra, sebenarnya aku sudah lama suka sama kamu. Perasaan ini sangat lama kupendam.” Niara berpura-pura berekspresi kaget mendengar pernyataan perasaan Rizwan padanya. Di sisi lain ada Rahel yang menahan isakan tangisnya, dia masih sangat mencintai Rizwan tapi rasa benci juga berbaur dalam hatinya. “Tapi, kenapa bisa?”“Aku juga nggak tau, Ra. Perasaan ini tiba-tiba aja muncul saat pertama kali aku melihatmu.” Niara meremas sprei kasur. “Tapi, aku enggak ada perasaan apapun sama kamu.” R
“Kamu percaya aja gitu sama dia? Setelah semua yang dia lakukan, setelah semua air mata yang kamu keluarkan?” Rahel mengangguk. “Maafin aku, Ra. Aku dipaksa sama dia buat bawa kamu sama dia. Aku udah ketemu sama Alex, dia beneran masih hidup.” "Apa kamu yakin dia memang Alex?" "Yakin, Ra. Ini naluri seorang ibu sama seperti yang kamu bilang apa kamu enggak percaya dengan nalurj seorang ibu?" Niara tak menepis apa yang Rahel katakan. Dia terdiam, merenungkan nasib seorang sahabatnya yang sudah sangat ia prcaya dan cinta. "Ra, kamu mau kan sama Rizwan?" tanya Rahel dengan nada membujuk. Niara tak habis pikir, dia terkesiap dan gegas berdirj dari duduknya. Memberi jarak dari Rahel dengan segera. "Aku enggak bisa, Hel. Enggak akan mau." Niara setengah berteriak. Rahel menarik tangan Niara, ia memohon dengn penuh duka yang menjalar dari kedua matanya. "Aku mohon, Ra. Devan enggak akan kembali, dia sudah mati. Usahamu sia-sia menunggunya pulang. Itu hal yang mustahil." Pla
Niara keluar dari dalam kamar, dia merasa tidak nyaman karena terlalu memikirkan Rahel, temannya. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang membuat Niara gelisah berkepanjangan. Niara kebingungan harus berjalan ke arah yang mana dikarenakan ruangan rumah ini begitu besar dan terdapat banyak pintu. Niara mencoba memasuki salah satu pintu yang dia yakini adalah pintu untuk leluar, namun nyatanya ia masuk dalam ruangan yang lain. “Aku harus ke mana? Di mana penghuni rumah ini? Tidak mungkin rumah semegah ini tidak ada yang menghuni kan?” gumam Niara. “Rahel, maafkan aku.” Masih berusaha mencari pintu keluar dan mencari penghuni rumah. Seseorang menarik tangan Niara, Niar kaget bukan kepalang. Ia menarik tangan Niara, ke ruangan yang jauh lebih luas ukurannya. “Ra,” ucapnya. Niara terdiam menatap sosok yang telah menarik tangannya itu. “Kamu” Hujan sudah reda namun kilat dan suara guntur masih kerap kali menyapa. Suasana mencekam, keduanya saling menatap tanpa sepatah katapun keluar dari b