Mentari pagi menyusup pelan ke sela tirai putih yang bergoyang lembut diterpa angin. Di halaman belakang rumah, Niara duduk di bangku taman sambil menyiram tanaman kesayangannya. Di sebelahnya, secangkir teh hangat mengepul, menguarkan aroma menenangkan.Dari kejauhan, langkah kaki mendekat. Devan muncul dengan kemeja putih santai, wajahnya bersih, damai, jauh berbeda dari lelaki yang dulu pulang dalam luka dan kemarahan.“Aku pikir kamu masih tidur,” kata Niara tanpa menoleh.Devan duduk di sebelahnya. “Mana bisa tidur kalau istriku nggak di samping.”Niara tersenyum kecil. “Gombalmu pagi-pagi tetap saja.”Mereka terdiam sebentar, menikmati suara burung dan desir angin.“Niara,” Devan memecah keheningan, menatap istrinya lekat-lekat. “Kamu tahu... kadang aku masih merasa bersalah.”Niara menoleh, bingung. “Bersalah kenapa?”“Karena aku pergi terlalu lama. Karena aku membiarkanmu terluka di rumah yang seharusnya jadi tempatmu berlindung.”Niara menggeleng. “Kamu nggak pernah benar-ben
Kebenaran yang Tak Bisa DikuburLangit malam tampak mendung, angin bertiup pelan saat Devan duduk di ruang kerjanya, menatap selembar foto usang.Foto itu memperlihatkan dirinya bersama tiga pria lain—mantan kolega bisnis lama. Mereka dulu sahabat, kini dua di antaranya telah memusuhi Devan sejak ia memutuskan menarik semua sahamnya dan membentuk DPM Group sendiri.Dan salah satunya adalah pria yang baru saja muncul kembali lewat ancaman: Juan Arvanio.Beberapa hari setelah konferensi pers, Devan menerima informasi dari orang kepercayaannya bahwa Juan—pria licik yang dulu hampir membuat perusahaan bangkrut—telah kembali ke Indonesia. Juan yang dulu pernah mengancam akan “menghilangkan” Devan karena dianggap mengkhianati kesepakatan bisnis kotor mereka.Kini ia kembali. Dan tak hanya itu, dia tahu tentang Niara.Sementara itu, Niara sedang berbelanja bahan makanan di supermarket. Ia memilih buah dengan santai, tak sadar bahwa ada mata yang mengikuti dari kejauhan.Seseorang dengan ja
Rumah Devan dan Niara terasa lebih tenang sejak konferensi pers. Udara di dalamnya tak lagi terasa menyesakkan seperti dulu. Tapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang menggantung di udara—seperti bayangan yang belum sepenuhnya pergi.Pagi itu, Niara sedang merapikan meja makan saat suara pintu depan diketuk.“Mas, ada orang,” serunya.Devan menghampiri. Begitu membuka pintu, ia menemukan seorang kurir berdiri dengan amplop cokelat besar di tangan.“Untuk Pak Devan.”Setelah menerima dan menandatangani bukti serah terima, Devan membawa amplop itu ke ruang tamu. Tatapannya tajam saat membuka isinya.Niara mendekat. “Surat apa itu?”Tak ada suara.Devan hanya memegang selembar kertas putih dengan tulisan tangan:“Kami tahu siapa yang membuatmu koma. Dan mereka belum puas.”Niara memucat. “Apa maksudnya... ini ancaman?”Devan menatapnya lama, lalu menatap kertas itu lagi.“Sepertinya... permainan ini belum selesai.”Sementara itu, di rumah yang dulu mereka tinggali bersama, Ratna se
Hotel bintang lima di pusat kota sore itu tak seperti biasanya. Lobi dipenuhi awak media, kamera, dan suara bisik-bisik penasaran. Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang akan muncul. Tapi satu nama kini memenuhi berita sejak pagi:“Devan Pemilik DPM Group– Hidup atau Tipu Daya?”Ruangan konferensi telah disiapkan dengan megah. Latar panggung menampilkan logo DPM Group dalam warna emas mengilap. Beberapa petinggi perusahaan terlihat duduk di barisan depan, namun kursi di tengah panggung masih kosong.Dan kemudian, tepat pukul 17.00, pintu utama terbuka.Langkah kaki berderap masuk—pelan tapi mantap.Devan berjalan ke depan, mengenakan setelan jas abu gelap yang membentuk siluet percaya diri. Di sampingnya, seorang wanita dengan gaun putih sederhana namun elegan, berjalan tenang di sisinya.Niara.Kilatan kamera langsung menyambar seperti petir. Bisik-bisik tak percaya meledak.“Itu istrinya?”“Yang katanya Cuma pembantu rumah tangga?”“Serius? Cantik banget, tapi kelihatan lugu...”
Pagi baru saja menjingga ketika Niara terbangun, namun Devan sudah tidak ada di sebelahnya. Sejenak ia mengira semuanya hanya mimpi—kehadiran Devan, keberaniannya, dan perlindungan yang kini mulai membungkusnya perlahan. Tapi suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya. “Mas?” panggil Niara pelan. Devan masuk, mengenakan kemeja lengan panjang berwarna navy dan celana bahan hitam. Di tangan kirinya, ia memegang sebuah map coklat tebal. “Maaf, aku bangunin kamu?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang. Niara menggeleng. “Kamu dari mana?” “Ketemu seseorang. Sekalian ambil ini.” Ia menunjukkan map itu. “Ada beberapa hal yang aku pikir kamu berhak tahu sekarang.” Niara menatap map itu, lalu memandang wajah suaminya. “Mas... kamu sebenarnya siapa?” Devan menatap istrinya dalam-dalam. Mata itu, mata yang dulu begitu jernih saat ia menikahi Niara secara sederhana di masjid kecil, kini penuh luka yang tak semestinya ada. “Aku Devan, suamimu,” jawabnya pelan. “Tapi aku juga Deva
Malam itu, Niara duduk di teras belakang sambil memeluk lututnya. Angin berembus lembut, membawa aroma bunga kamboja dari pekarangan, tapi hatinya masih belum sepenuhnya tenang. Sudah bertahun-tahun ia dianggap tak lebih dari pelengkap rumah tangga orang lain. Kini, dalam waktu kurang dari dua hari, segalanya terasa berubah begitu cepat—tapi perubahan itu terasa seperti mimpi. “Sayang.” Suara berat itu membuatnya menoleh. Devan datang membawa dua cangkir coklat hangat. “Mas bikinin buat kamu. Aku masih ingat kamu selalu minum ini tiap malam waktu kamu susah tidur.” Niara tersenyum, walau matanya masih menyimpan lelah yang panjang. Ia menerima cangkir itu dengan dua tangan. “Terima kasih, Mas.” Devan duduk di sebelahnya, menatap langit gelap yang mulai bertabur bintang. “Maafin aku, Niara. Aku ninggalin kamu di rumah ini terlalu lama. Aku kira... kalau aku jauh, kamu akan lebih tenang. Aku nggak nyangka mereka setega itu padamu.” Niara hanya diam. Ia bukan tak