Share

7

last update Last Updated: 2025-04-01 13:03:07

Sebuah mobil hitam sudah terparkir di depan rumah, Niara juga sudah selesai dengan semua pekerjaan rumah dan siap untuk berangkat bekerja seperti biasa, namun dia masih kebingungan ke mana ia harus menitipkan Adzando hari ini. Mencari Irham di seantero rumah, namun Niara tidak mendapatinya. Terpaksa Niara membawa Adzano bersamanya.

Niara dengan bawaan penuh di tangan dan bahunya sudah keluar dari rumah. Seorang laki-laki berbadan jangkung keluar dari mobil membukakan pintu untuk Niara. Niara tak mengetahui siapa sosok tersebut dan ia hanya gegas memasuki mobil.

“Ibu Niara, perkenalkan nama saya Hildan. Hari ini dan beberapa hari ke depan akan menggantikan tugas Pak Ruben.” Ia membuka kacamatanya, matanya hitam dan agak sipit, nampaknya dia jauh lebih muda dari Ruben.

“Iya, Hildan. Kamu bisa panggil saya dengan Ibu Ara saja tidak mengapa.”

Hildan mengangguk paham. “Baik, Ibu Ara. Apa kita bisa berangkat sekarang?” tanyanya.

“Silakan.” Niara sibuk menenangkan Adzando yang menangis. “Tunggu, kamu tau tempat penitipan bayi yang terpercaya di sekitar sini?” timpalnya.

Hildan terlihat berpikir, ia berusaha mengingat-ingat.

“Ada, Bu. Kebetulan saya tahu tempat lembaga kesejahteraan yang tidak begitu jauh di sekitar sini. Di sana juga bisa menitipakn anak dan oang tua.”

Niara berpikir. “Kamu yakin jika tempatnya terpercaya?”

“Yakin, Bu. Saya kenal dengan salah seorang relawan sosial di sana.”

“Bisa antarkan saya ke sana dulu?”

Hildan langsung mengiyakan. Ia memacu mobil dengan kecepatan sedang.

Mereka sampai di tempat tujuan, Hildan nampak sibuk dengan ponselnya di luar mobil yang kemudian datanglah seorang perempuan sebayanya menghampiri.

“Kak Hildan, di mana orangnya?” tanya perempuan itu lembut.

“Di dalam mobil. Tunggu sebentar ya!” Hildan beranjak dan mendatangi Niara.

“Ibu Ara. Itu orangnya, Ibu bisa tanya-tanya dulu.” Hildan menunjuk ke arah perempuan tersebut.

Niara keluar dari mobil. Ia menghampiri perempuan yang Hildan arahkan.

“Ibu, perkenalkan saya Aisyah, salah seorang relawan sosial di tempat ini. Ada yang bisa saya bantu?”

Niara tersenyum seutas. “Jadi begini, saya ingin menitipkan bayi saya. Jika diperbolehkan, saya ingin tahu mendetil tentang penitipan anak di sini.”

“Tentu boleh, Bu. Mari, saya bisa ajak Ibu berkeliling dulu sembari menjelaskan tentang pelayanan sosial di tempat kami!”

Niara mengikuti ajakan Aisyah . Hildan datang dan meminta izin untuk menggendong Adzando yang tertidur itu selama Naira berkeliling. Niara dan Aisyah berjalan beriringan dan Aisyah dengan rinci dan luwes menyapaikan informasi yang seharusnya.

“Itu lagi ngapain?” tanya Niara menunjuk salah satu ruangan yang sedang ramai terdengar gemaan suara.

“Itu ruangan sosialisai bagi para perempuan yang mendapatkan kasusu KDRT. Mereka diajar di sini bagaimana membela diri dan meminta bantuan. Jujur, Bu. Sebenarnya, pada awalnya saya juga bagian dari mereka. Saya sangat tahu betapa beratnya untuk segera menghindari kekerasan tersebut, saya sangat bersyukur dengan adanya lembaga sosial ini yang sangat membantu bagi para anak-anak, orang tua dan para perempuan. Saya sangat berterima kasih pada pendiri lembaga ini.”

Niara terenyuh mendengarkan setiap penjelasan Aisyah yang disampaikan dengan hati hingga masuk ke hati itu. Niara juga bagai meraskan penderitaan apa yang mereka alami sebelum tinggal di sini. “Kalau boleh tau, siapa pendiri tempat ini? Mungkin saja saya bisa ikut berpartisipasi dengan lembaga sosial ini.”

“Tentu, Bu. Saya bisa antarkan Ibu bertemu dengan Pak Vin, tapi sayangnya setiap hari senin, beliau pergi ke luar kota. Jujur, Bu. Beliau bagai malaikat, sangat baik pada siapa saja.”

“Ya sudah, kalau begitu besok saya ke sini lagi. Tolong sampaikan salam saya pada beliau.”

“Tentu, Bu. In syaa Allah saya sampaikan.”

“Terima kasih, Aisyah. Oh ya, saya titip bayi saya hari ini. Sepulang kerja, saya akan kembali ke sini.”

Aisyah menarik senyuman dan mengangguk paham. Adzando sudah berada di tangan pengasuhnya. Sebelum meninggalkan Adzando, Niara sempat memeluk dan mengecup lembut bayi Ratna itu, seperti seorang ibu kepada anak kandungnya.

“Jalan, Hildan!” titah Niara.

Ban mobil berputar, beranjak meniggalkan lembaga sosial. Niara merasa lebih tenang, tak lagi memikirkan bagaimana nasib Adzando tanpa dirinya.

Di kantor, Niara langsung saja sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang direktur. Hari demi hari ia lalui sendiri, penuh luka dan duka yang berarti. Hati kecilnya masih berkecamuk rindu kepada sang suami yang sudah lama pergi.

Setiap hari Niara lalui dengan kesibukan yang tidak ada habisnya.

Keesokan harinya, Niara kembali datang ke tempat lembaga sosial untuk mengantarkan Adzando serta bertemu dengan pendiri lembaga sosial sesuai janjinya kemarin pada Aisyah , sayangnya Niara tak bisa bertemu dengan pendiri lembaga itu dan digantikan oleh asistennya saja. Meski demikian, Niara tetap akan ikut berpartisipasi membantu lembaga sosial tetap berdiri.

“Buatkan aku jus, cepat!” teriak Ratna yang baru saja pulang dari liburan ke luar negeri beserta Erwin, Lia dan dua anak mereka.

Mereka duduk manis di sofa sembari menatap layar gawai yang penuh dengan foto-foto liburan mereka selama berada di sana. Niara yang baru saja pulang bekerja dengan sigap menuruti permintan ipar-iparnya. Ia menyiapkan minuman yang memang biasa dinikmati oleh masing-masing mereka yang berbeda jenisnya.

Suara tangisan Adzando menggema dari kamar lantai atas, bukannya segera mendatangi bayinya Ratna malah menutup telinga. “Cepet berentiin tuh, sakit telingaku tau!” titah Ratna sembari mendorong Niara hingga hampir terjatuh.

“Ratna, keterlaluan kamu! Ini itu anak kamu. Seenaknya kamu tinggalkan dan abaikan dia,” teriak Irham penuh amarah, ia datang sembari menggendong Azando menuruni anak tangga.

Ratna berdiri, mulutnya membulat dan matanya mengikuti gerakan Irham yang berjalan menghampirinya. “Mas, kamu sudah pulang?” Ratna memegangi lengan Irham.

Irham menyingkirkan tangan Ratna dari lengannya dengan keras. “Cukup, kamu benar-benar keterlaluan! Mulai malam ini, aku talak kamu!”

Semua mata tercengang, tidak terkecuali Niaraa yang juga syok mendengar ucapan talak Irham kepada Ratna. Air mata Ratna berlalu tanpa permisi ke pipi. Jemari telunjuk Ratmna dengan tegas menunjuk pada Niara,hampir menyentuh bola mata Niara. “Apa yang sudah perempuan lusuh ini katakan, Mas? Sehingga kamu berani mengucapkan kata talak padaku?” Menggeram. Ratna menyeringai kepada Niara yang hanya terpaku diam di tempat. “Jangan mentang-mentang Kak Devan sudah mati kamu mau rebut Irham dariku.” Ratna berteriak tepat di depan daun telinga Niara.

Niara tak membela diri, dia tahu jikapun melakukannya Niara tak akan bisa lepas dari segala tuduhan Ratna.

Tangan Ratna mengayun hampir menyentuh pipi Niara, dengan cepat dicegat oleh Irham.

“Oh, jadi begini selama ini sikap kamu pada Niara. Menghina, memukul, berlaku seenaknya. Kamu sudah tidak bisa disebut sebagai manusia.”

“Cukup!” tantang Erwin membela Ratna.

“Ada apa, Win. Kamu itu juga sama, berani mukul wanita. Kamu tidak bisa disebut sebagai pria. Sini, biar lawan aku saja!” tantang Irham.

Irham tidak gentar, ia tetap maju melakukan perlawanan namun Lia menengahi mereka. “Cukup!” cegatnya. “Sayang, janagn ikut campur rumah tangga orang lain.”

“Irham, kamu duduk dulu. Berpikir yang tenang. Ratna baru melahirkan anakmu, gimana kalau tiba-tiba dia ken baby blue karena sikap kamu yang seperti ini?” Lia berhasil membuat Irham menurut.

Akhirnya Ratna dan Irham duduk bersebelahan, mereka mulai berbicara dari hati ke hati. Irham menarik kembali kata talaknya dengan kata rujuk kepada Ratna. “kita pulang ke rumah malam ini.”

“Tapi, Mas.”

Lia gegas memegangi pundak Ratna agar Ratna tak melanjutkan ucapan yang dapat memperkeruh kembali suasana. Irham beranjak menuju kamar, membereskan barang-barang miliknya untuk kembali ke rumahnya bersama Ratna.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Aku Istri Konglomerat   28 TAMAT

    Mentari pagi menyusup pelan ke sela tirai putih yang bergoyang lembut diterpa angin. Di halaman belakang rumah, Niara duduk di bangku taman sambil menyiram tanaman kesayangannya. Di sebelahnya, secangkir teh hangat mengepul, menguarkan aroma menenangkan.Dari kejauhan, langkah kaki mendekat. Devan muncul dengan kemeja putih santai, wajahnya bersih, damai, jauh berbeda dari lelaki yang dulu pulang dalam luka dan kemarahan.“Aku pikir kamu masih tidur,” kata Niara tanpa menoleh.Devan duduk di sebelahnya. “Mana bisa tidur kalau istriku nggak di samping.”Niara tersenyum kecil. “Gombalmu pagi-pagi tetap saja.”Mereka terdiam sebentar, menikmati suara burung dan desir angin.“Niara,” Devan memecah keheningan, menatap istrinya lekat-lekat. “Kamu tahu... kadang aku masih merasa bersalah.”Niara menoleh, bingung. “Bersalah kenapa?”“Karena aku pergi terlalu lama. Karena aku membiarkanmu terluka di rumah yang seharusnya jadi tempatmu berlindung.”Niara menggeleng. “Kamu nggak pernah benar-ben

  • Ternyata Aku Istri Konglomerat   27

    Kebenaran yang Tak Bisa DikuburLangit malam tampak mendung, angin bertiup pelan saat Devan duduk di ruang kerjanya, menatap selembar foto usang.Foto itu memperlihatkan dirinya bersama tiga pria lain—mantan kolega bisnis lama. Mereka dulu sahabat, kini dua di antaranya telah memusuhi Devan sejak ia memutuskan menarik semua sahamnya dan membentuk DPM Group sendiri.Dan salah satunya adalah pria yang baru saja muncul kembali lewat ancaman: Juan Arvanio.Beberapa hari setelah konferensi pers, Devan menerima informasi dari orang kepercayaannya bahwa Juan—pria licik yang dulu hampir membuat perusahaan bangkrut—telah kembali ke Indonesia. Juan yang dulu pernah mengancam akan “menghilangkan” Devan karena dianggap mengkhianati kesepakatan bisnis kotor mereka.Kini ia kembali. Dan tak hanya itu, dia tahu tentang Niara.Sementara itu, Niara sedang berbelanja bahan makanan di supermarket. Ia memilih buah dengan santai, tak sadar bahwa ada mata yang mengikuti dari kejauhan.Seseorang dengan ja

  • Ternyata Aku Istri Konglomerat   26

    Rumah Devan dan Niara terasa lebih tenang sejak konferensi pers. Udara di dalamnya tak lagi terasa menyesakkan seperti dulu. Tapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang menggantung di udara—seperti bayangan yang belum sepenuhnya pergi.Pagi itu, Niara sedang merapikan meja makan saat suara pintu depan diketuk.“Mas, ada orang,” serunya.Devan menghampiri. Begitu membuka pintu, ia menemukan seorang kurir berdiri dengan amplop cokelat besar di tangan.“Untuk Pak Devan.”Setelah menerima dan menandatangani bukti serah terima, Devan membawa amplop itu ke ruang tamu. Tatapannya tajam saat membuka isinya.Niara mendekat. “Surat apa itu?”Tak ada suara.Devan hanya memegang selembar kertas putih dengan tulisan tangan:“Kami tahu siapa yang membuatmu koma. Dan mereka belum puas.”Niara memucat. “Apa maksudnya... ini ancaman?”Devan menatapnya lama, lalu menatap kertas itu lagi.“Sepertinya... permainan ini belum selesai.”Sementara itu, di rumah yang dulu mereka tinggali bersama, Ratna se

  • Ternyata Aku Istri Konglomerat   25

    Hotel bintang lima di pusat kota sore itu tak seperti biasanya. Lobi dipenuhi awak media, kamera, dan suara bisik-bisik penasaran. Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang akan muncul. Tapi satu nama kini memenuhi berita sejak pagi:“Devan Pemilik DPM Group– Hidup atau Tipu Daya?”Ruangan konferensi telah disiapkan dengan megah. Latar panggung menampilkan logo DPM Group dalam warna emas mengilap. Beberapa petinggi perusahaan terlihat duduk di barisan depan, namun kursi di tengah panggung masih kosong.Dan kemudian, tepat pukul 17.00, pintu utama terbuka.Langkah kaki berderap masuk—pelan tapi mantap.Devan berjalan ke depan, mengenakan setelan jas abu gelap yang membentuk siluet percaya diri. Di sampingnya, seorang wanita dengan gaun putih sederhana namun elegan, berjalan tenang di sisinya.Niara.Kilatan kamera langsung menyambar seperti petir. Bisik-bisik tak percaya meledak.“Itu istrinya?”“Yang katanya Cuma pembantu rumah tangga?”“Serius? Cantik banget, tapi kelihatan lugu...”

  • Ternyata Aku Istri Konglomerat   24

    Pagi baru saja menjingga ketika Niara terbangun, namun Devan sudah tidak ada di sebelahnya. Sejenak ia mengira semuanya hanya mimpi—kehadiran Devan, keberaniannya, dan perlindungan yang kini mulai membungkusnya perlahan. Tapi suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya. “Mas?” panggil Niara pelan. Devan masuk, mengenakan kemeja lengan panjang berwarna navy dan celana bahan hitam. Di tangan kirinya, ia memegang sebuah map coklat tebal. “Maaf, aku bangunin kamu?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang. Niara menggeleng. “Kamu dari mana?” “Ketemu seseorang. Sekalian ambil ini.” Ia menunjukkan map itu. “Ada beberapa hal yang aku pikir kamu berhak tahu sekarang.” Niara menatap map itu, lalu memandang wajah suaminya. “Mas... kamu sebenarnya siapa?” Devan menatap istrinya dalam-dalam. Mata itu, mata yang dulu begitu jernih saat ia menikahi Niara secara sederhana di masjid kecil, kini penuh luka yang tak semestinya ada. “Aku Devan, suamimu,” jawabnya pelan. “Tapi aku juga Deva

  • Ternyata Aku Istri Konglomerat   23

    Malam itu, Niara duduk di teras belakang sambil memeluk lututnya. Angin berembus lembut, membawa aroma bunga kamboja dari pekarangan, tapi hatinya masih belum sepenuhnya tenang. Sudah bertahun-tahun ia dianggap tak lebih dari pelengkap rumah tangga orang lain. Kini, dalam waktu kurang dari dua hari, segalanya terasa berubah begitu cepat—tapi perubahan itu terasa seperti mimpi. “Sayang.” Suara berat itu membuatnya menoleh. Devan datang membawa dua cangkir coklat hangat. “Mas bikinin buat kamu. Aku masih ingat kamu selalu minum ini tiap malam waktu kamu susah tidur.” Niara tersenyum, walau matanya masih menyimpan lelah yang panjang. Ia menerima cangkir itu dengan dua tangan. “Terima kasih, Mas.” Devan duduk di sebelahnya, menatap langit gelap yang mulai bertabur bintang. “Maafin aku, Niara. Aku ninggalin kamu di rumah ini terlalu lama. Aku kira... kalau aku jauh, kamu akan lebih tenang. Aku nggak nyangka mereka setega itu padamu.” Niara hanya diam. Ia bukan tak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status