Part 3
Jangan pernah mengecewakan orang yang menyayangi kamu, karena suatu hari nanti, bisa jadi kamu yang di kecewakan orang lain.***"Hei, wanita kampung! Apa kau tidak tahu salahmu itu apa? Kau itu tidak bisa memberikan keturunan untuk Mas Ramdan! Lelaki mana yang tahan hidup berumah tangga tanpa kehadiran anak!"Deg! Hatiku terasa pilu. Ia langsung menghujam titik lemahku. Ya, benar. Sudah 10 tahun lebih bersama Mas Ramdan, aku tak kunjung hamil. Aku belum bisa memberikannya keturunan. Kehadiran seorang anak yang teramat kurindukan.Tentu, aku sudah cek perihal kesuburanku, hasilnya tak ada masalah. Bahkan minum jamu pun kulakoni sesuai arahan beberapa tetangga yang sudah berpengalaman. Tapi nihil, apa mau dikata, takdir belum bisa membawaku jadi wanita seutuhnya."Sudah paham sekarang, wanita kampung?!""Alyaaa, cukupp!! Masuk ke dalam!" bentak Mas Ramdan.Kulihat wanita itu bersungut kesal seraya menghentakkan kakinya ke dalam.Aku masih mematung memperhatikan mereka berdua. Bukan, aku lebih shock dengan perkataan Alya barusan.Gersang di hati, sudah kurasakan. Apalagi terkadang, aku selalu mendapat sindiran dari tetangga yang terlalu ikut campur. Sebutan bahwa aku mandul begitu melekat pada diri ini, tapi aku tetap bertahan selagi Mas Ramdan tak mempermasalahkan hal itu."Tidak apa-apa, Risna, Mas menerimamu apa adanya. Mas akan selalu mencintaimu, meskipun kita tak punya anak, mas akan selalu sayang. Belum waktunya saja, pasti kalau nanti dikasih, amanah itu akan dipercayakan pada kita."Terngiang kembali ucapan Mas Ramdan yang begitu bijak bila aku merasa risau. Ya, dulu dia sebaik dan selembut itu. Tapi kini akhirnya aku tahu, ucapan hanya tinggal ucapan, semua janji manismu menguap begitu saja. Palsu. Janji hanya tinggal janji, begitu entengnya kau ingkari."Risna, mas minta maaf atas ucapan Alya barusan. Dia tidak bermaksud untuk menyudutkanmu." Tetiba Mas Ramdan merogoh saku celananya, membuka dompet lalu mengeluarkan beberapa lembar uang."Ris, kamu pulanglah dulu. Kau kesini naik kereta 'kan? Ini ada ongkos dan uang peganganmu. Kasihan ibu kalau ditinggal terlalu lama. Ibu pasti membutuhkanmu, Ris. Tolong rahasiakan masalah ini dari ibu ya. Jangan sampai ibu tahu, mas takut kesehatan ibu makin ngedrop."Cih! Ternyata aku hanya dijadikan perawat ibumu? Licik sekali kamu, Mas!Mas Ramdan menyodorkan uang, mungkin jumlahnya ada dua juta. Aku menatapnya tajam, tapi ekspresi Mas Ramdan sungguh menyebalkan."Ayo terima ini, Ris. Kalau lebih kan bisa buat nebus obatnya ibu. Maaf ya, mulai bulan depan Mas akan mengurangi jatah bulananmu."Kuambil uang itu dari tangannya, lalu kembali melemparkan uang itu ke wajahnya. Ia shock. Apalagi saat kutendang bagian pentingnya hingga ia berjingkat ke belakang dan meringis kesakitan.Sumpah, aku tak bisa berpikir apa-apa lagi. Emosi ini begitu meluap-luap hingga aku tak bisa menahan diri."Ambil saja uangmu itu, Mas! Aku tidak butuh!""Jangan belagu kamu, Ris! Tanpa aku, kamu gak bisa ngapa-ngapain!" sentak Mas Ramdan seraya memunguti lembaran uang yang berjatuhan ke tanah.Kesempatan bagiku untuk melabrak si janda gatel itu. Aku hendak masuk ke dalam rumah, tapi Mas Ramdan langsung menghalangiku. Lelaki pengkhianat itu memeluk tubuhku dari belakang dengan sangat erat."Mas mohon jangan bersikap seperti ini, Risna. Mas memang salah, tapi mas mohon jangan sakiti dia. Cukup mas saja." Lirih pria itu bersuara.Begitu besarkah perasaan cintanya hingga dia berlaku seperti ini? 10 tahun LDR, nyatanya hatimu berpaling ke wanita lain. Sungguh ini sangat menyakitkan."Sekarang kamu pulang ya, mas akan antar kamu ke stasiun. Mana barang bawaanmu?""Aku tidak mau!"Kusikut dadanya hingga pelukan itu terlepas."Kenapa kau menyuruhku pergi dari sini, Mas? Kenapa bukan Alya yang pergi? Aku lebih dulu jadi istrimu, Mas! Aku menemanimu lebih dari 10 tahun! Kenapa harus dia?!""Karena aku tak mungkin meninggalkan Alya sekarang, dia sedang hamil anakku."Untuk kesekian kalinya kejutan ini serupa petir di siang bolong. Rasanya aku tak mampu berkata-kata lagi."Mas, aku yang menemanimu dari nol, tapi sekarang setelah sukses, kamu justru lebih memilihnya dari pada aku? Ini tidak adil buatku, Mas. Kamu jahat sekali! Jahat!"Aku yang setia. Tapi kau membuangku seperti sampah!"Mohon maaf Pak, Bu, ini ada apa ya? Dimohon untuk tidak ribut di lingkungan komplek."Suara seorang lelaki cukup mengejutkan. Aku menoleh, melihat Awan datang bersama seorang pria paruh baya dan satu orang hansip."Mohon kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik, biar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman penghuni rumah yang lain.""Maafkan kami, Pak RT," ujar Mas Ramdan. "Kami akan bicara baik-baik.""Maaf Pak RT, bukan bermaksud mengurangi rasa hormat, tapi masalah saya dan Mas Ramdan tidak lagi bisa dibicarakan baik-baik."Pria yang menjabat sebagai RT itu menggerakkan tangannya agar aku tenang. "Begini, Pak Ramdan dan Bu--""Saya Risna.""Pak Ramdan, Bu Risna, mari kita bicarakan masalah ini di rumah saya, tadi sepintas saya dengar ceritanya dari Pak Awan. Mari kalian ikut ke rumah saya."Baru beberapa langkah mengikuti mereka, ponsel yang ada di tas kecilku berdering. Lekas kuraih ponsel itu. Tertera nama Mbak Jumiroh, orang yang kusuruh jadi perawat ibu untuk sementara.Jantungku berdegup dengan kencang, apa terjadi sesuatu pada ibu?"Hallo, Mbak Risna, apa sudah sampai dan bertemu dengan Mas Ramdan?" Terdengar suara Mbak Jumiroh di seberang telepon.Aku terdiam, melirik Mas Ramdan sekilas."Mbak Risna sama Mas Ramdan disuruh pulang sama ibu.""Apa terjadi sesuatu sama ibu, Mbak?" tanyaku panik. Kulihat mata Mas Ramdan membelalak kaget, ia hendak meraih ponselku tapi tangannya segera kutepis."Itu Mbak, ada Mas Dewangga ..."Part 4Kalau tidak ingin tersakiti, jangan menyakiti. Hidup itu tabur tuai, siapa yang menanam dia yang akan menuai. Siapa yang menggali lubang, dia sendiri yang akan terjatuh.*** Mas Dewangga ... dia pulang ke rumah?Panggilan dari Mbak Jumiroh terputus begitu saja karena sinyal di kampung memang agak susah."Siapa yang telepon? Ibu kenapa?" tanya Mas Ramdan. "Kita disuruh pulang sama ibu.""Kenapa? Apa terjadi sesuatu sama ibu? Kamu sih, kenapa ninggalin ibu sama orang lain? Ibu itu cocoknya dirawat sama kamu. Tuh lihat sendiri kan, belum satu hari kamu di sini, udah terjadi sesuatu pada ibu?!"Aku memutar bola mata menatap tajam ke arah lelaki yang bergelar suami. Dia menyalahkanku?! Egois sekali kau, Ramdaaan! Lelaki yang ada di hadapanku ini rasanya sudah tak pantas kuhormati lagi."Kamu menyalahkanku?! Tidak sadar diri di sini siapa yang salah?! Berbulan-bulan kamu gak pulang, Mas! Bahkan ibu selalu menanyakan kabarmu! Tapi kau selalu saja sibuk, selalu saja menghindar? Terny
Part 5Namanya Alya Nadira, seorang wanita cantik yang mampu menggetarkan hatiku. Sekian lama hatiku sepi dan gersang akibat hubungan jarak jauh dengan istri, kini dipenuhi warna kembali. Dipenuhi warna akan kehadirannya yang ceria, lembut dan menggoda. Ya, itu kesan pertama yang kudapatkan dari Alya.Aku tahu, datangnya cinta ini memang salah, karena aku masih punya Risna yang tinggal di kampung. Dia di sana merawat ibuku yang sakit. Tak ada yang setelaten dan sesayang itu pada ibu, selain istriku. Tentu, sudah kucoba mencarikan perawat untuk ibu, tapi tetap tak ada yang betah kerja. Satu hari paling lama satu minggu perawat itu mengundurkan diri. Entah apa masalahnya, aku tak tahu. Hingga kubiarkan Risna yang merawat ibu sampai sekarang.Namun terkadang, cinta memang tak ada logika. Ia datang kapan saja dan pada siapa saja semau hati tanpa bisa kucegah dan kurencanakan. Ia datang tanpa permisi mengetuk hati yang mulai terasa sepi.Terbilang singkat pertemuanku dengan Alya, janda den
Part 6Risna benar-benar berubah perangainya. Dia bahkan berani menamparku dan juga menampar Alya. Ah wanita itu, wanita yang paling kusuka dengan kelemah-lembutannya, kini ia justru berani melawan.Aku tak habis pikir kenapa Alya sampai nekat menyusulku kemari, padahal ia tak tahu jalannya. Dan Awan ... kenapa harus bertemu dengan pria itu! Bisa repot berurusan dengannya!Seketika kepalaku terasa begitu pening. Risna benar-benar tak mau berdamai. Setelah perdebatanku dengan Risna tak mencapai titik sepakat, hingga akhirnya panggilan dari Mas Dewangga yang membuat kami harus pulang bersama.Ya, bila lelaki itu ikut campur, berarti ada masalah penting yang akan dibicarakan.Mas Dewangga, ia adalah satu-satunya kakak laki-lakiku. Aku paling segan padanya karena dia lah yang menopang hidup kami setelah bapak tiada. Lebih tepatnya sejak usiaku masih remaja, 15 tahun. Umurku dengan Mas Dewangga terpaut 5 tahun. Aku sudah menganggapnya sebagai pengganti bapak. Karena ia begitu tanggung jawa
Part 7Aku memperhatikannya tapi tetiba ia menyetop taksi dan masuk ke dalam mobil berwarna biru itu, ingin rasanya kukejar Risna tapi kembali ada notif di ponselku.[Aku tidak main-main dengan ucapanku, Mas. Pulang sebentar atau kau rasakan akibatnya!]Aku menghela nafas kasar usai membaca pesan dari Alya. Terpaksa aku memutar balik mobil dan pulang menuju ke rumah. Aku harus menuruti Alya, atau kalau tidak, dia benar-benar nekat. Sementara Risna? Meski aku khawatir padanya karena dia begitu asing dengan kota mertropolitan ini. Namun, aku yakin dia pasti bisa sampai di rumah dengan selamat. Aku percaya padanya karena dia wanita yang cukup cerdas. Kuhubungi nomor Risna, tapi panggilanku tak kunjung diangkat. [Kamu sekarang dimana? Mau ke terminal apa ke stasiun?] Kukirimkan pesan untuknya, terkirim tapi belum terbaca.[Hati-hati di jalan, Risna. Maaf kita tidak bisa pulang bersama. Mas akan menyusulmu setelah urusan dengan Alya selesai. Kamu kabari Mas Dewangga saja untuk jemput k
Part 8Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Begitupun kebohongan dan kecurangan, meski disembunyikan begitu rapat, suatu saat akan terbongkar.***"Jangan pernah berbohong di hadapanku! Jangan kau pikir kakakmu ini tidak tahu apa yang sudah kau lakukan!"Mataku membelalak mendengar ucapan Mas Dewangga. "Apa maksudmu, Mas?"Tak menanggapi ucapanku, Mas Dewangga justru berlalu masuk ke dalam. Ah, sekarang selain menghadapi kakakku, aku juga harus menghadapi ibu. Ponselku berdering lagi, panggilan dari Alya. Hal ini makin membuatku putus asa. Kenapa sih dia justru menghubungiku! Kuabaikan panggilan darinya dan segera men-silent agar tak terdengar bunyi saat dia menelepon atau mengirim pesan. Bikin repot saja.Perlahan, kulangkahkan masuk ke dalam rumah, dan hendak menemui ibu. Suasana rumah masih seperti dulu, saat terakhir aku pulang kesini. Begitu rapi dan bersih, rupanya Risna mengurus rumah ini dengan baik.Terdengar suara lirih ibu dari kamar
Part 9Tiada yang lebih sakit selain dikhianati orang yang paling kita percayai. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka, butuh waktu untuk mengikis duka, tapi semuanya akan tetap membekas di hati, takkan bisa dilupa.***Aku turun dari mobil Mas Ramdan dengan perasaan campur aduk. Entah apa yang harus aku lakukan sekarang. Kaki melangkah tanpa arah dan tujuan. Hancur? Sudah pasti. Begitu sesak terasa di dada ini, bahkan untuk menghirup udara pun rasanya sulit sekali. Satu hal yang pasti, Mas Ramdan lebih memilih istri mudanya, dari pada aku yang sudah rela berjuang demi tulus dan ikhlas serta baktiku sebagai seorang istri. Beragam pikiran negatif muncul. 10 tahun LDR, aku tak mampu membuatmu tetap mencintaiku, karena kau justru berpaling hati. Semua karena aku tak sempurna, tak bisa memberi apa yang diinginkannya.Jangan tanya air mata, sudah tumpah ruah membasahi pipi tanpa mampu kutahan lagi. Ah, aku seperti orang gila sekarang. Hancur dan hancur.Tidak, Risna, kau tidak boleh menan
Part 10Aku shock benar-benar tak percaya. Kenapa ibu bisa mengambil keputusan ini tanpa berdiskusi dulu dengan anak-anaknya. Bahkan, aku tak pernah tahu kalau Mas Dewangga membeli sawah di daerah ini. Sejak kapan? Pantas saja seberapapun kukirimkan uang untuk Risna, dia tak pernah mengeluh kekurangan. "Mas, kenapa ibu memutuskan ini semua? Pasti Risna sudah membujuk ibu dan menyuruh ibu agar menyerahkan semua ini padanya kan?"Mas Dewangga menatapku tajam. "Risna bahkan tidak tahu menahu mengenai hal ini? Lalu, kenapa kamu merasa terganggu sekali, padahal dia itu istrimu? Apa kamu berniat berpisah darinya?""Aku yang seharusnya tanya sama kamu, Mas, kenapa kamu terlalu ikut campur urusan rumah tanggaku. Bahkan terkesan membela Risna. Apa kau jatuh cinta pada istriku?" Kali ini aku tak mau kalah dengan Mas Dewangga. Biarpun dia kakakku, tapi kenapa seenaknya sendiri turut campur masalah rumah tanggaku."Pikiran macam apa yang ada di otakmu, Ramdan?! Kamu berubah, tak seperti dulu l
Part 11 "Mereka bilang keluargamu." "Hah, keluargaku? Itu tidak mungkin, Al!"Ya, Ramdan sangat yakin mana mungkin kakaknya, Dewangga dan sang ibu datang ke kota. Sangat kecil kemungkinannya. 'Jangan-jangan Alya hanya mengada-ada saja?' rutuk pria itu sendiri."Aku ngomong beneran, Mas. Tolong pulang, dulu sekarang, perasaanku kacau banget hari ini!" seru Alya sembari menangis."Ya, ya, baiklah, aku akan coba izin pulang dulu. Kau tenang ya."Belum sempat istirahat makan siang, gegas Ramdan turun ke bawah."Tunggu, Pak Ramdan!" panggil seseorang. Ramdan menoleh, rupanya Puspita, sekretaris Pak Reyhan yang memanggilnya. Di samping Reyhan, ada juga seorang pria paruh baya , dia adalah Pak Hadiwilaga, pemilik perusahaan ini.Ramdan berjalan menghampiri mereka. "Ya, Pak?""Begini, nanti setelah jam makan ada meeting dadakan dengan seluruh staff dan pimpinan, saya harap Anda tidak bolos maupun telat lagi ya," ujar pria muda itu."Baik, Pak."Terpaksa Ramdan mengurungkan langkahnya kelu