"Berani-beraninya kamu mencuri istriku di malam pertama pernikahanku!"Suara itu samar-samar terdengar di telingaku namun aku mengabaikannya.Bug.Tiba-tiba aku merasakan pergerakan di ranjang dan suara pukulan. Dengan cepat aku segera membuka mataku dan terperanjat saat melihat wajah Hans –kekasihku, yang sudah lebam.Jantungku berdetak kencang saat melihat Dante, suami kontrakku, berada tepat di hadapanku dengan wajah memerah dan mata yang terlihat siap membunuhku sekarang juga.Kenapa dia bisa ada di sini? Kenapa dia terlihat sangat marah? Bukankah kita menikah hanya karena kontrak saja?Sebelumnya kita sudah sepakat untuk hidup masing-masing setelah menikah. Lalu kenapa sekarang dia seperti ini?Mata Dante teralih ke arah Hans dan dia mengangkat tinggi tangannya siap melayangkan satu pukulan lagi ke arah Hans.Melihat itu tentu aku tak bisa tinggal diam. Dengan cepat aku beranjak dari ranjang lalu berlari ke hadapan Hans dan merentangkan kedua tanganku.“Berhenti, Dante! Jangan lu
“Alice! Kamu sudah bangun!?” Suara seorang pria yang menerobos pintu kamar tiba-tiba mengejutkanku. Dante, dengan wajah dinginnya, membawa nampan berisikan roti dengan selai strawberry serta susu yang merupakan menu favoritku tiap pagi.Apalagi yang akan dia lakukan?Dante berjalan ke arahku dan menyodorkan piring berisikan roti ke hadapanku. Entah mengapa, sikap baiknya seperti ini justru membuatku khawatir. Pria itu sama sekali tak pernah berbuat baik kepadaku. Merasa kesal karena tidak bisa menebak apapun di kepalaku, aku menghempaskan piring yang disodorkan Dante hingga piringnya pecah berserakan di lantai. “Aku tidak butuh makan,” ucapku membuang muka.Namun, tak lama setelah suara piring yang kuhempas, bunyi pecahan kembali terdengar di telingaku.Prang!Suara vas bunga yang pecahannya sudah tergeletak di lantai membuat pundakku bergetar. Siapa lagi kalau bukan Dante pelakunya?Matanya memerah dan menatap tajam ke arahku. Dia sangat marah sekarang. Namun aku benar-benar tak p
“Mengapa kamu berubah drastis dan memilih melayaniku?” tanya Dante saat aku mengantarkan makan malam untuknya. Dia menatapku dengan penuh selidik seolah mencari jawaban melalui gerak gerikku.Memang benar, sejak aku menyaksikan sendiri dengan mataku bagaimana jasad ayahku diambil, dan dibawa entah kemana, duniaku seakan runtuh. Detik itu juga, aku mulai memiliki keinginan untuk menghabisi Dante dan juga orang-orang yang telah membuat hidup keluargaku sengsara dengan tanganku sendiri. Aku memutuskan untuk mengikuti semua perintah Dante, tak peduli tentang betapa arogan dan buruk emosi pria itu. Aku tetap berlutut di hadapannya demi mendapatkan kepercayaan dari Dante. “Sekarang aku tidak memiliki sandaran lagi. Aku juga tidak memiliki pekerjaan dan semua keluargaku sudah meninggal. Jadi aku akan melakukan yang terbaik agar kamu tidak mengusirku saat kamu bosan dengan keberadaanku, aku melakukan ini hanya untuk bertahan hidup,” jawabku menunduk.“Benarkah? Bukannya karena kamu menyimpa
Tiba-tiba Dante kembali menarik kepalaku dan menciumku lagi namun kali ini dengan cara yang lebih rakus. Aku memukul-mukul dadanya mencoba melepaskan diri. Aku tak ingin diriku terlihat sedang melakukan hal tak senonoh ini di depan Hans. “Dante lepaskan!” ucapku di sela-sela ciuman.Bukannya melepaskan, Dante justru memperdalam ciumannya dan berbisik ke telingaku.“Kamu sudah berjanji akan putus hubungan dengannya. Lalu kamu juga berkata akan memutuskannya dengan cara yang kejam. Sekarang aku akan membantumu,” bisiknya lalu kembali menciumku.Aku terdiam dan membiarkan Dante menciumku tanpa balasan.Dante benar, aku tidak perlu menjelaskan apapun kepada Hans. Justru cara ini akan membuat Hans bisa melupakanku dengan mudah karena menjadikanku sebagai orang jahat di pikirannya.Menyadari hal itu, aku membalas ciuman Dante dan dapat dirasakan bahwa Dante tersenyum dibalik ciuman yang dilakukannya.‘Maafkan aku Hans. Aku harus melakukannya agar kamu tidak perlu pergi ke neraka ini bersa
“Ah!”Aku meringis kesakitan kala Daren memijat kakiku yang terkilir karena terjatuh dari atap. Meskipun pria itu menyentuhku dengan lembut, tetap saja, kakiku terasa nyeri.“Bisakah kamu melakukannya dengan lebih lembut lagi?” tanyaku setengah memohon.Daren tersenyum mendengar permintaanku. Seketika, aku terdiam, karena aku hampir tak pernak melihat senyuman di wajah suamiku sendiri. Senyum tulus yang menggemaskan, bukan seringai yang membuatku bergidik ngeri. “Kali ini akan lebih sakit dari yang tadi, tapi setelah ini kakimu akan sembuh, bersiaplah,” tutur Daren memegang pergelangan kakiku dan membuatku seketika menahan nafas.Daren kembali terkekeh, “Jangan tegang, ini tidak terlalu sakit. Kalau kamu takut, pejamkan saja matamu dan serahkan sisanya padaku,” tutur Daren yang dengan cepat kuturuti.Aku dengan cepat menutup mataku dan mencoba menggigit tanganku sendiri ketika Daren mulai menggerakkan kakiku.“Argh!”Aku berteriak dengan sangat nyaring karena kakiku terasa dipatahkan
Setelah tidak sengaja bertemu dengan bibi pelayan pada akhirnya aku diminta untuk kembali ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun bahkan tanpa berpamitan kepada Daren. Kalau dipikir-pikir, aku bisa mati kalau bibi pelayan itu melaporkan semuanya kepada Dante.Aku pun berjalan keluar kamar. Mataku menyapu seluruh ruangan mencari keberadaan Dante ataupun bibi pelayan. Aku melihat keduanya sedang berbicara serius di ruang tamu, sampai sang pelayan mengeryitkan dahinya. Dengan hati-hati, aku bersembunyi, berusaha melebarkan telingaku untuk mendengar inti pembicaraan mereka.“Tuan Dante, tapi Nona Alice–” Sial! Manikku dan juga sang pelayan bertemu, membuat pelayan itu tiba-tiba menghentikan pembicaraannya dan terdiam. Spontan, detak jantungku meningkat. Aku merasa panik, takut jika emosi Dante kembali membuncah dan melepaskan amarahnya padaku.Namun, aku tetap berusaha fokus. Kuarahkan mataku pada pergelangan tangan Dante yang sedang memegang ponsel. Ada gelang yang sama dengan m
Karena terlalu panik aku melupakan waktu terbaikku untuk melihat tanda lahir di dada Dante. Aku menarik tanganku dari dada bidang Dante dan sekarang semuanya terlambat karena Dante menjauhkan dirinya dariku.“Aku beri waktu 10 detik, kalau kamu pergi dari sini, aku tidak akan menganggapmu ingin memintaku memuaskan hasratmu dan kalau kalau kamu tidak pergi, aku akan menganggap dirimulah yang memintaku untuk bertindak lebih,” ujar Dante berkacak pinggang seraya mengibas-ngibaskan rambut basahnya dengan satu tangannya.Mendengar itu aku segera mengambil langkah cepat untuk keluar dari kamar mandi. Namun Dante menghitungnya dengan sangat cepat. Aku yakin dia hanya membutuhkan waktu dua detik untuk menghitung sampai sepuluh saking cepatnya dia menghitung.Bahkan aku baru saja mengambil dua langkah kaki dan baru saja memutar knop pintu yang ternyata dikunci sehingga memperlambat langkahku untuk keluar.Kapan ini dikunci?Brak.Sebuah tangan menghalangi pintu untuk dibuka.“Mampus,” gumamku m
Cahaya matahari mulai menembus tirai putih di kamar Dante dan sangat menyilaukan hingga membuat mataku tergerak untuk terbuka.Siapa sangka aku juga ikut tertidur di kamar Dante.Aku menunduk melihat Dante yang masih tidur di pangkuanku.Sungguh lututku keram karena semalaman dengan posisi duduk sambil memangku Dante.Di waktu singkat yang tersisa ini aku memandangi wajah Dante yang tidur terlentang di pangkuanku.Bulu matanya panjang, tebal dan lurus. Bibirnya merah ranum, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung. Semuanya tampak sempurna di wajah Dante.Tanpa sadar aku tersenyum memandangi wajah Dante. Siapa sangka wajah sebaik ini ternyata adalah sosok yang kejam dan tak bisa ditebak.Jika hanya melihat wajahnya saja, semua orang pasti tertipu.Ting ting.Suara alarm dari gawai Dante berdenting membuatku tersadar untuk cepat pergi dari kamar Dante atau nanti Dante mungkin saja marah besar ketika melihatku ada di kamarnya.Dante menggeliat dan pada saat itu aku mengangkat kepal