LOGINAlice terpaksa harus menikah kontrak dengan Dante, sepupu dari kekasihnya karena ingin membebaskan ayahnya dari penjara. Siapa sangka, ternyata pernikahan itu adalah malapetaka bagi Alice karena Dante adalah pria kejam dan arogan! Namun, sebuah kejadian tak terduga membuat Alice menemukan fakta bahwa dia bukan hanya menikah dengan satu pria ... tapi dua!?
View MoreTitik-titik gerimis meluncur dari langit, membasahi kota yang malam itu sangat lengang. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan bayangan yang bergoyang-goyang mengikuti langkah kaki Andara.
Andara merapatkan jaket yang membungkus tubuhnya. Dia baru saja menyelesaikan shift malam sebagai penjaga karcis di sebuah bioskop. Pekerjaan sederhana yang sangat disyukurinya. Sebab dengan begitu dia bisa sedikit-sedikit membantu kebutuhan hidupnya dan kakaknya—Shankara.
Dia tidak memiliki kemewahan. Hanya kehangatan dan kasih sayang kakak laki-laki yang membesarkannya sejak orang tua mereka meninggal saat Andara masih berusia 13 tahun.
Ketika Andara melewati sebuah halte tua yang jarang digunakan, sebuah mobil hitam berhenti. Kaca mobil diturunkan, memperlihatkan wajah yang sangat Andara kenal.
Ananta.
Lelaki itu pernah sangat dekat dengan Shankara. Mereka bersahabat karib dan terlihat bagaikan saudara. Dia juga sering main bahkan tidur di rumah Andara. Malah, Andara menganggapnya sebagai kakak sendiri.
"Andara?" sapa Ananta. Suara baritonnya terdengar samar di tengah rinai hujan. "Mau ke mana hujan-hujan begini?"
"Pulang, Mas," jawab Andara sopan.
"Ayo masuk, aku antar kamu pulang." Ananta membuka pintu penumpang di sebelahnya.
Andara merasa ragu. Dia menatap lelaki itu sejenak. Hatinya sempat menolak. Tapi kebaikan Ananta dulu saat masih bersahabat dengan kakaknya membuat keraguan itu terkikis.
Andara memutuskan untuk masuk ke mobil Ananta.
Mobil melaju pelan di jalan kota yang sepi. Musik mengalun perlahan dari audio mobil. Aroma parfum Ananta yang soft namun maskulin memenuhi kabin.
Mereka bicara sekenanya. Tentang bioskop, tentang keseharian, dan juga tentang hujan.
Tapi entah kapan suasana mulai berubah. Ananta berhenti di tempat asing. Bukan rumah Andara. Bukan juga arah jalan pulang.
"Mas Nata, kenapa berhenti? Ini bukan jalan ke rumah," kata Andara bingung.
Ananta menoleh. Lelaki itu tersenyum–aneh dan menakutkan. "Aku cuma mau ngobrol sebentar. Di sini lebih tenang."
"Tapi, kan, Mas, ngobrolnya bisa sambil nyetir. Aku mau pulang, Mas. Kasihan abang kalau kelamaan nunggu."
"Aku juga mau pulang," jawab Ananta. Tangannya mengunci pintu.
Andara mulai panik melihat gelagat Ananta. Dia mencengkeram tas lusuhnya yang diletakkan di pangkuan dengan erat. Sementara, di luar hujan semakin deras. Dinginnya tidak hanya menusuk kulit, tapi sampai ke dada Andara.
"Mas Nata, tolong buka pintunya. Aku turun di sini aja," pintanya memohon.
Ananta menatapnya. Bukan tatapan hangat yang selama ini dia kenal. Tapi tatapan penuh kebencian yang membuat Andara bergidik.
Tangan Ananta bergerak menyentuh pundak Andara.
Gadis itu terkejut.
"Mas, jangan...," larangnya ketakutan.
Ananta tidak menggubris. Sorotnya gelap. Napasnya berat. Jarak di antara mereka kian tak berbatas.
Andara mencoba melawan. Meronta. Memohon. Tapi kekuatan pria dewasa itu menekannya ke jok kulit yang dingin. Ananta berhasil menanggalkan semua penutup tubuh Andara.
Tangis Andara pecah di antara rintihan kesakitan. Ananta tetap tidak peduli. Malam ini sudah sangat lama dinantikannya. Begitu kesempatan itu datang dia tidak akan menyia-nyiakannya.
"Kenapa Mas Nata tega?" lirih Andara di sela-sela isak. Lelaki itu masih sibuk meruda paksanya.
Ananta menyeringai. Ada luka, kebencian dan dendam di wajahnya yang mengeras.
"Anggap ini harga yang harus kamu bayar atas kelakuan abangmu, Andara," desisnya dingin tepat di depan hidung Andara.
Tangis Andara mengencang. Kakaknya yang bersalah, kenapa dia yang harus menanggung akibatnya?
Ananta menghentak semakin liar dan tidak terkendali melampiaskan semua dendam dan rasa sakit hatinya. Andara hanya bisa menangis. Bukan hanya karena sakit lantaran ini adalah yang pertama baginya, tapi juga karena hatinya hancur tidak bersisa.
Setelah semuanya usai, keheningan menyelimuti kabin mobil. Hujan di luar masih turun, namun suaranya kalah oleh suara kepedihan yang kini menderu di dada Andara.
Dengan perasaan yang tidak bisa diselamatkan lagi, dia mengenakan pakaiannya.
Gadis berusia 20 tahun itu menggigil. Tubuhnya lemas dan sakit. Pandangannya kosong menatap kaca jendela. Dia tidak mampu menerima yang baru saja terjadi. Jejak panjang air mata membekas jelas di pipinya yang pucat. Sedikit pun tidak pernah ada di pikirannya, bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun, bahwa dia diperkosa oleh sahabat baik kakaknya sendiri.
Sementara Ananta hanya diam. Dia membenahi pakaiannya. Tanpa perasaan bersalah, apalagi penyesalan.
Setelahnya, lelaki itu menoleh pada Andara dan mengatakan dengan datar, "Turun."
Andara mengerjap pelan. "Apa?"
"Turun, Andara."
Ananta tidak membentak. Tapi nada suaranya yang dingin justru membuat Andara semakin ketakutan. Lelaki itu bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Seakan mereka baru saja berbincang dengan ringan.
"Aku bilang turun sekarang," perintah Ananta sedatar tadi.
Dengan tangan gemetar Andara mengambil jaketnya yang entah sejak kapan terlempar ke lantai mobil. Lalu mengenakannya dengan jiwa yang terkoyak.
Andara membuka pintu mobil lalu turun dengan langkah tertatih. Hujan lebat menyambut tubuhnya. Angin dingin menampar-nampar pipi mulusnya yang tirus. Air matanya bercampur dengan air dari langit.
Mobil hitam itu meraung pergi. Meninggalkan Andara sendiri dalam kehancuran dan kesakitan.
**
“Terima kasih.”Mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Dante. Aku merasa tubuhku seakan dihantam palu saking terkejutnya.Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Dante dan aku bisa melihat dari belakang bahwa Dante mengusap air matanya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Dante berdiri terlihat akan meninggalkanku.Namun siapa sangka tampaknya Dante tak sanggup menopang tubuhnya sendiri.Dante sempoyongan dan dengan segera aku meraih bahu Dante untuk menangkapnya.Bukannya berhasil. Dante justru berbalik dan aku tak sanggup menahan tubuhnya yang jauh lebih besar dariku.Ah aku memang terlalu percaya diri untuk menangkapnya.Aku pun berakhir berada di bawah Dante. Untungnya Dante masih menopang dirinya dengan kedua tangannya.Dia menyunggingkan senyum, ini senyuman yang kulihat di wajah Daren.“Kamu mencoba menangkapku dengan tubuh kecilmu itu?” ejeknya kemudian.Ah aku tidak jadi memuji senyumnya.Aku memalingkan wajahku dan mendengus kesal.Dante menyingkir dari atasku dan berbaring
Setelah aku memastikan bahwa Daren hanya menyisakan pakaian saja di kamar hotel ini, aku keluar.Ternyata sudah ada orang suruhan Dante yang menungguku di depan hotel.Tanpa harus bertanya atau permisi mereka segera membawaku ke dalam mobil dan kembali ke tengah hutan rumah Dante.Aku melihat arah perjalanan ke rumah Dante dan itu benar-benar menyeramkan. Semuanya hutan rimbun dan bahkan ada banyak hewan buas yang berkeliaran.Pantas saja Dante memiliki pagar yang cukup tinggi. Kalau tidak, mungkin dia akan menjadi santapan singa.Tapi yang lebih aneh lagi kenapa dia mau membuat rumah di tengah hutan? Bukankah itu gila?Dalam kurun waktu 1 jam kami pun sampai di Mansion Dante dan satu hal yang aku lihat saat masuk mansion.Wajah khawatir semua orang.“Ada apa?” tanyaku.“Sepertinya Tuan sakit, dia batuk-batuk namun pintu kamarnya dikunci dan Tuan melarang siapapun untuk masuk. Kami khawatir kondisinya memburuk karena Tuan bahkan menolak makan pagi ini,” terang Bibi pelayan.“Gampang,”
Dengan histeris aku melompat kegirangan karena aku berhasil mendapatkan boneka kelinci jumbo yang aku inginkan berkat bantuan Daren.Pemilik permainan itu pun memberikan boneka jumbo itu kepadaku.Setelah mendapatkannya, aku mengingat bahwa Darren ingin naik bianglala. Jadi kami pergi untuk membeli tiket. Tapi sayangnya terdapat masalah di bianglalanya sehingga masih membutuhkan perbaikan.“Yahh,” keluh Daren tampak murung.“Bagaimana kalau kita naik perahu? Pemandangannya di sana kan indah,” ajakku meraih tangan Daren.Daren yang tadinya murung mendadak kembali bersemangat dan kali ini dia yang menarik balik tanganku mendahuluiku untuk pergi membeli tiket naik perahu.“Ayo,” ajak Daren setelah kami membeli tiket naik perahu.Dia mengulurkan tangan ke arahku yang ragu-ragu untuk naik perahu yang bergoyang.“Aku takut perahu ini akan membuatku tenggelam,” keluhku khawatir.Perahunya tampak akan berguling dan aku khawatir kami akan tenggelam.“Tidak apa-apa, Alice. Aku bisa menjamin kes
“Bibi fotokan aku di sini,” pintaku kepada bibi pelayan yang ikut serta bersamaku atas izin Dante.Tidak mungkin aku hanya berjalan sendiri plonga-plongo tak tahu ingin berbicara dengan siapa.Aku pun menyerahkan ponselku kepada Bibi pelayan tapi Bibi pelayan tampak kebingungan menggunakan ponsel untuk mengambil fotoku.Sepertinya Dante memang merekrut orang yang benar-benar kuno untuk menghindari kebocoran informasi.“Nona, saya tidak tahu cara menggunakannya,” keluh bibi pelayan mengerutkan kening.“Pencet ini berkali-kali,” tuturku menunjuk gambar lingkaran merah di ponsel yang Dante berikan.“Alice.”Panggilan itu bukan berasal dari bibi. Lantas siapa yang memanggilku?Aku mencari sumber suara di tengah keramaian taman bermain.Aku tidak melihat orang yang kukenali di hadapanku.Semuanya hanya orang berlalu lalang dengan wajah baru.Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku dan saat aku menoleh.“Aku Hans.”Mataku membulat sempurna saat melihat Hans di belakangku.Jujur saja aku ingin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews